Postingan

Menampilkan postingan dengan label cerita seram

Ada Apa dengan Bayu?

Gambar
  Menjelang tengah malam, Bayu pamit untuk pulang dengan suara yang lemah. “Aku pulang duluan yah,” ucap Bayu. Wajahnya tampak lelah, dengan rambut awut-awutan, kantong mata tebal lantaran kurang istirahat. Sejurus kemudian dia mulai membereskan mejanya, mematikan laptop dan menjejalkannya ke dalam tas bersama setumpuk kertas. Alih-alih langsung merespons, Weni yang menempati meja kerja di sebelah Bayu melirik sudut kanan bawah layar komputernya. Jam 23.54, sedikit lagi tengah malam. “Kamu masih di sini Wen?” Bayu bersuara lagi. “Ya, sedikit lagi nih. Tanggung. Cuma beresin bagian akhir proposal, paling setengah jam lagi kelar,” jawab Weni tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. BACA JUGA: Kala Cinta menyapa di Commuter Line Namun sekejap kemudian, perempuan pertengahan 20 tahun itu ingat sesuatu dan bicara lagi. Kali ini, ia melontarkan pandangan penuh tanya kepada rekan kantornya itu. “Bukannya jam segini kereta udah nggak ada Bay?” “Aku tadi bawa motor kok,” sergah Bayu. “Oh OK!

Sosok yang Hidup dalam Benakku

Gambar
  Aku bingung. Ibu  belakangan ini selalu menatapku dengan perasaan lain. Ada pancaran kecemasan dari sorot matanya. Seperti ada yang tidak beres pada diriku. Padahal, aku baik-baik saja. Sehat-sesehatnya.  Begitu juga dengan Dhita, adikku satu-satunya. Ia tak pernah lagi menyelinap masuk ke kamarku lalu tiduran di kasur sambil membaca salah satu koleksi komikku. Sepertinya ia menjaga jarak, bicara seperlunya saja denganku.  Semuanya berawal ketika Rani datang ke rumah. Rani adalah sahabatku. Kami seperti saudara, karena sebagian besar waktunya kerap kali dihabiskan di rumahku.  Kisah pertemuanku dengan Rani begitu unik. Ia mengantarku kembali pulang ketika aku kabur dari rumah karena bertengkar dengan ibu. Dalam pertengkaran itu, ibu mengatakan kalau aku sakit dan itu membuatku kecewa.  Dua hari aku pergi dari rumah, luntang-lantung di jalan lalu menghentikan langkahku di depan sebuah rumah yang tak terawat lantaran tak lagi ditinggali.  Di teras rumah itu, aku ingin mengaso sebentar

Kawanan Anjing ini Melindungi Aku dari Apa?

Gambar
Tadi siang kakek sudah dimakamkan. Ia meninggal setelah beberapa waktu lamanya menderita sakit. Keluarga dan kerabat yang datang datang dari luar kota, masih akan berkumpul di rumah kakek sampai hari ketujuh.  Demikian pula putra dan putri kakek, termasuk ibuku, semuanya akan tinggal untuk menguatkan nenek yang tengah berduka. Tenda besar yang didirikan di depan rumah kakek juga belum dibongkar. Tiap malam orang-orang memenuhi tenda itu untuk mengikuti ibadah singkat demi keselamatan jiwa kakek.  Namun sebenarnya, tujuan mereka bukan itu saja. Sebab, segera setelah ibadah selesai, sebagian besar dari mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil beranggotakan 5 hingga 7 orang.  Mereka akan bermain kartu dengan uang sebagai taruhanya, hingga pagi menjelang. Begitulah kebiasaan di tempat kami saban ada kematian. BACA JUGA: Cekelan Penahan Sukma, Bikin Mbah J Hampir Abadi Malam ini, ibu memutuskan untuk kembali menginap di rumah kakek. Sementara ayah memilih pulang dan menunggui rumah aga

Cekelan Penahan Sukma, Bikin Mbah J Hampir Abadi

Gambar
Siang itu begitu panas. Rimbun pohon jati yang tumbuh berbagi tempat dengan dengan pohon-pohon mangga, rambutan dan jambu mete di halaman tak mampu menghalau mentari yang menghajar bumi tanpa ampun. Sementara udara diam tak bergerak lantaran sang bayu enggan bertiup. Mungkin turut merasa gerah. Penghuni dusun ini terus berdatangan. Menjejali sebuah rumah joglo berdinding rendah dengan atap yang menjulang. Keadaan di dalamnya pun terasa sumuk. Gerah, pastinya. Namun semuanya tampak maklum dengan kondisi itu. Para warga duduk bersimpuh di atas hamparan tikar plastik yang disediakan. Beberapa tampak saling bercakap-cakap dengan suara rendah sehingga terdengar seperti gumaman. Sementara yang lain diam saja sembari memandangi peti jenazah yang teronggok persis di tengah-tengah ruangan, melintang di antara dua dari empat soko guru yang menyanggah atap rumah itu. Aku ada di situ, melakukan tugasku menyalami tetamu yang terus mengalir masuk. Sesekali kuarahkan kameraku untuk menjepret keramaia

Cintaku pada Wendy Melampaui Waktu

Gambar
Ilustrasi. (Foto: Elements Envato) Aku tahu Wendy sedang sedih. Bukan sekadar karena melihat wajahnya yang muram, tapi kami berdua seolah terhubung secara kosmis oleh benang-benang yang tak kelihatan sehingga menjadi satu jiwa. Kegembiraan yang dirasakan Wendy seperti sentakan listrik yang seketika membuat aku turut berbunga-bunga. Sebaliknya, pedih yang ia alami turut mengiris-iris hatiku, seperti yang terjadi saat ini. Semalam kuperhatikan ia duduk di tempat tidurnya hingga larut. Kedua mata Wendy begitu tertuju pada benda bernama ponsel di genggamannya. Ia bahkan tidak menyadari saat aku melangkah masuk ke kamar dan duduk di ujung ranjang. Matanya sudah sembab, tapi tak henti mengeluarkan air yang menganak sungai membasahi pipinya yang lembut dan kenyal. Ya, aku tahu pipinya begitu halus karena beberapa kali ia biarkan kusentuh. Kedua pipi itu adalah bagian tubuh Wendy yang jadi favoritku selain jemarinya. Dan oh, kedua betisnya juga begitu lembut, seolah tak ada otot di dalamnya. M

Rintihan Mengerikan dari dalam Headsetku

Gambar
Ilustrasi. (Foto: Elements Envato) Sudah berapa bulan belakangan aku selalu pulang larut malam dari kantor. Pola kerja yang dinamis, membuatku bisa masuk ke kantor jelang sore, di saat yang sama ketika kolega lainnya bergegas kembali ke rumah. Lantaran masuk petang, aku harus menghabiskan sepanjang malam mengerjakan tugas dan baru kembali ketika hari telah berganti. Kantorku berada di kawasan selatan Jakarta, bertempat di sebuah gedung 11 lantai yang megah. Jarak antara kantor dan kediamanku yang berada di kawasan pinggiran Jakarta kurang lebih 27 kilometer. Aku biasanya membutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam untuk menempuh jarak tersebut dengan motor skuterku. Namun saat kembali dari kantor, waktu tempuh bisa berkurang setengahnya. Jalanan yang lengang membuatku mampu memacu kendaraan roda 2 itu hingga batas maksimalnya. Seperti malam-malam lainnya, aku selalu mendengarkan musik melalui headset ketika menyusuri jalan menuju rumah. BACA JUGA: Kisah Rasanya mengasyikan melintasi jalan