Siapa si Cantik Bermata Sayu itu?
Aku meliriknya perlahan. Benar saja, dia sedang menatapku dengan pandangan yang sayu.
Dalam sekelebat aku bisa melihat kedalaman matanya yang tenang itu. Indah sekali, membuatku penasaran akan setumpuk perasaan di baliknya.
Sadar karena ketahuan, dia segera mengalihkan pandangannya pada ponsel di genggaman yang sedari tadi tampak terabaikan.
Kuperhatikan dia menggulir layar alat komunikasi itu dengan kikuk. Aku tersenyum melihat tingkah konyol itu, menggemaskan sekali.
BACA JUGA: Cekelan Penahan Sukma, Bikin Mbah J Hampir Abadi
Dwi namanya. Gadis muda berambut panjang dan berkulit cokelat bersih itu adalah pegawai baru di kantor tempatku bekerja.
Dengar-dengar, dia baru lulus kuliah. Kampusnya terkenal sebagai gudang gadis cantik. Anak baru itu ditempatkan satu divisi denganku di bagian promosi.
Karena masih baru, Dwi malu-malu. Dia hanya membalas sapaan teman-teman kantor dengan senyum dan anggukan kepala yang takzim.
Lantaran punya wajah yang rupawan, Dwi jadi sasaran godaan dari para pegawai pria di kantor ini.
Kebanyakan dari mereka sudah punya istri, kecuali si Arman, bujang tua di departemen keuangan yang agaknya mulai kukuh untuk mendekati Dwi.
Sejak Dwi bekerja di sini, saat itu pula konsentrasi bekerjaku jadi ambyar. Sebab, aku kerap kali mendapatinya menatapku begitu lama.
Rupanya bukan aku saja yang mengetahui kelakuan Dwi itu. Weni temanku yang lain yang meja kerjanya persis di sebelahku juga merasakan hal yang sama.
“Bay, kamu tahu nggak kalau anak baru itu sering ngelihatin kamu loh,” ucap Weni, suatu kali saat kami sedang menikmati kopi sambil merokok di tangga darurat kantor.
“Masa?,” jawabku pura-pura kaget.
“Iya, masa kamu nggak ngerasa sih. Jangan-jangan dia naksir sama kamu, ciee!,” kata Weni.
BACA JUGA: Njir, Kok Beda Banget Sama yang di Foto?
Ucapan Weni itu kutanggapi dengan senyum. Ada sedikit asa dalam dada. Karena sejujurnya aku berharap begitu, Dwi naksir aku.
Sudah sebulan berlalu, aku masih sering mendapati Dwi yang pendiam itu masih curi-curi pandang.
Kukira kebiasaannya itu akan pupus bersama waktu. Ternyata aku salah. Dalam waktu-waktu tertentu, aku tetap sering memergokinya seperti itu.
Aku juga tak ingin buru-buru mendekatinya. Nanti dikira ge’er, malunya bisa seubun-ubun.
Pada beberapa kesempatan, kutanggapi tatapan sayu Dwi dengan senyum. Balasannya selalu sama, tingkah kikuk yang bikin gemas setengah mati.
Ada apa dengan anak ini, batinku penasaran.
Hingga hari ini, rasa penasaranku sudah tak tertahankan. Ketika Dwi sedang asyik dengan makan siangnya, aku nekat duduk di sebelahnya.
“Hi Dwi,” kataku sembari menarik kursi yang di sebelahnya.
Bunyi gesekan kaki kursi dengan lantai terasa begitu nyaring, membuat denyut jantungku makin tak keruan. Kenapa aku gugup begini?
Dwi melihatku dengan binar. Aku bohong kalau tak terpesona dengan pandangannya yang sayu itu.
“Mas Bayu,” ucapnya dengan suara tertahan.
BACA JUGA: Walau Sudah Tua, Bi Ima Sungguh Terampil! Aku Sampai Lemas
Kini kutahu kami berdua mengalami hal yang sama; rasa gugup yang seolah menyusup ke nadi bersama aliran darah memenuhi seluruh tubuh.
“Kok sendirian, Dwi?” kataku sembari berusaha tenang agar tidak membuat kekacauan di situasi yang kritis ini.
“Iya nih, yang lain pada makan di luar,” katanya.
Dwi masih tampak gugup dan mulai mengaduk-aduk makanan di kotak bekalnya. Melihat itu, rasa percaya diriku mulai terbit.
“Suka bawa bekal, yah?” tanyaku.
“Eh iya, Mama yang siapin tiap hari,” jawabnya sambil tersenyum.
Detik dan menit berlalu, suasana semakin cair. Aku dan Dwi mulai membicarakan banyak hal, antara lain soal pekerjaan di divisi promosi di mana kami ditempatkan.
Perasaan gugup yang sebelumnya kini sudah hilang entah ke mana, tergantikan rasa bahagia karena sudah berhasil mendekati Dwi.
Dwi juga kini makin lepas. Tidak ada lagi rasa kikuk yang dulu sering kulihat ketika dia terpergok sedang menatapku diam-diam.
“Eh kapan-kapan, makan di luar yuk. Ada taman di dekat sini yang asyik buat menghabiskan bekal makan siang,” kataku.
“Boleh, mas,” jawab Dwi malu-malu.
Obrolan kami terhenti ketika suasana kantor kembali ramai oleh para pegawai yang kembali setelah waktu makan siang.
Weni melihatku dengan senyum penuh arti, sedangkan Arman menampilkan wajah cemburu yang menggelikan. (*)
Cek juga video cover ini!
Komentar
Posting Komentar