Postingan

Menampilkan postingan dengan label cerita

Ada Apa dengan Bayu?

Gambar
  Menjelang tengah malam, Bayu pamit untuk pulang dengan suara yang lemah. “Aku pulang duluan yah,” ucap Bayu. Wajahnya tampak lelah, dengan rambut awut-awutan, kantong mata tebal lantaran kurang istirahat. Sejurus kemudian dia mulai membereskan mejanya, mematikan laptop dan menjejalkannya ke dalam tas bersama setumpuk kertas. Alih-alih langsung merespons, Weni yang menempati meja kerja di sebelah Bayu melirik sudut kanan bawah layar komputernya. Jam 23.54, sedikit lagi tengah malam. “Kamu masih di sini Wen?” Bayu bersuara lagi. “Ya, sedikit lagi nih. Tanggung. Cuma beresin bagian akhir proposal, paling setengah jam lagi kelar,” jawab Weni tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. BACA JUGA: Kala Cinta menyapa di Commuter Line Namun sekejap kemudian, perempuan pertengahan 20 tahun itu ingat sesuatu dan bicara lagi. Kali ini, ia melontarkan pandangan penuh tanya kepada rekan kantornya itu. “Bukannya jam segini kereta udah nggak ada Bay?” “Aku tadi bawa motor kok,” sergah Bayu. “Oh OK!

Kala Cinta Menyapa di Commuter Line

Gambar
Pertama kali kulihat dia di Commuter Line, berdiri di antara orang-orang yang berjejal pada suatu petang yang ramai. Aku ingat kala itu sedang hujan. Perhatianku pada bulir-bulir air yang bertahan di jendela kereta seketika teralihkan dengan kehadiran sosok pria yang menarik itu. Dia turut bersama aliran manusia yang berjejal di Stasiun Kebayoran Lama, lalu masuk dan mengisi tiap inci gerbong kereta yang sudah penuh sesak ini. BACA JUGA: Ratni Mempertahankan Kehormatannya Tubuhnya bagai seonggok karang, tak mempan didesak dari segala sisi, asyik sendiri lantaran telinga disumbat headset dan mata sibuk menekuni layar. Aku memandangnya diam-diam dari tempat dudukku yang nyaman bersama lusinan kaum Hawa yang berjejer mengisi bangku berbantal tipis di gerbong yang mulai pengap. Sementara itu, dia terus saja sibuk dengan ponselnya, tak sedikit pun memincingkan mata untuk menginderai lingkungan sekitar. Padahal, aku berharap dia mengangkat wajah sedetik saja. Paling tidak dengan begitu ada k

Siapa si Cantik Bermata Sayu itu?

Gambar
  Aku meliriknya perlahan. Benar saja, dia sedang menatapku dengan pandangan yang sayu. Dalam sekelebat aku bisa melihat kedalaman matanya yang tenang itu. Indah sekali, membuatku penasaran akan setumpuk perasaan di baliknya. Sadar karena ketahuan, dia segera mengalihkan pandangannya pada ponsel di genggaman yang sedari tadi tampak terabaikan. Kuperhatikan dia menggulir layar alat komunikasi itu dengan kikuk. Aku tersenyum melihat tingkah konyol itu, menggemaskan sekali. BACA JUGA: Cekelan Penahan Sukma, Bikin Mbah J Hampir Abadi Dwi namanya. Gadis muda berambut panjang dan berkulit cokelat bersih itu adalah pegawai baru di kantor tempatku bekerja. Dengar-dengar, dia baru lulus kuliah. Kampusnya terkenal sebagai gudang gadis cantik. Anak baru itu ditempatkan satu divisi denganku di bagian promosi. Karena masih baru, Dwi malu-malu. Dia hanya membalas sapaan teman-teman kantor dengan senyum dan anggukan kepala yang takzim. Lantaran punya wajah yang rupawan, Dwi jadi sasaran godaan dari p

Petrichor dan Kisah Layang-layang

Gambar
"Masa kanak-kanak yang bahagia adalah salah satu hadiah terbaik yang dimiliki orang tua untuk diberikan kepada anak mereka" – Mary Cholmondeley HUJAN  semalam meninggalkan jejaknya. Hujan pertama di bulan Juli yang kering. Titik-titik air bergantungan pasrah pada helai dedaunan,  membiaskan warna jingga redup dari sinar mentari pertama pagi itu.  Genangan-genangan kecil masih terbentuk setiap ceruk tanah, hingga panas sang surya nanti akan  memaksa mereka menyusup ke rahim bumi, atau menguap dan menyatu dengan mega.  Meski malam telah berganti,  namun hari masih pagi.  Segenap makhluk di kolong langit masih enggan menyambut fajar, lantaran ingin sekali lagi mencecap mimpi sebelum sadar mencampakan mereka pada nyata.

Sepucuk Surat yang Tak Pernah Sampai

Gambar
  23 Maret 2020… Kutuliskan untaian kalimat  ini  bersama tetes demi tetes air mata yang jatuh setelah menganak sungai di pipi. Sebab rasa lara menyelimuti hatiku, begitu tahu masa depanku telah terenggut selamanya. Aku ingat, 10 tahun lalu saat kita pertama kali beradu pandang. Bagiku seperti baru kemarin, karena masih segar dalam benak detik demi detik momen mendebarkan itu. Sebuah sapuan pandangan yang membuatku tidak bisa tidur berhari-hari. Kita bertemu di antara hiruk pikuk orang-orang dengan pakaian warna-warni pada sebuah festival tahunan. Di bawah gemerlap kembang api dan nyala ratusan lampion yang digantung, wajahmu yang mungil itu seketika terpatri di hati. BACA JUGA: Sosok yang Hidup dalam Benakku Hatiku membuncah ketika tahu engkau juga memperhatikanku kala itu. Aku bisa melihat jelas engkau mencuri-curi pandang meski sibuk bercengkrama bersama kelompokmu.  Hatiku mantap, begitu pun engkau, untuk saling mengenal lebih jauh. Sejak itu kita selalu bertemu dan aku begitu meni

Sosok yang Hidup dalam Benakku

Gambar
  Aku bingung. Ibu  belakangan ini selalu menatapku dengan perasaan lain. Ada pancaran kecemasan dari sorot matanya. Seperti ada yang tidak beres pada diriku. Padahal, aku baik-baik saja. Sehat-sesehatnya.  Begitu juga dengan Dhita, adikku satu-satunya. Ia tak pernah lagi menyelinap masuk ke kamarku lalu tiduran di kasur sambil membaca salah satu koleksi komikku. Sepertinya ia menjaga jarak, bicara seperlunya saja denganku.  Semuanya berawal ketika Rani datang ke rumah. Rani adalah sahabatku. Kami seperti saudara, karena sebagian besar waktunya kerap kali dihabiskan di rumahku.  Kisah pertemuanku dengan Rani begitu unik. Ia mengantarku kembali pulang ketika aku kabur dari rumah karena bertengkar dengan ibu. Dalam pertengkaran itu, ibu mengatakan kalau aku sakit dan itu membuatku kecewa.  Dua hari aku pergi dari rumah, luntang-lantung di jalan lalu menghentikan langkahku di depan sebuah rumah yang tak terawat lantaran tak lagi ditinggali.  Di teras rumah itu, aku ingin mengaso sebentar

Kawanan Anjing ini Melindungi Aku dari Apa?

Gambar
Tadi siang kakek sudah dimakamkan. Ia meninggal setelah beberapa waktu lamanya menderita sakit. Keluarga dan kerabat yang datang datang dari luar kota, masih akan berkumpul di rumah kakek sampai hari ketujuh.  Demikian pula putra dan putri kakek, termasuk ibuku, semuanya akan tinggal untuk menguatkan nenek yang tengah berduka. Tenda besar yang didirikan di depan rumah kakek juga belum dibongkar. Tiap malam orang-orang memenuhi tenda itu untuk mengikuti ibadah singkat demi keselamatan jiwa kakek.  Namun sebenarnya, tujuan mereka bukan itu saja. Sebab, segera setelah ibadah selesai, sebagian besar dari mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil beranggotakan 5 hingga 7 orang.  Mereka akan bermain kartu dengan uang sebagai taruhanya, hingga pagi menjelang. Begitulah kebiasaan di tempat kami saban ada kematian. BACA JUGA: Cekelan Penahan Sukma, Bikin Mbah J Hampir Abadi Malam ini, ibu memutuskan untuk kembali menginap di rumah kakek. Sementara ayah memilih pulang dan menunggui rumah aga

Cekelan Penahan Sukma, Bikin Mbah J Hampir Abadi

Gambar
Siang itu begitu panas. Rimbun pohon jati yang tumbuh berbagi tempat dengan dengan pohon-pohon mangga, rambutan dan jambu mete di halaman tak mampu menghalau mentari yang menghajar bumi tanpa ampun. Sementara udara diam tak bergerak lantaran sang bayu enggan bertiup. Mungkin turut merasa gerah. Penghuni dusun ini terus berdatangan. Menjejali sebuah rumah joglo berdinding rendah dengan atap yang menjulang. Keadaan di dalamnya pun terasa sumuk. Gerah, pastinya. Namun semuanya tampak maklum dengan kondisi itu. Para warga duduk bersimpuh di atas hamparan tikar plastik yang disediakan. Beberapa tampak saling bercakap-cakap dengan suara rendah sehingga terdengar seperti gumaman. Sementara yang lain diam saja sembari memandangi peti jenazah yang teronggok persis di tengah-tengah ruangan, melintang di antara dua dari empat soko guru yang menyanggah atap rumah itu. Aku ada di situ, melakukan tugasku menyalami tetamu yang terus mengalir masuk. Sesekali kuarahkan kameraku untuk menjepret keramaia

Njir! Kok Beda Banget Sama yang di Foto?

Gambar
Jam 15.00 tepat, kudengar pintu depan dibuka lalu disusul langkah-langkah berat. Aku yang sedang sibuk masak di dapur ogah melihat ke depan. Karena aku tahu itu Airin, salah seorang teman yang rutin mengunjungi rumahku jika ia sedang ada masalah. "Dew, ada air es nggak, eh jangan! Jus jeruk deh," kata Airin sambil menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu. Bunyi gedebuk membuatku cemas, kalau-kalau sofaku tak kuat menahan beban tubuh Airin yang memang agak tambun. Aku menuju ke depan, dengan segelas jus jeruk di tangan. Dalam posisi setengah selonjor, Airin melirikku sedetik lalu kembali menekuni ponsel cerdasnya. Aku meletakkan jus jeruk itu di meja, lalu duduk sofa lain di situ. "Makasih beib," katanya. BACA JUGA: Cekelan Penahan Sukma, Bikin Mbah J Hampir Abadi Sejenak kami berdua duduk dalam kebisuan. Aku memandang ke arah pintu luar, memperhatikan barisan pot tempat tumbuh beberapa tanaman hias. Sesekali ku dengar Airin menghela nafas, namun enggan kutanggapi. Tun