Petrichor dan Kisah Layang-layang



"Masa kanak-kanak yang bahagia adalah salah satu hadiah terbaik yang dimiliki orang tua untuk diberikan kepada anak mereka" – Mary Cholmondeley



HUJAN semalam meninggalkan jejaknya. Hujan pertama di bulan Juli yang kering. Titik-titik air bergantungan pasrah pada helai dedaunan,  membiaskan warna jingga redup dari sinar mentari pertama pagi itu. 

Genangan-genangan kecil masih terbentuk setiap ceruk tanah, hingga panas sang surya nanti akan  memaksa mereka menyusup ke rahim bumi, atau menguap dan menyatu dengan mega.  Meski malam telah berganti,  namun hari masih pagi. 

Segenap makhluk di kolong langit masih enggan menyambut fajar, lantaran ingin sekali lagi mencecap mimpi sebelum sadar mencampakan mereka pada nyata.

Aku menyukai bau tanah setelah  hujan. Petrichor, begitu mereka menyebutnya, adalah aroma pemanggil masa lalu. Pertichor  adalah kekasih dambaan indra pembau. Laksana pengantin pria yang terpana memandang tubuh telanjang pasangannya di malam pertama setelah mereka menikah, sebelum keduanya saling melenguh hingga mencapai nikmat.  

Pagi itu, petrichor  pulalah yang menarikku keluar dari mimpi, membangunkanku dari tidur, lalu dengan tergopoh menyingkap pintu rumah untuk membiarkan aroma khas itu memenuhi ruang. perlahan namun pasti, aroma itu mulai membangkitkan kembali kenangan-kenangan yang terselip di antara rongga-rongga dinding batu rumah tua ini. Kenangan-kenangan manis masa kecil yang selalu membuat jiwa merindu hingga pilu, lalu larut dalam lamunan.

Petrichor adalah tangan yang  menyibak tirai batin. Dengan ajaibnya membuat rasio sejenak melepaskan kekiniannya, lalu menjelajah menembus waktu untuk kembali menjadi kanak-kanak.  

Pada setiap ruang di rumah ini, pada sepetak halaman di depan sana, dan pada bentangan  jalan beraspal halus yang dulunya hanya setapak, memori-memori itu seketika menyemburat muncul dan membentuk  sosok diriku yang  masih belum remaja. Lalu sisa kepingan ingatan masa kecil kembali saling terangkai membentuk cerita saat diriku masih seorang anak-anak.

Dan kisah pun dimulai. Aroma petrichor memutar ulang cerita masa kecil yang sempat mengerak dalam memori, laksana segulung  pita film tua yang kembali dimainkan dalam sebuah layar tak kelihatan...

“TARIK terus, jangan berhenti, kita menang nanti,” seorang anak berumur kurang lebih 14 tahun berteriak-teriak sembari menghentakkan kakinya. 

Anak tersebut bernama Luis. kepalan tangannya menggenggam erat, hingga otot-otot tangannya menegang. Nampak benar dirinya sudah tidak sabar menyaksikan apa yang tengah terjadi.  Ia adalah salah satu  dalam sebuah kelompok anak kecil  yang tengah berkumpul di pinggir sebuah jalan beraspal kasar pada suatu siang yang terik. 

Adneralin semua semua orang  nampak sedang sedang mendidih di siang itu. Dan matahari jam dua siang membuat darah makin lancar naik ke ubun-ubun.  Semua mata tertuju kearah langit selatan, di gugusan Poco Likang. Dua buah benda  di langit menjadi perhatian anak-anakitu.

“Awas kabel listrik, tarik kea tas sedikit!” Kanis yang matanya juga  tertuju ke langit itu memperingatkan.

Tidak seperti Luis, ia nampak sedikit lebih tenang lantaran sembari menatap langit,  ia juga tengah menyibukkan diri dengan mengunyah sebatang tebu.  Sesekali  mulutnya mencabik sedikit  bagian dari batang tebunya itu. 

Sambil mengunyah, Kanis menyesap cairan gula dari potongan batang tebu yang ada di mulutnya. Setelah rasa manis berkurang, ampas tebu itu diludahkan begitu saja dari mulutnya.

“Sebenarnya kalau kita pake benang kaca, kita sudah menang dari tadi. Pasti kita sudah dapat itu layang-layang di atas karena benangnya dengan mudah kita bisa kasih putus,”Kanis terus mengoceh sembari mengunyah, sehingga beberapa kata tidak jelas keluar dari mulutnya.

Aku turut ada di situ,tergabung dalam kelompok anak-anak tersebut. Dibandingkan dua anak lain, aku lebih banyak diam dan memperhatikan benda di langit yang adalah dua buah layang-layang itu. Salah satu layang-layang dilangit itu adalah kepunyaaanku.  Sementara layang-layang lain, yang terbang di dekatnya, entah punya siapa. 

Layang layang itu, meski ukurannya tampak lebih kecil dari layang-layang punyaku, namun bentuknya sangat menarik dan tidak biasa. Bentuknya itulah yang membuat kami bersepakat untuk ‘membajak’ layang-layang milik orang lain itu di udara.

Aktifitas membajak layang–layang di udara ini adalah bagian seru dari musim layang-layang yang hadir pada bulan Juni atau Juli di Ruteng, saat dimana langit siang bersih tanpa awan dan  hujan tak turun selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.  

Jika di tempat lain mungkin diistilahkan dengan ‘adu layangan’, namun aku lebih suka  menyebutnya dengan ‘membajak layang-layang’, karena memang itulah yang terjadi. 

Bayangkan, kau tengah asyik menerbangkan layang-layangmu di suatu siang yang cerah lagi damai, sebuah layang-layang lain muncul entah dari mana, melakukan manuver di dekat layang-layangmu sehingga benangnya membelit dan memelintir benang layang-layangmu. 

Engkau tentu panik,  sepanik  kapten Philip yang kaget kala mengetahui kapal pengangkutnya tengah diikuti oleh sekelompok perompak Somalia. Atau mungkin sepanik kapten kapal dagang Inggris yang mendapati  kapalnya dibayang-bayangi oleh Black Pearl saat mengarungi perairan Karibia. 

Di tempat lain, ‘Jack Sparrow’ sialan yang mengendalikan layang-layang pembajak itu melakukan gerakan-gerakan tertentu sehingga benaknya menggesek benangmu hingga putus. Pada saat seperti itu, tidak ada yang dapat kau lakukan selain meladeni permainan  sembari berdoa semoga ia tidak menggunakan benang kaca atau benangmu cukup kuat untuk membalik situasi sehingga si pembajak malah jadi orang yang terbajak, .

Dua layang-layang itu masih menukik ke kiri dan ke kanan.  Jelas ada perlawanan dari layang-layang yang hendak kami bajak itu. Mungkin di antara mereka ini, akulah yang  yang paling dilanda kecemasan. 

Layang-layang merah kuning yang tengah bertarung di langit itu adalah layang kedua dalam minggu ini. Dalam peristiwa pembajakan yang tengah berlagsung itu, alih-alih  memegang kendali atas layang-layangku, aku hanya berperan sebagai penonton, sembari mengeluarkan celetukan-celetukan kecil karena cemas. Kendali layang-layang aku percayakannya pada Yos lantaran pengalaman dan keterampilannya dalam  melakukan pembajakan seperti itu.  

Sebentar ia mengulur benang, lalu kemudian dia menggulung lagi, melakukan hentakan-hentakan lembut, atau dengan sengaja membiarkan layang-layang lawan itu menarik layang-layang kami itu.  Bagian terakhir itulah yang membuat hatiku cemas tidak karuan. Meski  aku percaya sepenuhnya pada Yos dan yakin ini adalah bagian dari taktiknya, namun rasa percaya itu tak lantas membuat hati jadi nyaman.

Rupanya Kanis juga merasakan kecemasan yang sama. Begitu pula halnya dengan Luis.  Dia tampak tidak setuju ketika Yos seperti membiarkan saja layang-layang kami itu ditarik-tarik layang-layang musuh.

“Oee Yos, neka legong kaut ta. Balas tarik ka! Awas dia yang menang,” suaranya meninggi.

Yos tidak memperhatikan ucapan Luis. ia tetap tenang dalam melakukan taktiknya.  Bagai seorang panglima bijak  dalam sebuah pertempuran laut, ia bermuslihat sehingga musuh merasa berada diatas angin, sampai kemudian dikeluarkan sebuah serangan pemungkas yang membuat lawan terpana tak percaya, termasuk kami yang berkumpul di tempat itu.

Dua hari sebelumnya...

“Nia kertas minyak hitu ge?”Yos berteriak tak sabar sambil melihat kepadaku yang sedari tadi menghabiskan waktu dengan duduk di setumpuk rumput yang baru disiangi. 

Tumpukkan rumput liar itu dionggokkan begitu saja di salah satu sudut halaman rumah, menunggu panas matahari mengeringkannya sebelum dilalap api pada petang nanti. Yos masih memandangku sementara tangannya memutar sebilah bambu berwarna kuning pucat.

“Gereng’e,” aku membalas teriakannya itu sembari berhambur masuk rumah.

Yos adalah tetanggaku sebelah rumah. Usianya terpaut  2 atau 3 tahun lebih tua dariku. Oleh teman-teman sebayaku, ia juga dipanggil Cobra. Julukan yang disematkan kepadanya setelah suatu waktu kami berkesempatan menyaksikan aksi Sylvester Stallone dalam salah satu film heroiknya yang  juga berjudul Cobra. 

Di film itu, Stallone berperan sebagai polisi yang menegakkan keadilan di jalanan dengan menembakkan senjatanya kesana kemari. Yos, tentu saja, bangga dengan panggilannya itu. Tidak jelas mengapa ia yang mendapatkan julukan istimewa itu. 

Mungkin karena Yos juga dikenal lihai dalm segala hal, termasuk menggunakan ketapel. Apapun sasaran ketapelnya, entah itu burung gereja, atau ayam tetangga, sudah dipastikan akan meregang nyawa dan berakhir di tungku panggang.

Sembari Yos menunggu, aku menguji nyali dengan menemui Mama yang tengah sibuk di dapur memasak santapan siang  itu. Mama tengah mengolah pucuk-pucuk labu yang ditanamnya sendiri di halaman sempit belakang rumah.  Sementara lauk ikan tembang sudah ditata rapi di atas piring sajian dan diletakkan di meja makan. 

Kombinasi sayur pucuk labu dan ikan tebang goreng selalu berhasil membuatku menghabiskan dua piring nasi setiap kalinya. Namun mungkin tidak hari ini, karena teriakan Yos  tadi masih terngiang-ngiang di telingaku. Tangannya yang memegang bilah bambu itu telah membuyarkan pikiranku tentang hidangan istimewa Mama.

“Ma,” Aku mecoba membuka percakapan sementara memperhatikan tangan Mama yang sibuk mematahkan julur-julur  pucuk labu menjadi bagian-bagian kecil. “Minta uang ka...”

“Untuk apa lagi?” Pandangan Mama tidak beralih dari pucuk-pucuk labunya.

“Beli kertas minyak,” Aku menjawab. Suara sengaja kupelankan sembari khawatir menunggu reaksi Mamaselanjutnya.

Tidak ada gerakan-gerakanmencurigakan....

“Layang-layang lagi? Ba’ang nana, beli kertas minyak terus saja kau. Berapa hari lalu suda beli untuk buat kau punya layang-layang. Mana itu layang-layang sudah?” Jawaban dari  Mama membuat perasaanku tidak enak, namun sudah kuduga akan seperti itu.

“Masalahnya itu layang-layang tidak mau terbang. Yos bilang rangka bambunya terlalu berat dan tidak seimbang,” jawabku dengan perasaan tidak menentu.

“Salah sendiri, to. Kalau tidak bisa buat sendiri, suruh orang yang lebih tahu.”

Jawaban Mama rupanya tidak bisa dibantah. Dengan lunglai aku pun berlalu meninggalkannya melanjutkan kesibukan di dapur.

Mungkin Bapa ada simpan uang, batinku.

Bapa menghabiskan waktu menjelang siang dengan tidur-tiduran saja di kamarnya. Tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan di hari-hari liburan kenaikan kelas itu. Karena Bapa berprofesi sebagai guru, ia pun ikut merasakan liburan sembari melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil di rumah. Selepas lalu kulihat ia membaca sebuah buku cukup tebal. Namun rupanya panggilan bantal lebih kuat ketimbang memperhatikan deretan huruf yang membosankan itu.

Aku mengambil tempat di ujung tilam tempat Bapa membaringkan diri. Kugerak-gerakkan kakinya sembari menunggu ia bangun.

“Kenapa, nana?” Bapa sedikitkaget karena sudah kubangunkan.

“Saya minta uang di Mama, tapi Mama tidak kasih. Bapa ada uang?”

“Berapa? Buat apa?” Bapa kembali mencoba menutup matanya. Rupanya ia sedikit terganggudengan kehadiranku. Namun begitu, Bapa bukan jenis orang yang akan meradang kalau tidur siangnya diganggu. Bapa baik dengan anak-anaknya. Ia selalu mau menjadi teman kami.

“Lima ratus,” jawabku penuhharap.

Bapa diam sebentar, tampak seperti mengingat-ingat sesuatu. “Ada uang seribu di saku jacket Bapa yang digantung di belakang pintu,”

Puji Tuhan! Aku segera menyingkap pintu kamar yang dimaksud Bapa lalu menemukan sebuah jacket yang tergantung diantara beberapa helai pakaian lainnya.

“Saku samping sebelah kanan, “kata Bapa saat melihatku sibuk mencari. Benar saja, selembar uang seribu terselip di saku jacket itu. Hatiku senang bukan kepalang.  Kuraih uang itu lalu berlari keluar kamar, meninggalkan Bapa yang berusaha kembali tidur siang.

“Jangan lupa kembaliannya,”Seru Bapa dari dalam kamar. Aku tak menyahut. Toh Bapa akan lupa dengan uang kembaliannya itu.

Yos tengah sibuk meraut batang-batang bambu ketika aku datang dengan dua gulung kertas minyak  berwarna merah dan kuning yang kubeli dengan uang yang dijarah dari jakcket Bapa.  

Yos sejenak memperhatikan gulungan minyak  yang kugenggam, lalu kembali larut dalam kesibukannya meraut batang bambu.  setelah seleasi, dengan terampil tangannya menimbang sebuah batang bambu yang telah diraut halus, untuk mencari tahu apakah batang bambu itu telah memiliki berat yang seimbang pada kedua sisinya. 

Setelah dirasa cukup, batang bambu itu diikat pada sebuah batang bambu lain sehingga membentuk seperti sebuah salib.  Ia lalu mengambil gulungan benang dan mengikatkannya pada ujung bagian atas rangka salib itu. 

Benang tersebut di bentangkan pada ujung bambu lainnya, lalu diikat dengan kuat agar tidak  sampai lepas. 

Hal yang sama ia lakukan juga pada ujung lainnya, sehingga bentangan benang  mengelilingi seluruh rangka bambu, membentuk semacam sisi. Pada benang tersebut nantinya akan direkatkan kertas minyak.

“Besar betul ini layang-layang!” Aku berseru ketika melihat rangka itu selesai dibuat.

Yos tersenyum bangga melihat hasil kerjanya. Sebuah rangka layang-layang dengan lebar masing-masing  1 meter di kedua ujung kiri kanannya.  Sementara panjangnya lebih dari 1 meter.

 “Bawa sini kertas minyaknya. Mana lem?” seloroh Yos lalu dengan segera kerta minyak itu berpindah kepadanya.

“Tirada lem’e,” aku menjawab.

“Pakai nasi saja,” Yos berkata kemudian bergegas lari memasuki rumahnya lalu kembali dengan sebongkah kecil nasi putih yang akan digunakan sebagai lem.

Langit  lembah Poco Likang kerap riuh ketika musim panas di bulan Juli.  Sebagian besar anak-anak di kota kecil Ruteng seperti berlomba menerbangkan layang-layang buatan sendiri. Ada semacam pertandingan tidak resmi  di saat itu. 

Puluhan layang-layang menari-menari di langit yang biru seakan mengatakan dirinya yang paling terbaik. Beberapa layang-layang hadir dengan untaian rumbai yang ramai, dengan panjang bermeter-meter. Sementara yang lain mengandalkan ukuran yang besar dengan warna mencolok sehingga akan terus tampak meski di terbangkan dengan ketinggian berkilo-kilo meter dari permukaan tanah.  

Sementara anak-anak lain mecoba membajak layang-layang sasaran mereka. Namun bentuk layang-layang yang dimainkan anak-anak Ruteng itu umumnya sama, yakni segi lima atau segi empat dengan sisi-sisi yang lebih  pendek pada bagian yang menghadap keatas.

Layang-layangku telah selesai dibuat.  alih-alih dibuang, kertas minyak yang masih tersisa ditambahkan di bagian belakang layang-layang,membentuk sebuah ekor yang berjuantai sehingga membuat layang-layang tersebut tampak makin menarik.  

Uang dari Bapa juga tak tersisa, lantaran selain untuk membeli kertas minyak, uang tersebut juga digunakan untuk menambah beberapa gulung benang lagi. Dalam benak aku membayangkan bagaimana gagahnya layangku nanti saat mengudara.

“Ayo kita kasih terbang ini ayang-layang,” Seru Yos yang juga terlihat tidak sabar.

“Sabar,e... saya ambil spidol sebentar,” kataku kemudian berlari masuk rumah lalu secepat kilat kembali ketempat Yos berdiri menenteng layang-layang kami itu.

“Untuk apa itu spidol?” Tanya Yos penasaran dengan benda di tanganku itu.

“Lihat saja,” jawabku dengan sumringah.

Yos menurut saja ketika aku meminta ia untuk meletakkan layang-layang itu di tanah. Lalu dengan spidol, aku mengguratkan sebuah tulisan dengan huruf balok besar pada layangan itu. GALAK.

“Galak? kenapa tulis galak?”tanya Yos bingung dengan tulisan GALAK yang baru saja kubuat pada layangan itu.

“Biar macam layang-layang di film benyamin S. itu ka,” aku jawab sembari terseyum puas. “Masih ingat itu film di TPI itu to? Layang-layangnya Benyamin S. juga tulisannya GALAK."

“OOOh,” Yos mengerti lalu ikut tersenyum. “Ayo kita kasih terbang ini si GALAK.”
                                                                       
                                                                    
                                                                      ---


YOS masih terus mengulur benang di tangannya, hingga layang-layang kami telah mengudara sisi selatan tenggara langit, setelah sebelumnya terbang sejajar dengan gugusan Poco Likang, salah  satu gunung dari jejeran mandosawu yang berdiri  di sisi selatan Ruteng. 

Kedua layang-layang itu  sudah beratus-ratus meter jauhnya dari bumi.  Selain Yos, kecemasan semakin melanda kami. Aku cemas layang-layang keduaku minggu ini akan hilang entah kemana karena keteledoran Yos dalam menjalankan aksinya, sementara Kanis dan Luis cemas akan kehilangan tangkapan mereka siang itu.

“Yos, tarik suda kaa! Kalau tidak, guling saja benangnya, tidak usah bajak itu layang-layang sudah. Saya tidak mau ini layang-layang terlepas nanti,” untuk pertama kalinya aku angkat bicara siang itu. Khawatir layang-layangku lepas, khawatir menyia-nyiakan uang seribu yang telah kudapatkan susah payah dari Bapa. 

Selain itu, perutku sudah  keroncongan setengah mati. Terik matahari membuat rasa lapar itu semakin mendera.  Meski hari ini Mama tidak menyediakan makan siang sayur pucuk labu dan ikan tembang kegemaranku, namunaku bersedia makan sebanyak-banyaknya siang ini, apapun hidangannya.

“Teke cekoen. Sabar,” kata Yos sembari  terus menatap dua  layang-layang yang tengah bertarung itu.

Beberapa orang yang lewat dijalan itu tertarik dengan aktivitas kami siang itu. Seorang tetangga,  bapak-bapak berusia kurang lebih 50 tahun lebih yang  baru saja kembali dari Rumah Sakit menjenguk salah satu kerabatnya, menghentikan sebentar perjalanannya karena tertarik dengan keriuhan empat orang  anak  di pinggir jalan. 

Kepalanya mendongak ke atas untuk melihat kedua layang-layang yang tengah bertarung di langit. Ia  kemudian memperingatkan kami untu selalu menghindari kabel listrik yang melintang tak jauh di tempatkami bermain. 

Padahal sangat tidak masuk akal peringatannya. Bagaimana mungkin sebuah benang tipis dapat memutus kabel dengan karet pelindung berdiameter 4 cm?  Ia menggumam sebentar seperti mengutuki kami lantaran acuh dengan peringatannya sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya.  

Om Totu, salah seorang tetangga kami yang lain, sama tertariknya dengan bapak tua itu. Rupanya sedari tadi ia memperhatiakan kami dari dari jendela rumahnya yang berjarak tidak berapa jauh dari tempat kami berada.  

Laki-laki dua anak namun tidak pernah terlihat seperti seorang ayah itu mendekati kami, melihat ke langit, lalu bagai seorang konsultan hukum memberikan serangkaian nasihat kepada Yos mengenai taktik apa yang harus dilakukan.  Namun seperti sebelumnya, Yos bergeming.  Ia tetap pada taktik tarik ulurnya.

Angin kembali bertiup ke arah selatan, dan kini kedua layang itu telah kembali terbang ke tempat yang kami harapkan. Aku memperhatikan Yos mulai menggulung benangnya pelan-pelan.

Yos kemudian melihat ke arah Luis dan Kanis “Kamu dua pergi ke arah Kedutul. Lari supaya cepat!”
Kedua anak itu langsung melesat pergi, mengikuti instruksi Yos melintasi jalan tanah kering yang mengarah ke Kedutul.

“Jangan lupa liat layang-layang ke atas,” teriak Yos kepada mereka. 

Entah mendengarkan atau tidak, Yos dan Kanis terus berlari hingga hilang dari padangan. Mereka rupanya mengambil jalan lain dengan berbelok ketika sampai sebuah di persimpangan, menyusuri jalan disisi kanan pekuburan umum menuju Ngencung. 

Kedua anak itu rupanya menunggu di antara Kedutul dan Ngencung karena sebelumnya telah memperhatikan angin yang sebentar mengarah ke selatan, lalu kemudian bertiup ke timur.

Yos kemudian menyuruhku menggulung benang sementara tangannya menarik benang sembari sesekali melakukan gerakan menghentak yang lembut. Aku menggulung benang dengan cepat, tak mau kehilangan layang-layang besar kesayanganku.  

Benang terus ditariknya, lalu sebentar kemudian mengulur lagi, menarik lagi, lalu mengulur lagi. Angin di langit rupanya bertiup semakin lemah. 

Pada saat itu, benang terasa kendur. Secepat kilat Yos menarik benang agar jarak layang-layang semakin dekat dengan kami, sembari menjaga layang-layang  tetap mengudara. Sementara pangkal layang-layang musuh sudah menempel di benang layang-layang kami.

Yos mengulur sebentar mengikuti angin yang mulai bertiup kencang. Lalu sejurus kemudian  TAKKK! terdengar sebuah bunyi kecil lantaran Yos melakukan sebuah hentakan yang sangat kuat.  

Apa yang selanjutnya terlihat adalah hal yang sukar dipercaya. Layang-layang musuh putus dari benangnya. Namun ajaibnya, layang-layang  tersebut tidak lepas terbang bebas ke udara, melainkan tetap menempel pada benang layang-layang kami. A

ku kaget bukan kepalang, sementara Yos tertawa keras karena kegirangan sembari menarik dan menggulung benang secepat-cepatnya. Layang-layang musuh sudah di tangan!

Dari kejauhan terlihat Luis dan Kanis mendapati kami sambil berlari. Mereka ikut bersorak-sorai  melihat kemenangan telak ini.  

Kanis saking girangnya, waktu berlari tak melihat sebuah lubang kecil di depannya.Kakinya masuk lubang lalu terjungkal ke tanah. Alih-alih merasa kesakitan, ia segera bangun kembali dan terus berlari.

“Mantapppp!!! Yos Cobra, jago hau’e,” Luis yang usianya sebaya dengan Yos memuji temannya itu dengan tulus,sementara tangannya menempuk-nepuk punggung Yos.

Yos juga tersenyum bangga,menikmati betul sanjungan-sanjungan yang kami alamatkan kepadanya. Sementara aku dapat bernapas lega karena layang-layangku dapat mendarat ke bumi dengan selamat. Aku juga bangga layang-layangku berhasil memenangkan pertarungan yang seru di atas sana. Si GALAK memang hebat.

Layang-layang musuh itu bentuknya sedikit berbeda dengan layang-layang yang umumnya kami mainkan.  Disainnya seperti pesawat terbang, dengan dua buah sayap yang bertumpuk di bagian bawah dan atas atas badan layang-layang dan disanggah empat batang bambu kecil. 

Ukurannya tidak seberapa besar, namun bentuknya yang menarik membuat kami mengagumi pembuatnya… dan kemudian membajaknya. Kelak, berdasarkan disain layang-layang itu, Yos membangun layang-layang miliknya sendiri dengan ukuran yang lebih besar.


                                                                    ----


AROMA petrichor  perlahan sirna bersama mentari yang semakin meninggi. Suara ceceirit burung-burung  gereja terdengar dari tempat mereka bertengger di kabel instalasi listrik yang melintang sejajar dengan jalan beraspal halus itu. 

Barisan Pegungungan yang berdiri membisu menaungi Ruteng tidak lagi berwajah muram. Mentari pagi telah melingkupinya dengan warna kuning keemasan, bagai gundukan emas dengan latar langit biru yang bersih tanpa awan  Aku masih termenung mengingat kembali kisah kecilku yang penuh warna. Bagai warna-warni langit Ruteng di bulan Juli. 

Rasa gembira tumpah ruah lantaran terkenang kembali dengan layang-layang merah kuningku, dengan layang-layang yang berhasil kami bajak, dengan wajah girang Yos Luis dan Kanis, dan dengan rasa girang setelah memenangkan pertarungan udara yang sengit. 

Kegembiraan yang mungkin juga dirasakan para prajurit yang baru kembali dengan bangga dari medan perang lantaran telah mengalahkan rasa takut dengan menumpas musuh sampai ke akar-akarnya.  

Satu dari sekian masa indah kanak-kanak yang telah menjadi bagian dari lembaran-lembaran hidup yang akan kuceritakan pada penerusku kelak.  

Kisah yang mungkin akan jadi cerita penghantar tidur bagi anak-anakku. Apa mereka tertarik dengan kisahku ini? 

Entahlah, sebab setiap generasi hidup dalam masa mereka sendiri, mengukir kisah mereka sendiri, yang akan menjadi sejarah dalam perjalanan kehidupan mereka sendiri.

Sebuah tangan kecil  yang menarik-narik ujung bajuku akhirnya membuyarkan lamunan panjangku pagi ini.

“Hey, nak. Sudah bangun?”  kataku pada pemilik tangan itu. Di depanku tampak sebuah wajah polos anak lelaki berusia lima tahun.

Wajah itu tersenyum manis, semanis lamunanku pagi ini. Semanis aroma petrichor yang mengenalkanku kembali pada jiwa kanak-kanakku.

“Bapa, minta uang ka, saya mau buat layang-layang,” pintah buah hatiku itu.

Aku terkesima sesaat.

“Layang-layang? Ayo kita buat layang-layang, dan mari kita namai dia GALAK,”

                                                                                                           


Jakarta,  Januari 26, 2014,
Dedicated to JT and His Mom

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

The Godfathers