Ratni Mempertahankan Kehormatannya



Celana dalam Ratni sudah sampai di lutut saat kesempatan itu datang. Ketika pria yang berlutut di atasnya berupaya melepas sabuk dan kancing celana jeansnya, Ratni mengentakkan kaki sekuat-kuatnya ke selangkangan sosok yang ingin menggagahinya itu. 

Sang pria seketika terjengkang ke belakang. Wajahnya meringis menahan sakit lantaran kejantanannya itu dihajar sedemikian rupa. 

Ratni segera bangkit, menarik celananya yang melorot lalu merapikan roknya. Ia memicingkan mata, melihat pria itu masih mengaduh kesakitan di tanah sembari memegang barangnya. Ratni merasakan takut bercampur amarah atas peristiwa yang sedang dialaminya itu. 

BACA JUGA: Sepucuk Surat yang Tak Pernah Sampai

Ia ingin segera meninggalkan tempat itu, namun matanya terpaku pada  batu yang teronggok di bawah sebatang pohon. Ia diam sebentar, lalu mengangkat batu itu dengan sisa-sia tenaganya. Digotongnya batu itu ke arah pria yang tengah berbaring menggulung di tanah. Pria itu kaget melihat Ratni mendekat, ia ngeri melihat sorot mata penuh dendam dari perempuan itu. 

"Jangan.. " Begitu ucapan terakhir dari mulut pria itu sebelum kesadarannya hilang lantaran batu dengan berat 30-an kilo menghantam batok kepalanya. 

Sementara sang pria kelonjotan meregang nyawa, Ratni berlari sekuat tenaga melintasi pohon-pohon karet yang berjejer rapi di kawasan itu. Ada rasa puas menyeruak dari dalam jiwanya. Rasakan itu laki-laki biadab, batinnya. 

Itu adalah kejadian 3 tahun lalu. Namun Ratni masih ingat setiap detail peristiwa itu. Saat di mana kehormatannya hampir direnggut paksa oleh pria yang ia anggap teman. Hendy, demikian nama pria yang sudah almarhum itu, bukan orang asing bagi Ratni. Ia adalah anak lurah di desa tempat Ratni dan keluarganya tinggal. 

Ratni dan Hendy adalah teman masa kecil. Lalu kemudian mereka berpisah karena Hendy ikut pamannya tinggal di Jakarta dan bersekolah di sana. Hingga beberapa tahun berselang Hendy kembali ke kampung sebagai pria dewasa lalu tergiur oleh kemolekan tubuh Ratni, teman masa kecilnya. 

Lalu terjadilah peristiwa itu, Hendy mengajak Ratni berjalan-jalan untuk pertama kalinya setelah 10 tahun tak bersua. Ratni tak menaruh curiga, ia menurut saja saat diajak boncengan motor. 

Sebenarnya Ratni senang diajak Hendy. Di matanya, Hendy cukup memesona. Wajahnya tidak dekil seperti dulu. Apa lagi, gaya pakaian Hendy itu kekinian sekali, khas anak kota. Sementara pemuda lain di kampung itu berpakaian ala kadarnya saja. 

Yang belakangan Ratni sadari adalah, perubahan Hendy bukan fisik saja, tapi juga isi kepalanya. Kalau tidak, tak mungkin sampai ia nekat ingin menggagahi Ratni, teman masa kecilnya sendiri. 

Lamunan Ratni buyar setelah ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia kemudian bangkit berdiri dan melewati beberapa perempuan yang duduk di lantai  sel yang menjadi tempatnya menghitung hari selama 3 tahun terakhir. 

"Ibu bapakmu datang," ucap sipir perempuan yang tadi memanggilnya. 

Ratni mengangguk takzim kepada  sang sipir sebagai tanda terima kasih. Ia memang jarang bicara sejak masuk penjara, dan semua orang di situ sudah maklum dengan perilakunya. 

Di antara ramai orang yang memenuhi ruangan besuk yang luas itu, Ratni bisa melihat kedua orang tuanya yang berdiri dengan gugup. Wajah mereka tampak layu, mungkin lelah memikirkan anak perempuan mereka harus berakhir di penjara lantaran membunuh orang. 

Ia disambut pelukan hangat sang ibu, lalu kemudian keduanya  terisak bersama. Sementara sang ayah, dengan rasa tegar yang dipaksakan, membelai lembut rambut Ratni. 

"Piye kabarmu, nduk? "tanya ayah Ratmi setelah ketiganya duduk di salah satu bangku besi panjang di ruangan yang agak sumpek itu. 

Ratni tersenyum sembari menatap wajah ayahnya. Ia berusaha menampilkan wajah ceria agar kedua orang tuanya  tahu bahwa ia baik-baik saja walau kebebasannya terkungkung di balik kokohnya tembok penjara. 

"Ibu bawa tempe oseng kesukaanmu," ucap sang ibu sembari mengunjuk rantang 3 susun kepada Ratni.

"Ada ayam goreng juga, dibagi sama teman-temanmu yah."

BACA JUGA: Petrichor dan Kisah Layang-layang

Ketiganya lalu ngobrol mengenai keadaan di rumah. Tentang Wawan, adik Ratni yang tahun ini akan tamat SMA. Oleh kedua orang tuanya, Wawan dibujuk untuk melanjutkan sekolah. Namun ia kukuh ingin bekerja dan menghasilkan uang sendiri terlebih dahulu. 

Ratni melihat ada secercah rasa bangga di mata ayahnya ketika bercerita tentang Wawan. Hal itu membuatnya makin sedih. Seharusnya ia bisa menjadi bagian kebanggaan itu. 

Ratni tahu, hidup tak pernah lagi sama sejak dirinya harus tinggal di balik jeruji besi. Pun ayah, ibu dan adiknya kini harus menjalani hidup terkucil. Warga desa kini enggan berhubungan dengan mereka. Ratni dan keluarganya dianggap aib yang harus dihilangkan. 

"Nduk, bangun.. Bangun.. " 

Ratni kaget setengah mati kala menemukan dirinya sedang terbaring di kamarnya sendiri, bukan di penjara. Ia juga tertegun sebentar lantaran melihat ibunya duduk di sisi tempat tidur. Ibunya rupanya berupaya membangunkan Ratni dengan menggoyang-goyangkan kakinya. 

Ratni lalu duduk, mengusap wajahnya sembari mengumpulkan kesadaran. Mimpi yang baru dialaminya itu nyata sekali, begitu detail dan menakutkan. 

"Nggih, bu. Ada apa? " Ia bertanya kepada  ibunya yang tampak tidak sabar. 

"Iku loh, ada nak Hendy di depan, pengin ketemu kamu. Semalam baru pulang dari Jakarta," kata ibunya. 

Ratni terhenyak ketakutan mendengar nama itu. Hendy…(*) 

BACA JUGA: Sosok yang Hidup dalam benakku

Cek juga video cover ini!




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

The Godfathers