Kala Cinta Menyapa di Commuter Line


Pertama kali kulihat dia di Commuter Line, berdiri di antara orang-orang yang berjejal pada suatu petang yang ramai.

Aku ingat kala itu sedang hujan. Perhatianku pada bulir-bulir air yang bertahan di jendela kereta seketika teralihkan dengan kehadiran sosok pria yang menarik itu.

Dia turut bersama aliran manusia yang berjejal di Stasiun Kebayoran Lama, lalu masuk dan mengisi tiap inci gerbong kereta yang sudah penuh sesak ini.

BACA JUGA: Ratni Mempertahankan Kehormatannya

Tubuhnya bagai seonggok karang, tak mempan didesak dari segala sisi, asyik sendiri lantaran telinga disumbat headset dan mata sibuk menekuni layar.

Aku memandangnya diam-diam dari tempat dudukku yang nyaman bersama lusinan kaum Hawa yang berjejer mengisi bangku berbantal tipis di gerbong yang mulai pengap.

Sementara itu, dia terus saja sibuk dengan ponselnya, tak sedikit pun memincingkan mata untuk menginderai lingkungan sekitar.

Padahal, aku berharap dia mengangkat wajah sedetik saja. Paling tidak dengan begitu ada kesempatan mata kami bisa beradu pandang.

"Pemberhentian berikutnya, Stasiun Sudimara.."

Suara dari speaker membuyarkan lamunan bercampur asa yang tengah memenuhi alam imaji.

Aku segera beranjak dan dengan cepat bangku yang tadi kududuki terisi lagi.

Aku melihatnya untuk terakhir kali, berharap ada bisikan ajaib di telinganya yang menyuruh melihatku.

Tapi tidak! Harapku pupus di pintu gerbong yang menutup dengan jenuh.

Kelebat wajahnya dari balik kaca yang berlalu bersama laju kereta terus membekas di ingatanku, bertahun-tahun lamanya.

Entah sudah berapa puluh purnama berlalu, tiba-tiba saja sosok yang dulu kupandangi di kereta itu menerobos dari lapis paling bawah ruang ingatanku  yang telah berkerak.

Kali ini bukan di kereta, sosok itu eksis di sebuah agensi yang menjadi pijakan pertamaku sebagai seorang pegawai kantoran.

Kaus hitam dibalut flanel merah hitam yang kusut. Rupanya masih sama seperti dulu, menarik dan tenang.

Hanya saja, wajah itu kini dibingkai kacamata bergagang cokelat gelap yang tebal.

"Hey, Bayu!  Sini kenalan dulu sama anak baru, " ucap seorang pegawai wanita bernama Weni sembari menggamit lenganku.

BACA JUGA: Sepucuk Surat yang Tak Pernah Sampai

Mbak Weni ini adalah sosok yang sibuk memperkenalkan diriku pada anggota tim di divisi promosi di kantor baruku ini.

Dia mengangkat wajah lantaran namanya disebut, lalu tersenyum sembari menatapku lekat.

Bayu, itulah nama sosok yang wajahnya selama ini menetap di relung hatiku.

Aku merasa wajahku panas menghadapi tatapannya, untuk pertama kali mata kami beradu dan berimbas pada perasaan aneh yang bergejolak di rongga dada.

"Hello Dwi, selamat datang! Semoga kerasan yah di sini, " ucap dia semringah.

Hanya sesaat, lalu dia kembali menyibukkan diri dengan menenekuni  layar laptop-nya itu, meninggalkan aku yang setengah mati berkutat dengan perasaan yang tak keruan.

"Mas Bayu itu memang rada cuek. Tapi aslinya baik banget kok, " timpal Weni.

Tak kusangka, kini aku begitu dekat dengan Mas Bayu, hanya terpaut dua meja kerja dan di sebuah kotak yang terbingkai kaca seluruhnya.

Meski sudah sedekat itu, rasanya sulit sekali menjangkaunya. Seolah ada tembok tebal nan tinggi yang membentengi dirinya dari orang sekitar, terlebih diriku.

Maka tiap ada kesempatan, aku mencuri-curi pandang padanya, menikmati wajahnya dari jarak 3 meter yang rasanya begitu jauh.

Seperti biasa, dia tampak tak peduli, selalu begitu! Sibuk mengintip dunia maya di balik layar komputernya.

Berapa kali aku ketahuan saat sedang menjelajahi tiap inci wajahnya dengan kedua mataku.

Saat pandangan kami bertemu, dia pasti memberi senyum yang berhasil membuatku salah tingkah dan bertindak kikuk.

BACA JUGA: Sosok yang Hidup dalam Benakku

Terpergok seperti itu tak membuatku jera. Dia bagai magnet dengan daya tarik luar biasa yang membuatku kembali menatap ke arahnya. Begitu dan begitu terus.

Namun siang tadi menjadi sebuah awal baru dalam hidupku, ketika dia tiba-tiba duduk di sampingku ketika aku sedang asyik menghabiskan bekal.

Kehadiran Mas Bayu seketika membuat masakan ibu menjadi tawar. Seleraku seketika beralih kepada sosok beraroma manis yang duduk di sebelahku.

“Suka bawa bekal, yah?” tanya dia.

“Eh iya, Mama yang siapin tiap hari,” jawabku sambil mengatur napas agar tak terlihat gugup.

Untuk pertama kalinya, setelah sebulan lebih menatapnya diam-diam dalam keheningan, aku terlibat obrolan dengan Mas Bayu.

“Eh kapan-kapan, makan di luar yuk. Ada taman di dekat sini yang asyik buat menghabiskan bekal makan siang,” kata dia.

“Boleh, mas,” jawabku masih malu-malu. (*)

Cek juga video Cover ini



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

The Godfathers