Kisah sebuah Busi - Bagian Pertama
Sore hari yang mendung di awal bulan Desember. Siang tadi hujan dan petir menghajar bumi tanpa ampun, menyisakan air yang menggenang di halaman rumah, di lubang-lubang pada jalan beraspal, di bekas jejak oto dan di setiap tempat yang memungkinkan terciptanya genangan air.
Sementara itu, angin yang berhembus pelan menghantarkan hawa dingin dari puncak Poco Likang. Melewati hamparan sensus di Wae teku Tenda lalu menyusup masuk dalam kisis-kisi rumah yang kemudian dengan kejamnya mengiris daging dan menusuk-nusuk tulang setiap penghuni Ruteng di senja kelabu itu.
Aku meringkuk dingin di kaki pintu rumah sambil menunggu hujan menghentikan murkanya. Sesekali jari-jariku yang mengkerut kedinginan menyentuh bulir-bilir percikan air hujan yang menempel pada kain payung yang diletakan begitu saja tidak jauh dari tempatku duduk.
Dari jauh sayup-sayup terdengar alunan lagu Wie Nggeluk Bail yang dimainkan dari tape recorder. Dalam hati aku sedikit girang lantaran sebentar lagi hari Natal tiba. Itu berarti sekolah akan libur, dan akan banyak kue yang terhidang di ruang tamu rumah.
“Enak…” batinku sambil menelan air liur.
Gerimis masih terus turun saat sinar mentari pukul empat petang dengan kepayahan menembus awan gelap yang perlahan memudar. Saat pancaran cahya itu bersentuhan dengan percikan air dari langit, terjadilah keajaiban.
Spektrum warna warni berbentuk busur mencuat begitu saja dari kaki Poco Likang sebelah timur lalu melintasi langit dan kemudian tenggelam di balik rimbun pepohonan Ampupu dan bambu yang tumbuh tidak jauh dari rumahku. Aku sering membayangkan bisa mencapai salah satu ujung pelangi itu, merangkak perlahan menaikinya hingga di puncak, lalu meluncur cepat menuju ujungnya yang lain. Ah… pasti mengsyikan.
“Pelangi itu busurnya Tuhan Allah nana,” cerita nenekku suatu ketika untuk memuaskan rasa penasaranku terhadap benda indah luar biasa yang kerap menghiasi langit senja itu.
“Jaman dulu, Tuhan menenggelamkan dunia dengan air bah karena dosa manusia pada saat itu sudah tak terperikan lagi. Sebelum itu, Dia mengutus salah satu nabiNya bernama Nuh untung mengumpulkan segala jenis binatang berpasang-pasangan agar tak sampai turut binasa. Saat banjir sudah reda, Tuhan membuat perjanjian dengan Noah untuk tidak lagi mengirimkan air bah ke dunia. Busur Tuhan diletakkan di langit menjadi pelangi sebagai tanda perjanjian itu,” dia berkisah.
Aku mengangguk saja ketika nenek bercerita dengan semangatnya tentang asal muasal pelangi. Padahal kisah yang sama sudah pernah kubaca dari Kitab Suci kala ak dan dua orang temanku yang lain didaulat untuk mengikuti Lomba Kitab Suci tingkat lingkungan. Kisah air bah itu juga pernah kudengar dari ibu Dem saat pelajaran agama Katolik waktu aku masih duduk di kelas 2 SD, tiga tahun silam.
Padahal baru dua minggu yang lalu, pak Thomas, guru IPA di sekolahku, menjelaskan bahwa pelangi terbentuk karena pembiasan sinar matahari oleh tetesan air yang ada di atmosfir. Ketika sinar matahari melalui tetesan air, cahaya tersebut dibengkokkan sedemikian rupa sehingga membuat warna-warna yang ada pada cahaya tersebut terpisah. Tiap warna dibelokkan pada sudut yang berbeda, dan warna merah adalah warna yang paling terakhir dibengkokkan, sedangkan ungu adalah yang paling pertama. Fenomena ini yang kita lihat sebagai pelangi.
“Pak… tanya pak,” Lius, salah seorang temanku mengangkat tangan karena ingin bertanya.
“Mau tanya apa, Lius?” jawab pak Thomas sambil menguap.
“Kata ibu guru agama waktu kami di kelas 2, pelangi itu adalah busurnya Tuhan.. mana yang benar Pak?”
Pak Thomas mengerenyitkan dahi, “beda!” ia membentak Lius lalu cepat-cepat melanjutkan pelajarannya sebelum kami bertanya lebih jauh tentang persoalan pelangi itu.
…………..
“Hoehhhh!!!” Sebuah teriakan keras tepat di telinga sontak menghentikan lamunanku. Aku terperanjat dan hampir terjengkang karena kaget. Aku hanya bisa memasang muka masam setelah tahu bahwa Kanis yang baru saja mengagetkanku.
Melihatku yang kelimpungan hampir jatuh, Kanis tertawa terpingkal-pingkal sehingga kelihatan barisan giginya yang berwarna kuning karena jarang disikat. Bukannya marah, ak tersenyum gembira lantaran melihat tangannya memegang sesuatu yang sudah kunantikan seharian ini, sebuah petasan busi.
Benda tersebut ia lemparkan kepadaku dan kutangkap dengan cepat. Sementara dari dalam saku celana pendek bututnya, ia keluarkan lagi sebuah petasan busi yang lain untuk dirinya sendiri.
Petasan busi adalah permainan khas anak-anak di Ruteng menjelang Natal. Sesuai namanya, benda tersebut mengeluarkan bunyi yang sangat keras bila dimainkan. Petasan busi terbuat dari busi bekas yang telah dilubangi ujungnya.
Pada lubang itulah dimasukan serbuk korek api yang kemudian disumpal dengan sepotong baut. Pada ujung yang lain, dipasang rumbai-rumbai yang terbuat dari plastik bekas. Rumbai-rumbai tersebut berfungsi mengendalikan busi dan membuatnya seimbang saat dilemparkan ke udara sehingga ujung berlubang yang telah fully loaded – serbuk korek sudah dimasukan – selalu menghadap ke kebawah.
Saat berbenturan di permukaan tanah, baut yang disumpal di lubang busi kana menekan serbuk korek dengan keras sehingga bergesakan. Dan, plarrrr!!! Sebuah ledakan dashyat tercipta dan memekakan telinga siapa saja yang berada di dekat tempat jatuhnya petasan busi itu.
Petasan busi sebenarnya benda yang terlarang untuk dimainkan karena dianggap mengganggu. Bunyinya yang keras itu selalu mengagetkan siapa saja. Bahkan setiap memasuki bulan November hingga Desember menjelang Natal, pihak kepolisian senantiasa melakukan patroli keliling kota Ruteng untuk merazia anak-anak yang masih nekad memainkan petasan itu.
Tidak jarang polisi-polisi tersebut menangkap beberapa anak yang kedapatan memainkan busi, lalu digelandang ke ke kantor polisis untuk ditatar. Bapak Bupati pun menaruh perhatian khusus terhadap jenis permainan ini. Hampir tiap malam, dari radio berkumandang pengumuman dari pemerintah daerah yang melarang memainkan busi.
Sebuah peringatan keras juga meluncur dari mulut Mama saat melihat aku dan adik laki-lakiku mengumpulkan beberapa lembar plastik dan mengubek-ubek kotak perkakas Bapa untuk mencari busi bekas.
“Apet, pokoknya kamu dua dengan Epin tida boleh maen busi, awas kalo sampe mama dapat. Mama hampir tiap malam baca berita di radio tentang larangan main busi, tapi malah mama punya anak-anak juga ikut main itu barang,” kata Mama yang berprofesi sebagai penyiar di sebuah radio pemerintah di Ruteng.
“Iya Mama…” jawab kami berdua mwski tidak benar-benar akan melakukan apa yang telah dititahkan Mama.
Kanis sibuk merapikan rumbai-rumbai plastik di businya saat aku membeli beberapa bungkus korek api di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Sang pemilik kios yang masuk golongan 'pembenci bus'i awalnya tak mau melayaniku lantaran curiga korek tersebut akan digunakan sebagai bahan bakar busi.
Namun setelah aku berkilah jika korek ini merupakan pesanan Mama, ia pun memberikan beberapa bungkus korek api meski tetap memandang dengan tatapan penuh curiga.
“Awas, jangan main busi.. nanti saya kasih tahu mamamu,” katanya sambil menyodorkan lima bungkus korek api yang kutebus dengan lima lembar uang seratusan rupiah.
“Iya om,” kataku sambil menerima korek tersebut dan segera berlari menjauh diikuti Kanis dengan wajah berseri karena melihat korek tergenggam di tanganku. Si pemilik kios sempat berteriak mengancam akan memberi tahu orang tuaku kalau aku kedapatan bermain petasan busi.
Namun, rasa penasaran akan bunyi-bunyi ledakan dashyat yang akan kami ciptakan nanti membuatku lupa akan pengumuman di radio, patroli polisi, atau peringatan mama. Busi dan korek sudah di tangan, saatnya beaksi.
“Kita main di mana?’ ucap kanis yang berlari tergopoh sambil tersengal di belakangku lantaran nafasnya terdesak perutnya yang buncit.
“Di sana, ‘ jawabku sambil menunjuk sebuah simpang jalan tepat di sebelah rumahku.
..............bersambung.................
Komentar
Posting Komentar