Ada Apa dengan Bayu?

 


Menjelang tengah malam, Bayu pamit untuk pulang dengan suara yang lemah.

“Aku pulang duluan yah,” ucap Bayu.

Wajahnya tampak lelah, dengan rambut awut-awutan, kantong mata tebal lantaran kurang istirahat.

Sejurus kemudian dia mulai membereskan mejanya, mematikan laptop dan menjejalkannya ke dalam tas bersama setumpuk kertas.

Alih-alih langsung merespons, Weni yang menempati meja kerja di sebelah Bayu melirik sudut kanan bawah layar komputernya. Jam 23.54, sedikit lagi tengah malam.

“Kamu masih di sini Wen?” Bayu bersuara lagi.

“Ya, sedikit lagi nih. Tanggung. Cuma beresin bagian akhir proposal, paling setengah jam lagi kelar,” jawab Weni tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

BACA JUGA: Kala Cinta menyapa di Commuter Line

Namun sekejap kemudian, perempuan pertengahan 20 tahun itu ingat sesuatu dan bicara lagi.

Kali ini, ia melontarkan pandangan penuh tanya kepada rekan kantornya itu.

“Bukannya jam segini kereta udah nggak ada Bay?”

“Aku tadi bawa motor kok,” sergah Bayu.

“Oh OK! Hati-hati di jalan yah. Kalau ngantuk minggir dulu, jangan dipaksa,” kata Weni.

“Siap Bu Guru!” Jawab Bayu sembari menenteng tasnya, berlalu dengan gontai di bawah pendar lampu kuning yang temaram dan segera menuju elevator di ujung koridor.

Diiringi bunyi ‘ting-tong’ yang khas, Bayu lantas masuk alat pengangkut vertikal itu yang kemudian mengirimkannya dari lantai 25 langsung menuju basement gedung.

Suasana kantor itu makin sepi selepas ditinggal Bayu, menyisakan Weni yang terus sibuk merangkai  kalimat-kalimat pada layar komputernya. Bunyi jemarinya yang beradu dengan papan ketik komputer terdengar begitu nyaring.

Sebenarnya, dia tidak benar-benar sendiri. Di ruangan sebelah dekat pantry ada Jamal, Office Boy kantor yang tengah lelap di sofa sembari ‘ditonton’ televisi yang menayangkan pertandingan bola dalam mode bisu.

Weni beranjak ke dari mejanya, berjalan cepat menyusuri meja-meja kerja bersekat langsung menuju sofa tempat Jamal tidur.

Suara langkah kakinya yang terdengar seantero ruangan, membuat dirinya takut sendiri.

Untuk sejenak pikirannya menvisualisasikan adegan film horor ketika seorang berjalan sendiri dalam sebuah ruangan gelap yang luas. Seketika bulu kuduknya merinding.

BACA JUGA: Siapa si Cantik Bermata Sayu itu?

Niat awal Weni untuk meminta dibikinkan segelas kopi juga urung lantaran melihat Jamal yang tidur begitu pulas, meringkuk di bawah sarungnya.

Namun, sebelum kembali ke mejanya, dia mampir sebentar di sisi ruangan dengan jendela luas untuk mengagumi pemandangan  kota pada malam hari.

Weni juga melihat ke bawah, jalan raya di depan gedung kantornya pun sudah lengang.

Hanya satu dua kendaraan yang melaju dengan tergesa, seolah ingin cepat-cepat pulang sebelum hari berganti.

Lamunan Weni buyar oleh bunyi getar ponselnya yang sedari tadi tergeletak di meja kerjanya.

Dia pun bergegas meraih alat komunikasi itu dan menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan.

“Iya, kenapa Bay? Ada yang kelupaan?” ucap Weni.

“Wen, jam berapa sekarang?” suara Bayu terdengar dari seberang. Weni biasa menangkap perasaan kecut dari sahabatnya itu.

“Loh emang kenapa? Udah jam 12 lewat mungkin,” jawabnya.

“Iya sama, jam ku juga begitu, aneh…” suara Bayu terdengar lirih.

“Aneh bagaimana sih?”

“Kalau ini jam 12 lewat…”

“Jam 12 lewat 7 menit,” potong Weni.

“Ya, itu berarti aku baru 13 menit dari waktu aku di kantor kan,” ucap Bayu. Kali ini suaranya bergetar dan memancarkan rasa takut yang amat sangat.

“Iya, kamu baru aja turun. Kenapa sih?" tanya Weni lagi.

“Nggak mungkin! Soalnya aku udah sampai di rumah,” suara bayu meninggi.

Weni tertawa getir, perasaannya campur aduk lantaran mengira Bayu hendak menakut-nakutinya. Dia lantas memandang dengan takut ke seluruh penjuru ruangan.

“Nggak lucu tahu! Jangan gitu Bay, aku lagi sendiri ini. Sini cepetan naik,” hardiknya.

“Aku nggak main-main, Wen. Aku udah di rumah sekarang,” ucap Bayu.

“Nggak lucu! Mana ada kantor ke rumahmu 13 menit doang. Paling nggak butuh 1 setengah jam naik motor. Ayo sini cepetan naik!” bentak Weni.

Seketika Bayu mematikan teleponnya. Wajah Weni cemberut lantaran temannya itu sukses membuat dia merasa takut hingga duduk mematung.

BACA JUGA: Rintihan Mengerikan dari Headsetku

Memang, dia dan Bayu kerap bercanda satu sama lain, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk joke-joke semacam itu. Apa lagi saat ini di sendiri di kantor. Benar-benar tidak lucu!

Ponsel Weni kembali bergetar. Bayu kembali memanggil tapi kali ini dalam panggilan video. Telanjur kesal, perempuan itu memilih mengabaikan saja panggilan itu.

Setelah panggilan itu tak diladeni, ponsel lantas Weni menerima pesan pendek yang juga dari Bayu. Weni melirik kolom notifikasi, lalu menggeser untuk membuka pesan itu.

“Percaya sekarang kalau aku di rumah? Sekarang angkat teleponnya,” begitu tulis Bayu sembari membubuhkan sebuah foto yang menggambarkan bagian depan rumahnya.

Weni menelan ludah. Belum sempat pikirannya mencerna lebih lanjut, notifikasi panggilan video dari Bayu muncul di layar. Dia kemudian menggeser tombol menerima panggilan dengan enggan.

“Wen, lihat Wen aku udah di rumah,” wajah Bayu tampak cemas dalam temaram lampu di teras rumahnya.

Weni kini mengalami perasaan takut dan heran yang bertumpuk menjadi satu.

Bagaimana mungkin Bayu menempuh perjalanan sejauh 30-an kilometer lebih hanya dalam waktu 13 menit.

Dia tahu benar jalan yang harus ditempuh dari kantor menuju ke kediaman Bayu yang letaknya di pinggiran kota itu. Jika ditarik garis lurus sekalipun, waktu 13 menit adalah mustahil.

Otaknya berpikir keras, sementera matanya terus tertuju ke layar, melihat Bayu yang terus saja mengoceh.

“Bay, dengerin dulu. Eeeh, tadi kamu ngerasa perjalananmu gimana? Cepat atau lambat?” Weni tak yakin dengan pertanyaan yang baru saja dia lontarkan.

“Nah itu! Perasaan, aku bawa motor seperti biasa. Kecepatannya sama. Aku juga merasa waktu yang kutempuh hingga sampai di sini juga seperti sebelum-sebelumnya,” jelas Bayu.

“1 jam?” Weni memotong.

“Ya! Malah bisa jadi lebih dari 1 jam,” balas Bayu.

“Kamu 20 menit yang lalu masih di sini, Bay! Di jalan kamu ingat berpapasan dengan kendaraan-kendaraan lain, atau melewati jalan yang bisa kamu lalui kalau naik motor? Bukan lewat jalan tikus atau sejenisnya?” tanya Weni.

“Seingatku aku lewat jalan biasa, tapi…” ucapan Bayu terhenti di situ dan tampilan video pada layar seketika membeku seperti kehilangan transmisi.

“Hello, Bay? Bayu?” ucap Weni sambil mengetuk-ngetuk layar yang tidak memberi respons sama sekali.

Dia pun mematikan paksa teleponnya dan menunggu beberapa saat hingga perangkat itu kembali hidup.

Namun, ketika Weni berupaya untuk kembali menelpon Bayu, dia tidak menemukan nama itu lagi pada daftar kontaknya.

Weni bingung hingga mengernyitkan kening, lalu menggulir layar ponselnya ke atas dan ke bawah. Namun nihil, kontak telepon Bayu lenyap begitu saja.

Dengan rasa panik yang membuncah, dia mengalihkan tampilan layar ponselnya itu ke daftar panggilan terakhir. Sia-sia, dia  tidak menemukan jejak telepon antara dia dan Bayu.

Wajah Weni makin pucat kala menyadari Bayu telah berada persis di depannya, hanya terpisah oleh sebuah meja kerja, berdiri mematung dengan wajah datar yang dingin.

“Bayu?”(*)

Cek juga video cover ini!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

The Godfathers