Sosoke itu Kunamai Si Bengal

Si Bengal (Foto: Dok Pri)


Ada penghuni baru di rumah kami. Seekor kucing muda yang seenak perut nyelonong masuk lalu mengajak bermain semua orang. 

Seperti biasa, Terrence selalu senang dengan kedatangan kucing. Tapi tidak denganku. Sejak dulu anak itu ingin punya 1 ekor, tapi tak pernah kuizinkan. 

Entah kenapa, aku kesal kerap kali melihat kucing. Dan yang menjengkelkan, di lingkungan kami ini banyak sekali kucing liar. 

 "Rumah ini hanya menerima anjing," kataku suatu kali pada Terrence yang disambut dengan wajahnya yang seperti rasa belimbing wuluh, masam sekali! 

Sebelumya, kami memiliki seekor anjing. Namanya Bubul, seekor American Pitbull Terrier. Bubul meninggal pada bulan Desember 2019 silam, 2 hari sebelum Natal. 


Ia begitu kesakitan sebelum kematiannya lantaran menderita parvo - sebuah penyakit mematikan bagi anjing. 

Tubuhnya yang kekar menciut hingga tinggal kulit membalut tulang saat parvo menggerogotinya tanpa ampun. 

Sedih sekali melihat mahluk berwajah ganas tapi punya hati yang lembut itu di hari-hari terakhir hidupnya. 

Sama sepertiku, Bubul juga benci pada kucing. Bahkan kebenciannya itu sampai pada tingkat ekstrem. Seingatku ada 3 ekor kucing yang menemui ajal di rahang perkasa Bubul. 

Para kucing naas itu nekat melewati celah pagar rumah, lalu panik dan tak sempat menyelamatkan diri saat Bubul menyergap dengan ganas. 

Yang selanjutnya terjadi, kami harus sibuk menggali tanah untuk mengubur jasad-jasad mereka yang koyak. Kembali ke si Kucing baru ini. Memang pada awalnya aku kesal sekali dengannya. 

Tapi melihat binar mata Terrence saat memandangi kucing itu, aku tidak sampai hati. Apa lagi anak laki-lakiku itu merelakan beberapa puluh ribu rupiah dari celengannya untuk membeli makanan bagi kucing barunya itu. 

Padahal, Terrence menabung untuk membeli Drone yang dilihatnya dalam sebuah tayangan di YouTube. Tiap hari ia menabung Rp 5 ribu hasil menodong ibunya. 


Plus baru-baru ini ia mendapat beberapa lembar uang lima puluh ribu dari Opa Gabby yang tinggal di Cibubur. Sebenarnya bukan Terrence saja yang mendapatkan uang dari sang opa. 

Eleanor, adik perempuannya, juga kebagian. Sementara si adik telah memiliki beberapa potong baju dari lembaran itu, Terrence memutuskan untuk menabung saja, demi satu unit drone yang entah kapan bisa terbeli. 

 Lah, kebablasan berkisah hingga lupa tujuan cerita ini dibuat, yakni tentang kucing. Lama kuperhatikan, kucing ini rupanya punya mantel bulu yang elok dengan kombinasi coklat dan abu. 

Di sisi tubuhnya terdapat semacam garis yang membentuk corak melingkar. Demikian pula di sisi sebelahnya. 

 Garis melingkar itu lalu naik ke atas lalu sejajar dengan tulang punggung dan terus ke belakang hingga mencapai ekor. Sementara keempat kakinya dihiasi motif mirip harimau. 

 Aku penasaran dengan corak unik itu lalu memutuskan untuk melakukan riset kecil. Kuambil ponselku lalu membuka aplikasi Google Lens. 

Saat si kucing sedang berbaring malas, kuarahkan kamera ponsel pada corak di tubuhnya. Tak butuh waktu lama bagi aplikasi dengan kecerdasan buatan itu untuk melakukan identifikasi. 

Di antar muka ponsel, tepat pada corak kucing, muncul sebuah lingkaran putih. Aku mengetuk lingkaran itu dan tampilan layar pun berganti dengan peramban yang menampilkan foto-foto kucing dengan corak yang sama. 

 Aku kemudian mengetuk foto pertama lalu muncullah sebuah artikel panjang mengenai hewan penghuni baru rumah kami ini. 

Tadinya aku mengira ia hanya seekor kucing kampung biasa, tapi ternyata tidak. Menurut artikel yang kubaca itu, ia berjenis Sokoke. 

Aku terus menyimak baris demi baris kalimat tulisan mengenai kucing Sokoke itu dan semakin terkesima karenanya. Kucing Sokoke ini rupanya datang dari tempat yang jauh sekali. 

Hewan ini ditemukan di Kenya di tahun 1970-an oleh seseorang yang sudah aku lupa namanya. 

Terpukau akan coraknya, ia kemudian membawa pulang kucing itu kembali ke negaranya. Sejak saat itulah kucing jenis Sokoke ini menyebar ke seluruh dunia. 

Sokoke adalah kucing yang tidak takut air. Ia juga sangat aktif dan suka berlari serta memanjat. Kelakuan pecicilan itu membuatku menamainya si Bengal. 

Terrence awalnya tidak setuju nama itu, karena ia ingin memanggilnya sebagai Black Panther. Sementara ibunya ingin menamainya Roti. 

Namun aku kukuh, si Bengal paling pas. Mereka pun luluh. 

Mengenai si Bengal ini, aku sempat mengira ia adalah millik salah satu warga di lingkungan ini. Karena itu untuk berjaga-jaga, aku memasang fotonya pada status 

WhatsApp-ku. Banyak yang melihat foto si Bengal, tapi tidak ada yang mengklaim. Oke, mungkin kucing ini ditakdirkan untuk berada bersama kami.

Baiklah, Bengal. Selamat datang di keluarga ini. Enjoy! (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

The Godfathers