Sepucuk Surat yang Tak Pernah Sampai

 


23 Maret 2020…

Kutuliskan untaian kalimat  ini  bersama tetes demi tetes air mata yang jatuh setelah menganak sungai di pipi. Sebab rasa lara menyelimuti hatiku, begitu tahu masa depanku telah terenggut selamanya.

Aku ingat, 10 tahun lalu saat kita pertama kali beradu pandang. Bagiku seperti baru kemarin, karena masih segar dalam benak detik demi detik momen mendebarkan itu. Sebuah sapuan pandangan yang membuatku tidak bisa tidur berhari-hari.

Kita bertemu di antara hiruk pikuk orang-orang dengan pakaian warna-warni pada sebuah festival tahunan.

Di bawah gemerlap kembang api dan nyala ratusan lampion yang digantung, wajahmu yang mungil itu seketika terpatri di hati.

BACA JUGA: Sosok yang Hidup dalam Benakku

Hatiku membuncah ketika tahu engkau juga memperhatikanku kala itu. Aku bisa melihat jelas engkau mencuri-curi pandang meski sibuk bercengkrama bersama kelompokmu.  Hatiku mantap, begitu pun engkau, untuk saling mengenal lebih jauh.

Sejak itu kita selalu bertemu dan aku begitu menikmati tiap perjumpaan itu. Saat menghabiskan waktu menyusuri Hubu Alei, kerap kuperhatikan matamu yang berbinar saat menceritakan sesuatu. 

Sementara bibirmu yang ranum itu menata kata-kata dengan cermat, sehingga setiap kalimat yang keluar dari mulutmu terdengar seperti alunan petikan ghungzeng yang bergema di dinding-dinding renta Yellow Crane. Aku mabuk akan segalanya tentang dirimu.

Saat air matamu jatuh ketika aku berlutut di depanmu sembari mengulurkan sebuah cincin sederhana, di situ aku tahu bahwa engkau adalah bagian dari rusukku yang telah diambil.  Kau menyambut pintaku dengan cinta yang meluap- luap.

Sejak itu, aku bertekat bekerja sekeras mungkin, semampu-mampunya, demi bisa bersamamu dan keluarga besar kita bergembira dalam Tea Pai, sebelum kemudian mengucap sumpah sehidup semati.

Namun rencana yang telah kita susun bersama seketika goyah, oleh sebuah dering telepon yang kuterima 7 hari lalu. Dari seberang, suaramu begitu lemah, mengatakan kalau dirimu telah diisolasi bersama puluhan warga lain. Engkau menjadi salah satu yang terjangkiti virus baru bedebah bernama corona.

Aku meraung-raung di depan rumah sakit, bersikeras ingin bertemu dengamu. Para petugas menahanku dengan kuat, sambil menatap dengan iba. Mereka takut aku ikut tertular. Namun, separuh diriku berada di dalam sana, merintih sembari berusaha bernapas dalam kesakitan.

BACA JUGA: Njir, Kok Beda Banget Sama yang di Foto?

Aku diperbolehkan melihatmu, tapi lewat sebuah jendela kaca sempit, berjubel bersama puluhan orang lain yang ingin melihat kerabat mereka yang seruangan denganmu. Ingin kupecahkan saja jendela itu, lalu menghambur padamu, merangkulmu dengan erat sembari berbisik bahwa aku selalu ada untukmu.

Aku ingin duduk tepi ranjang itu, meremas hangat jemarimu yang lentik, sembari memilin ujung rambutmu yang lemas namun mengkilap.

Bahkan maut pun tidak punya hak untuk menghetakputuskan jalinan kasih yang susah payah kita bentuk. Tidak!

Lalu aku mnemukan diriku memandang kosong pada sebuah peti bercat abu yang terpaku rapat. Kesadaran seketika tercerabut beserta akarnya. Sebab dunia begitu kejam memisahkan aku dengan cintaku, belahan hatiku, separuh hidupku.

Saat seseorang menemukan surat ini, tubuhku mungkin telah mengambang kaku di Sungai Yangtze yang keruh dan setengah beku. Jemput aku sayang, jiwaku sedang menuju padamu lalu menyatu dalam keabadian.(*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

The Godfathers