Bak Penampungan Air

Aku tertunduk diam. Demikian pula dengan delapan anak lain yang berdesakan di sekitarku. Hanya beberapa kaki dari tempat kami mematung, seseorang yang pandangannya menyayat nyali membuat rasa takut kami semakin merajalela. 

Tubuhnya yang kecil tampak ringkih di atas kursi kayu tua berwarna coklat kusam. Namun sorotan matanya begitu tajam. Untung saja, sebuah meja kerja yang penuh oleh onggokan kertas dan buku-buku yang ditumpuk asal-asalan menjadi pembatas di antara kami dan orang itu. Jika tidak, bisa saja kami sudah dilahap hidup-hidup.

Batinku benar-benar lumpuh hingga tak mampu berkata-kata. Ucapan yang keluar dari mulut orang di seberang meja yang berantakan itu masuk dengan mudahnya ke dalam telinga dan menebar terror yang seketika menghanguskan keberanian. 

Aku yakin kedelapan temanku yang lain merasakan ketakutan yang sama. Kami bak jerami yang tak punya daya saat menghadapi api. Lalu sekejap menjadi debu dalam kobarannya.

Hari itu adalah Jumat Agung di tahun 1997. Seperti Yesus yang digiring ke depan kursi marmer tempat duduk Pilatus, wali Roma di Yerusalem itu, aku dan delapan orang temanku juga tengah menghadapi penghakiman. 

Bedanya, Yesus adalah Anak Allah yang rela dihukum walau tidak ada kesalahan yang dilakukanNya. Sementara kami hanyalah sekelompok anak kecil berkelakuan buruk. Kenakalan yang kami lakukan siang tadi membuat kami melewatkan sore yang mendebarkan, di bawah sorotan tajam Frater Ichon Tanis, satu dari dua calon  imam Projo yang menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral-nya sebagai pembimbing bagi siswa SMP Seminari Pius XII Kisol.

“Apa yang sudah kalian buat?” Pertanyaan itu meluncur berkali-kali dari mulut Fr. Ichon. 

Seperti sebelumnya, pertanyaan itu lenyap begitu saja ke dalam pori-pori mikroskopis tembok ruangan tanpa berani kami tanggapi. Suasana kembali sunyi selepas ucapan Frater Ichon lenyap entah kemana. Ia tetap diam di kursi kayunya sembari matanya yang awas terus memandangi kami yang yang berdiri kikuk sambil tertunduk.

Sebagai pembimbing siswa, frater  Ichon yang menempati sebuah kamar di ujung ruangan luas asrama siswa SMP itu adalah pribadi yang baik sekaligus disegani. Saban pagi, sebuah loceng besi di tangannya adalah penanda bagi para remaja penghuni asrama untuk menyudahi tidur. 

Sedangkan jika malam menjelang, Frater Ichon  selalu berjalan mengendap di antara jejeran tempat tidur pegas dua tingkat untuk memeriksa anak-anak yang belum mau tidur. Jika sasaran ditemukan, senter besar pada tangannya akan menyorot anak itu tepat di wajahnya. 

Aku ingat sebuah cerita lucu tatkala Frater. Ichon mendapati seorang anak kelas dua yang masih enggan untuk tidur. Gelap pekat menguasai ruangan luas asrama dan anak itu tampaknya masih tak ingin  untuk terlelap. 

Lantaran asyik dengan kesibukannya yang entah apa, anak itu tak menyadari Frater Ichon sudah berada di sampingnya yag   seketika  menyorotinya dengan sinar yang menyilaukan. Anak itu marah hingga membentak-bentak karena mengira itu adalah perbuatan iseng temannya. Namun setelah menyadari sumber cahaya itu tidak lain dari dari senter sang frater, ia segera menyelinap masuk dalam selimutnya sembari menahan malu.

Selain sebagai pembimbing asrama, Fater  Ichon juga mengajar pelajaran Seni Musik dan Kitab Suci. Untuk tugas yang satu ini, ia sangat andal. Lantaran dirinya, kami jadi mengenal not-not lagu dengan lebih dalam. 

Melaluinya pula kami jadi tahu bawa ‘Ut’ adalah sebutan awal not pertama dalam tangga nada ketika pertama kali diciptakan. Namun kemudian sebutan itu digantikan menjadi ‘Do’ lantaran orang Italia kesulitan menyebutkan suku kata yang didahului huruf vokal dan  diikuti oleh konsonan. 

Diktat-diktat yang dibagikan Frater Ichon membuat kami juga tahu bahwa ayat-ayat  kitab suci pada masa gereja mula-mula ditulis di atas lembaran papyrus, tumbuhan sejenis jerami yang banyak tumbuh di bantaran sungai Nil. 

Frater Ichon memang sedikit gagap. Karena itu ia kerap mengentakkan kakinya dengan keras ketika mengajar kami di kelas. Namun kekurangan – kalau boleh dianggap sebagai kekurangan – tak sekalipun menjadi penghambat bagi kami dalam menyerap semua pelajaran yang ia berikan.

“Raynold, ceritakan apa yang terjadi!” suara Frater Ichon memecah keheningan yang sejenak begitu mencekam.

Anak bernama Raynold itu mengangkat kepalanya. “Siang tadi kami semua naik ke penampungan air, lalu masuk ke dalamnya.”

“Lalu?”

Renold diam.

“Dengar. Apa yang telah kalian lakukan ini telah menyusahkan semua orang. Kalian tahu, air tidak mengalir ke kamar mandi  karena kalian telah bermain-main di dalam penampuangan air  itu. Yang jelas, kaki-kaki kalian itu telah membuat lumut di dasar penampungan  terlepas dan menyumbat pipa. Akibatnya kita semua sore ini tidak bisa mandi,” kata Frater Ichon. 

Suaranya terdengar datar, namun berhasil membuat kami semakin ketakutan lantaran kesalahan fatal yang telah kami lakukan.

“Katakan kepada saya, siapa yang pertama kali berinisiatif naik ke bak penampungan itu?”

Kembali pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. Sunyi yang menggantung di langit-langit ruangan itu sungguh menyiksaku. Dalam hati aku mengutuki penampungan  beton berbentuk tabung raksasa itu. Ah, mengapa pula ia tersumbat. Padahal kami hanya masuk sebentar ke dalamnya untuk merasakan sejuknya air setelah beberapa waktu memeras keringat di lapangan basket.

Sturktur beton itu adalah satu dari beberapa tempat penampungan air untuk keperluan mandi cuci kakus asrama SMP Seminari Pius XII Kisol. Letaknya di sisi paling timur dari tanah milik Seminari, di ujung kebun Vanili. 

Ukurannya yang besar telah membuat kami tergoda untuk memanjatinya. Sisi atas prnanpungan  yang luas adalah tempat yang baik untuk menghabiskan waktu sembari merasakan nikmatnya semilir angin dari puncak Poco Ndeki.  

Di tengah-tengah sisi atas bak  itu, ada sebuah lubang berbentuk segi empat yang ukurannya tidak seberapa besar. Tadi siang, aku dan teman-temanku bergantian masuk ke dalam bak penampungan air dengan melalui lubang itu hingga menyebabkan air tidak bisa lagi mengalir ke kamar mandi.

Kalau mau jujur,  kelompok kami bukanlah satu-satunya  yang menaiki bak penampungan air itu. Beberapa  kali aku melihat beberapa orang kakak kelas duduk santai di atasnya. Namun seperti halnya Raynold dan anak-anak lain yang kini mematung di hadapan Frater  Ichon yang sedang murka, aku tak akan berani memberitahu informasi ini. 

Alasannya jelas, kami hanyalah anak-anak kelas satu yang takut akan didamprat kakak kelas karena telah berani buka suara. Lagian, bukan mereka yang menyebabkan bak penampungan itu tersumbat. Kamar mandi asrama tidak pernah kekurangan air hingga hari ini, ketika kami dengan bodohnya masuk dalam bak itu.

“Tidak ada yang mau mengaku?” Fr. Ichon kembali mendesak. “Baik, kalau begitu kalian semua akan dihukum.”

“Frater…” Seorang bernama Michael  angkat bicara. “Kami mengaku bersalah. Kami siap menerima hukuman yang akan diberikan.”

“Tentu saja. Saya akan bawa masalah ini pada romo-romo pembimbing di Patres. Mereka yang akan memutuskan hukuman apa yang akan kalian terima,” sergah Fr. Ichon.

Hari semakin sore, sebentar lagi seluruh Seminaris akan berkumpul di Kapel untuk melanjutkan ritual Jumat Agung. Frater Ichon kemudian menyuruh kami keluar dari kamarnya yang sesaat tadi berubah menjadi ruangan pengadilan. Aku berjalan gontai dengan rasa bersalah yang membebani bahu.

“Kira-kira hukuman apa yang akan kita terima nanti?”Tanyaku pada seorang teman yang berjalan di sampingku.

“Entah, tapi aku berharap kita diskors satu minggu. Dengan begitu kita bisa menghabiskan waktu di rumah bersama orang tua.”

Aku tersenyum kecut mendengar jawabannya , lalu membiarkan dia berlalu pergi entah kemana. Dalam hati aku juga setuju dengan ucapannya. Jika nanti kami di skors, aku akan pulang ke Ruteng untuk melepas rindu akan rumah yang tak pernah pupus. (*)

PS:
·     Kisah inibenar-benar terjadi. Meski demikian, percakapan di dalamnya hanya karangan saya saja.
·     Cerita ini adalah salah satu dari segudang kenangan para seminaris saat di bawah bimbingan  Rm. Ichon Tanis, Pr yang ketika itu masih  masih seorang Frater. Semoga Bapa di surga memberinya istirahat kekal bersama para kudus di surga, amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

The Godfathers