Bak Penampungan Air
A ku tertunduk diam. Demikian pula dengan delapan anak lain yang berdesakan di sekitarku. Hanya beberapa kaki dari tempat kami mematung, seseorang yang pandangannya menyayat nyali membuat rasa takut kami semakin merajalela. Tubuhnya yang kecil tampak ringkih di atas kursi kayu tua berwarna coklat kusam. Namun sorotan matanya begitu tajam. Untung saja, sebuah meja kerja yang penuh oleh onggokan kertas dan buku-buku yang ditumpuk asal-asalan menjadi pembatas di antara kami dan orang itu. Jika tidak, bisa saja kami sudah dilahap hidup-hidup. Batinku benar-benar lumpuh hingga tak mampu berkata-kata. Ucapan yang keluar dari mulut orang di seberang meja yang berantakan itu masuk dengan mudahnya ke dalam telinga dan menebar terror yang seketika menghanguskan keberanian. Aku yakin kedelapan temanku yang lain merasakan ketakutan yang sama. Kami bak jerami yang tak punya daya saat menghadapi api. Lalu sekejap menjadi debu dalam kobarannya. Hari itu adalah Jumat Agung di tahun 1997. Sep