Sosok yang Hidup dalam Benakku
Aku bingung. Ibu belakangan ini selalu menatapku dengan perasaan lain. Ada pancaran kecemasan dari sorot matanya. Seperti ada yang tidak beres pada diriku. Padahal, aku baik-baik saja. Sehat-sesehatnya.
Begitu juga dengan Dhita, adikku satu-satunya. Ia tak pernah lagi menyelinap masuk ke kamarku lalu tiduran di kasur sambil membaca salah satu koleksi komikku. Sepertinya ia menjaga jarak, bicara seperlunya saja denganku.
Semuanya berawal ketika Rani datang ke rumah. Rani adalah sahabatku. Kami seperti saudara, karena sebagian besar waktunya kerap kali dihabiskan di rumahku.
Kisah pertemuanku dengan Rani begitu unik. Ia mengantarku kembali pulang ketika aku kabur dari rumah karena bertengkar dengan ibu. Dalam pertengkaran itu, ibu mengatakan kalau aku sakit dan itu membuatku kecewa.
Dua hari aku pergi dari rumah, luntang-lantung di jalan lalu menghentikan langkahku di depan sebuah rumah yang tak terawat lantaran tak lagi ditinggali.
Di teras rumah itu, aku ingin mengaso sebentar untuk melepas penat sambil meratapi diri. Lalu entah dari mana, Rani muncul begitu saja di hadapanku. Sebagaimana biasa, aku cemas melihat orang asing. Namun Rani tampaknya adalah seorang yang baik dan tulus. Buktinya ia mau mengantarkanku pulang ke rumah.
Aku dan Rani pun kembali ke rumah. Sepanjang jalan ia menceritakan banyak hal tentang dirinya. Kami seketika menjadi teman karib dan aku merasa nyaman dengannya. Meskipun sepanjang perjalanan orang-orang menatap kami dengan pandangan aneh, aku tak peduli. Toh perasaanku tengah berbunga-bunga mendapatkan sahabat baru, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Soal ibuku dan Dhita, aku benar-benar bingung dengan sikap mereka. Sebab, mereka suka mengabaikan Rani, menganggapnya tidak pernah ada. Padahal, hampir setiap hari Rani datang ke rumah. Bahkan, beberapa kali Rani menginap.
Atas sikap mereka, Rani tampaknya tidak terlalu mempersalahkan. Meski kerap diabaikan, ia tetap saja datang menemuiku, bahkan semakin intens.
"Aku nggak masalah kok, ibu sama Dhita mengabaikanku. Yang penting aku nggak dilarang datang ke sini, menemui kamu." Begitu kata Rani suatu kali dan hal itu membuatku senang.
Pernah sekali aku bilang ke Dhita, agar sesekali ngobrol dengan Rani. Karena Rani memang yang asyik diajak ngobrol. Orangnya seru dan punya banyak sekali bahan obrolan yang membuat suasana hati jadi riang.
Pengetahuan tentang komik juga luar biasa. Ia tahu tiap detail kisah dalam koleksi komik yang memenuhi rak di kamarku, seolah sudah membacanya semua. Padahal aku ingat betul sekalipun ia tidak pernah terlihat menyentuh rak komik itu.
Saat aku menceritakan hal tersebut, Dhita memandangku dengan perasaan takut, seolah ia sedang memandangi hantu.
***
BACA JUGA: Kawanan Anjing ini Melindungiku dari Apa?
Tadi malam, ibu datang ke kamarku. Kebetulan saat itu, Rani sedang pergi entah ke mana. Jadi aku habiskan waktu membaca ulang komik ketika pintu diketuk dan ibu masuk.
"Lagi ngapain, Kak? " Tanyanya berbasa-basi.
Aku bilang kalau sedang menghabiskan waktu membaca komik saja karena Rani tak datang. Seperti biasa, aku bisa melihat raut wajah ibu yang berubah ketika aku menyebut nama itu. Namun kali ini tampaknya ia berusaha terlihat normal.
"Kak, besok teman ibu mau ke rumah. Dia mau ngobrol sama kamu. Nah, besok kamu bisa cerita apapun, termasuk tentang… Rani. "
Untuk pertama kali sejak setahun, ibu menyebut nama sahabatku itu.
"Teman ibu yang mana?" Aku bertanya.
"Ada, namanya Tante Lisa. Orangnya baik banget. Kamu pasti bakalan betah ngobrol dengannya," jawab ibu.
Aku menurut saja. Toh tidak ada salahnya ngobrol dengan orang. Siapa tahu ada hal menarik yang bisa dibicarakan, meski sebenarnya aku sangsi.
Lalu aku teringat sesuatu. Mumpung sedang ada ibu di kamar, akupun mulai menceritakan tentang Rani padanya.
Ibu awalnya enggan, tapi kemudian tampak terkesima dengan ceritaku. Sebab Rani memang sosok sahabat yang baik hati. Aku mengatakan dia begitu peduli padaku. Selalu ada saat aku butuh teman untuk membicarakan apa saja.
Aku melihat air mata yang menggenang di pelupuk mata ibu. Lalu ia merangkulku sambil terisak.
"Maafkan ibu, nak. Ibu terlalu sibuk mencari nafkah untuk menghidupi kita bertiga sepeninggalan ayah, sehingga kerap abai padamu," katanya.
Aku merasakan hangatnya dekapan ibu. Sesuatu perasaan yang nyaman namun asing seketika menjalari seluruh tubuhku. Entah kapan terakhir aku didekap seperti ini.
"Ibu janji akan memberi kamu dan Dhita waktu yang lebih banyak," katanya lagi.
Rani rupanya tak datang malam itu. Ketika aku menuju toilet untuk buang air kecil, sayup kudengar suara ibu yang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya.
***
BACA JUGA: Njir! Kok Beda Banget Sama yang di Foto?
Tante Lisa tidak seperti yang kubayangkan. Awalnya aku mengira ia sosok ibu-ibu bersasak tinggi dengan kacamata yang berbentuk norak. Namun ternyata tidak. Tante Lisa berwajah teduh dan tampak pintar. Rambutnya dikuncir kuda sementara kedua matanya yang hangat itu dibingkai dengan frame hitam yang tampak sederhana namun elegan. Aku seketika suka dengannya
Persis pukul 15.00, Tante Lisa mengambil tempat duduk di ujung sebuah sofa panjang di ruang tamu kami, agar bisa dekat dengan aku yang duduk di sofa yang lain.
Di tangannya ada beberapa lembar kertas. Beberapa menit sebelumnya ia tampak sibuk meneliti lembaran-lembaran itu.
Sementara ada ada perasaan cemas yang sedikit muncul di kepalaku. Sebab, Rani belum juga muncul. Biasanya ia memberitahu padaku jika ingin pergi. Namun tidak tadi malam. Ia menghilang begitu saja.
Setelah basa-basi sejenak, Tante Lisa mulai bertanya tentang Rani. Aneh sekali ketika mengetahui semua orang mulai penasaran dengan sahabat baikku itu.
"Kenapa, Tante? Kalau mau, ngobrol sendiri aja dengan Rani, " Ucapku
"Rani ada di sini?" Tante Lisa balik bertanya sembari matanya mencari-cari ke setiap sudut rumah.
"Ia pergi dari semalam, " balasku.
"Nah karena temanmu itu nggak ada, tante ingin kamu aja yang cerita."
Selama satu jam berikutnya, tante Lisa diam menyimak setiap kalimat dari mulutku. Aku memberitahu padanya segala sesuatu mengenai Rani. Perawakannya, kesukaannya, gaya bicaranya, kekonyolannya, apapun.
Sambil mendengar ceritaku, tante Lisa sesekali mencatat pada lembaran-lembaran kertas di pangkuannya itu.
"Tante, kok pengin tahu banget soal Rani sih? Dia kenapa?
Tante Lisa tidak menjawab. Malah sibuk membalik-balik lembaran kertasnya seperti mempelajari sesuatu. Suasana hening sebentar dan terasa sedikit canggung.
"Tante penasaran, Rani nomor ponselnya berapa sih?"
"Aku nggak tahu, tante. Aku nggak pernah lihat dia pegang ponsel."
"Lantas, bagaimana ia memberimu kabar? Ngomong langsung? Aneh aja sih menurut Tante, anak seusia kamu nggak punya ponsel. Iya nggak sih?"
Aku merasa seperti tersudut. Kalimat tante Lisa itu seperti sebuah tuduhan bahwa Rani bukanlah anak baik-baik.
"Bagaimana tanggapan ibu dan Dhita soal Rani? Mereka pernah bicara tentang temanmu itu padamu?"
Soal itu, aku tak bisa jawab. Selama satu tahun terakhir Rani kerap datang, Ibu dan Dhita seolah tidak menyadarinya. Padahal, Rani tak canggung mengitari setiap sudut rumahku. Pernah beberapa kali aku melihatnya duduk bersama ibu sambil nonton TV, tapi ia seolah diabaikan.
Saat aku memikirkan itu, Rani muncul dari pintu depan. Seperti biasa, dengan kemeja flannel merah dan celana jeans hitam skinny.
"Itu anaknya, baru datang," Kataku sambil menunjuk ke pintu.
Tante Lisa melihat ke pintu, begitu juga dengan ibu dan Dhita yang sedari tadi turut menyimak pembicaraanku dengan tante Lisa dari ruangan makan.
"Ran, sini Ran," Aku memanggil. Tapi Rani hanya senyum melewati kami lalu langsung masuk ke kamarku. Tak seperti diriku yang senang melihat Rani, wajah ibu dan Dhita memancarkan rasa bingung serta cemas. Hanya tante Lisa yang tetap tenang.
"Wiwin," tante Lisa menyebut namaku.
"Begini, Rani itu tidak ada. Ia hanya di pikiranmu saja,."
Aku bingung dengan ucapan tante Lisa. Apa maksudnya berkata seperti itu? Rani adalah senyata-nyatanya manusia. Buktinya aku bisa bicara dengan dia, bukan sehari dua hari saja, tapi sudah satu tahun ia jadi sahabat terbaikku.
"Maksud tante Rani itu hantu?" aku bertanya dengan nada sinis.
"Bukan, Win. Bukan hantu. Rani ada, tapi hanya untuk kamu saja. Agak sulit menjelaskannya. Yang jelas, akan tidak baik jika kamu hanya berteman dengan dia saja," jawabnya.
"Begini, jika Rani itu nyata, seharusnya ibu dan adikmu juga seharusnya tahu dengan dia, kan? Katamu tadi, dia sudah satu tahun main ke rumah. Tapi kenapa hanya kamu yang melihatnya?"
"Tante mengada-ada, " jawabku.
"Dhit, kesini sebentar, " panggil tante Lisa.
Lalu tante Lisa meminta Dhita mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu dari situ.
Tangan Dhita gemetar saat menyodorkan ponselnya padaku. Aku melihat banyak sekali file video di dalamya. Aku mengetuk layar ponsel itu untuk membuka salah satu video. Tayangan di dalamnya membuatku berhenti bernapas.
Video itu diambil secara diam-diam dari celah pintu kamarku yang tak ditutup. Tayangannya menampilkan diriku sedang berbicara intens dengan seseorang di kamar. Tapi di situ hanya ada aku seseorang. Tak ada yang lain. Aku ingat peristiwa dalam video itu, kala itu Rani bercerita padaku. Tapi di mana sosok Rani? Kenapa hanya ada aku di situ?
Aku membuka file-file lain. Semuanya sama saja, diriku sedang ngobrol dengan kehampaan yang kupikir adalah Rani. Aku bingung bercampur malu. Benar kata ibu, aku sakit. Sakit jiwa. Mentalku bermasalah, pikiranku sakit, dan aku tak menyadarinya, lebih tepatnya menyangkalinya.
Lalu aku mulai mengingat beberapa kali ibu mengajak aku ke rumah sakit. Namun selalu menolak karena merasa aku baik-baik saja. Rupanya, ibu menyadari keadaanku dan berupaya membantuku sebisanya. Namun aku selalu menghindari dan tenggelam dalam obrolan hangat dengan Rani.
"Rani pasti mengatakan kalau dia siswi sekolah swasta ternama, yah? Ia selalu pakai kemeja flannel dan berkacamata seperti tante?" Pertanyaan tante Lisa membuat lamunanku buyar.
"Kok tante tahu?" tanyaku dengan terkejut.
Kemudian, ia menyodorkan sebuah komik lusuh kepadaku. Sampulnya bergambar seorang remaja berkemeja flannel dan celana skinny, persis seperti tampilan harian Rani. Rasanya aku tak perlu membuka-buka isi komik itu lagi, karena isinya bakal bikin aku semakin malu.
"Nggak perlu malu, Win. Banyak orang lain yang mengalami kondisi yang sama. Ini disebut skizofrenia. Halusinasi seperti itu bisa ditekan dengan rutin mengonsumsi obat-obat khusus."
Sebelum pulang, tante Lisa memberi sebuah buku. Judulnya " Hidup sebagai Skizofrenia". Dia memintaku membaca isinya agar semakin paham dengan kondisi yang kualami.
Malam itu, aku memutuskan untuk tidur di kamar ibu. Dhita juga ikut menemani. Aku tak berani masuk ke kamarku, karena aku tahu Rani ada di situ, duduk termangu di ujung ranjang sembari menatap pada komik-komik yang tersusun rapi di rak. (*)
kerennn, sampai terbawa ke mana gituuu... Rani ... Rani.... takuttt
BalasHapus