Kisah Sebuah Busi -Bagian Kedua


Petasan busi selalu menjadi permainan kegemaranku. Mungkin karena bentuknya yang sedikit menyerupai roket dengan rumbai-rumbai plastik terlihat seperti semburan api roket ketika busi itu dilemparkan ke udara. 

Meski aku selalu tertarik pada hal-hal yang bersifat sains, namun entah mengapa nilai IPA ku di sekolah tidak bagus-bagus amat, kurang malah.  Tidak jarang aku dan beberapa teman kelasku yang lain dihukum berlutut karena nilai ulangan IPA kami di bawah lima. 

Meski begitu, keingin tahuanku tentang roket pernah membuatku menghabiskan suatu malam dengan membaca buku Antariksa milik Bapa yang sebenarnya diperuntukkan bagi siswa SMA. 

Kala itu Bapa mengetahui aku tengah melahap pengetahuan yang sebenarnya belum begitu perlu bagiku. Namun ia membiarkan saja. Mungkin di benak kecilnya ia berharap anaknya kelak dapat menjadi salah satu astronot pertama bagi Indonesia. Entahlah.


“Kau tahu, nama tengahmu diambil dari nama seorang kosmonot Rusia, Yuri Gagarin,” seloroh bapa di tengah keasyikanku membolak-balik halaman bukunya.

“Heh? Bukannya namaku itu singkatan nama bapa dan mama?’ tanyaku sekenanya.

“Iya, tapi nama kosmonot itu kebetulan pas dengan singkatan nama kami berdua,” jawabnya.

“Kosmonot itu apa?” tanyaku bingung.

“Itu istilah Rusia untuk astronot,”

“Oooh,”

Bapa lalu bercerita panjang lebar tentang Yuri Gagarin, sang Kosmonot itu. Ia adalah seorang anak yang lahir di sebuah desa kecil di Rusia yang kala itu masih benama Uni Soviet. ia juga tidak berasal dari keluarga berada. 

Gagarin hanyalah seorang dari empat anaki pasangan petani bernama Aleksei Ivanovich Gagarin dan Anna Timofeyevna Gagarina. Takdir Tuhan tidak ada yang tahu,  tidak ada yang menyangka jika kelak putra petani itu akan menjadi manusia pertama yang menjejak angkasa luar.

Awal karir Yuri Garin di dunia penerbangan bermula ketika dia memiliki minat yang besar untuk belajar tentang ruang angkasa dan planet. Setelah belajar selama satu tahun di sebuah sekolah teknik kejuruan di Lyubertsy, Gagarin dipilih untuk pelatihan lebih lanjut di sebuah sekolah tinggi teknis di Saratov. Sembari bersekolah, ia bergabung dengan "AeroClub", dan belajar untuk menerbangkan pesawat ringan.

“Terus, kenapa ia bisa jadi astronot?” tanyaku karena mulai tertarik dengan cerita Bapa.

“Perang dingin antara Rusia dan Amerika Serikat,” jawab Bapa.

Aku bingung karena mendengar jawaban bapa. Perang dingin? Apa itu? Memangnya ada perang panas?

Bapa meneruskan ceritanya. Setelah selesai dengan pendidikan teknik, Yuri Gagarin mengikuti pelatihan penerbangan militer di Orenburg Pilot's School. Setelah lulus, dia ditugaskan di Luostari pangkalan udara di Oblast Murmansk yang berada dekat dengan perbatasan Norwegia.


Perang teknologi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat untuk menunjukkan siapa yang paling superior membuka peluang bagi Yuri Gagarin untuk menembus angkasa.   Kala itu, di tahun 1960, setelah proses pencarian dan seleksi, Yuri Gagarin terpilih bersama 19 pilot lain untuk program luar angkasa Uni Soviet. 

Gagarin selanjutnya dipilih untuk pelatihan kelompok elit yang dikenal sebagai Sochi Enam, cukal bakal  kosmonot pertama program Vostok akan. Pada 12 April 1961, dengan pesawat luar angkasa Vostok 1, Yuri Gagarin pun meluncur menembus angkasa. Ia berada di orbit Bumi selama 108 menit. 

Gagarin masih berusia 27 tahun ketika melakukan perjalanan bersejarah tersebut, dan prestasi itulah yang kemudian menjadikan Presiden Amerika, John F. Kennedy, terobsesi untuk mendaratkan astronot AS di Bulan.

Cerita Bapa berhenti tatkala Epin yang sedari tadi duduk sambil terkantuk-kantuk di depan televisi datang menghampiri kami. Sambil merengek-rengek ia minta diceritakan kisah tentang asal usul Rana Mese, sebuah kisah favoritnya namun sudah bosan kudengar lantaran sering diulang-ulang saban malam.

Namun imajinasiku telah melayang menembus langit, membayangkan jika dirikulah yang berada di dalam kabin pesawat Vostok itu. Dengan teliti aku memeriksa beberapa indikator dan instrumen pada display dashboard di pesawat. Kemudian  saat melongok ke luar jendela pesawat, mulutku terperangah karena terpesona  menyaksikan bola  raksasa berwarna biru dihadapanku. 

Sebuah planet yang selama jutaan tahun menjadi rumah bagi bermacam jenis makhluk bernyawa. Sementara dari kejauhan bulan memunculkan separuh wajah karena takut bopengya  kelihatan.

“Vostok pada station, do you read… do you read.. Misi sudah dijalankan, pesawat berhasil menembus eksofer, grafitasi bumi 10 persen. Bersiap melakukan prosedur kembali ke bumi,” ujarku lalu kemudian mengambil beberapa foto bumi, bulan, dan benda angkasa lainnya untuk dibawa pulang.

Suara gemerisik keluar dari radio komunikasi pesawat, lalu sayup-sayup terdengar suara yang jaraknya ribuan kilometer dibawah tempatku berada.

“Station pada Vostok, diterima. Silahkan lakukan prosedur kembali ke bumi. Kami menunggu Anda.”

**********************
Kanis segera mengambil ancang-ancang begitu petasan businya sudah terisi bahan bakar dan siap diluncurkan. Sementara aku yang sedari tadi sibuk meracik serbuk korek sembari menghayal kini mengalihkan perhatian pada sahabatku itu.

“Apet, siap’e !!!” Kanis berkata sembali mengayunkan businya sebagai tanda siap dilempar.  Aku tersenyum sembari mengangguk. Namun sedetik sebelum busi itu terlepas dari tangannya, ia segera mengurungkan niat dan dengan cepat menyembunyikan petasan busi itu ke dalam salah satu saku celananya.

“Kenapa lagi? Lempar sudah!” aku berteriak karena heran sekaligus tida sabar.

“Liat itu… “ Kanis  menunjuk seseorang di kejauhan yang sedang berjalan ke tempat kami berada.

“Oeee, bahaya, Ema Agus itu,” cepat-cepat kusembunyikan petasan busiku di dalam baju, lalu pura-pura duduk di tepi jalan sambil mempermainkan sebuah batu. Sementara Kanis melakukan hal serupa, ia memilih-milih beberapa kerikil kecil lalu dikumpulkan di genggamanya.

Ema Agus adalah seorang tua yang tinggal di kampung Nekang. Saban sore ia selalu melintasi jalan di tempat kami saat ini berada untuk menengok kebunnya yang terletak persis bersebelahan dengan pekuburan umum Nekang. 

Kata Kanis, Ema Agus paling tidak suka melihat anak-anak yang nakal. Itu sebabnya keberadaaanya sangat ditakuti oleh seluruh anak-anak di Nekang. Meski Ema Agus tidak pernah secara langsung memarahiku, namun lantaran sering mendengar betapa kejam orang tua satu itu pada anak-anak yang dianggapnya nakal, nyaliku pun ikut ciut setiap melihat Ema Agus melintas.

“Kamu dua bikin apa di situ?” Ema Agus menghentikan langkahnya tidak jauh dari tempat  kami berdua duduk sembari berpura-pura mengumpulkan batu. Badannya beselimutkan selembar sarung songke yang sudah pudar warnanya karena sering dikenakan.

Aku daim saja, duduk tertunduk sambil terus menerus mengumpulkan batu entah untuk apa. Sementara Kanis sambil terbata-bata menjelaskan mengapa kami ada distu.

“Kami masih kumpul batu kecil , Ema, untuk maen masak,”

“Maen masak?” tanya Ema Agus sambil mengerenyitkan dahi tanda heran.

Maen masak? Dalam hati aku turut heran sambil menahan ketawa. Si Kanis ini pasti terlalu takut dengan Ema Agus, hingga untuk berbohong pun ia tidak sanggup lagi.

“Maen masak pake kerikil? Apa itu? Lagian kamu dua anak laki-laki kenapa maen masak?” Ema Agus menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berlalu begitu saja dari hadapan kami. Sementara aku terus tertunduk untuk menyembunyikan mukaku yang merah karena menahan tawa.

“Kenapa kau jawab begitu tadi?” tanyaku diantara tawa ketika Ema Agus sudah menghilang diantara rumpun Sensus menuju kebun miliknya.

Kanis tersenyum kecut, “Aehh.. saya takut betul tadi’e. Itu Ema Agus dulu pernah ikat saya di kayu supaya tidak lari waktu disuruh mandi,”

Makin hebat ketawaku sembari membayangkan betapa konyol kejadian Kanis diikat itu. Kanis tak peduli dengan tawaku. Ia kembali merogoh saku celananya, menggenggam petasan businya untuk dilepaskan ke udara.

******************bersambung*****************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

The Godfathers