Kawanan Anjing ini Melindungi Aku dari Apa?


Tadi siang kakek sudah dimakamkan. Ia meninggal setelah beberapa waktu lamanya menderita sakit. Keluarga dan kerabat yang datang datang dari luar kota, masih akan berkumpul di rumah kakek sampai hari ketujuh. 

Demikian pula putra dan putri kakek, termasuk ibuku, semuanya akan tinggal untuk menguatkan nenek yang tengah berduka.

Tenda besar yang didirikan di depan rumah kakek juga belum dibongkar. Tiap malam orang-orang memenuhi tenda itu untuk mengikuti ibadah singkat demi keselamatan jiwa kakek. 

Namun sebenarnya, tujuan mereka bukan itu saja. Sebab, segera setelah ibadah selesai, sebagian besar dari mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil beranggotakan 5 hingga 7 orang. 

Mereka akan bermain kartu dengan uang sebagai taruhanya, hingga pagi menjelang. Begitulah kebiasaan di tempat kami saban ada kematian.

BACA JUGA: Cekelan Penahan Sukma, Bikin Mbah J Hampir Abadi

Malam ini, ibu memutuskan untuk kembali menginap di rumah kakek. Sementara ayah memilih pulang dan menunggui rumah agar tidak kemasukkan maling. 

Rumah kami memang masih satu kota dengan kediaman kakek dan nenek. Jaraknya mungkin hanya 15 menit jika ditempuh dengan kendaraan roda dua.

Aku dan kedua adikku tentu saja ikut ibu. Sebab di rumah kakek banyak anak-anak seusiaku. Mereka adalah para sepupu, saudara jauh dan dekat, yang ikut orang tua mereka menginap di situ. Kami ingin kembali bermain bersama, seperti malam-malam sebelumnya.

Lalu terjadilah prahara itu….

Semuanya bermula ketika aku meminta beberapa lembar uang ratusan rupiah pada ibu. Aku ingin jajan di warung di sebelah rumah kakek, sebagaimana beberapa sepupuku yang lain. 

Ibu yang kala itu tengah sibuk di dapur menyiapkan kopi dan kacang rebus bagi para tetamu yang sedang main kartu, tidak mengindahkan permintaanku.

Aku terus merengek di sebelah ibu. Ia pun naik pitam karenanya. Dengan setengah membentak, ibu mengatakan kalau dirinya tengah kerepotan dan kehadiranku benar-benar mengganggunya.

Aku tentu saja tidak menyerah. Tekadku sudah bulat, tidak akan pergi dari situ sebelum mendapatkan keinginanku. Beberapa tante yang ada di situ berupaya memenuhi permintaanku. 

Namun sebelum tangan mereka merogoh kantong untuk mengambil uang, ibu mencegahnya. Dia bilang kalau aku tidak akan mendapatkan keinginanku pada malam ini.

"Tak usah jajan. Di sini banyak kue, makan saja yang ada," kata ibu yang membuatku wajahku semakin cemberut.

Aku tak menyerah dan itu membuat ibu semakin berang. Lalu ia menarikku ke sudut dapur dan memarahiku habis-habisan.

"Pulang sana! Ibu tak ingin lihat muka kamu di sini!"

Aku seketika sakit hati lantaran ibu mengusirku. Begitu marahnya diriku, sehingga aku memutuskan untuk pulang saja tanpa peduli ini sudah beranjak larut dan jalanan sudah sepi.

Aku pun pergi dari situ, berjalan melewati pintu depan rumah dan melintasi kelompok-kelompok orang yang duduk melingkar menekuni kartu-kartu di hadapan mereka. 

Saat keluar dari tenda, aku mendengar beberapa pria dewasa yang sedang berdiri sambil merokok bertanya "mau ke mana". Aku terlalu marah untuk menjawab pertanyaan itu, lalu diam saja sambil berlalu.

Kususuri jalan yang sepi sambil berjalan cepat. Suasana begitu sunyi, penerangan pun minim. Tidak ada lampu jalan, aku hanya mengandalkan pendar cahaya dari lampu-lampu bohlam ber-watt rendah yang terpasang di depan rumah-rumah warga yang dibangun agak jauh dari jalanan.

Sementara angin malam yang berhembus dari kawasan pegunungan di sisi selatan, terasa menusuk hingga ke tulang. 

Seiring langkahku menapaki jalan, rasa amarah dalam hati telah berganti menjadi ketakutan. Nyali seketika ciut oleh kegelapan yang melingkupiku.

BACA JUGA: Njir! Kok Beda banget Sama yang di Foto?

Saat ini kira-kira jam 21.00. Namun, di kota kediamanku, aktivitas warga terhenti sejak pukul 19.00. Lepas itu, tak ada lagi yang keluar rumah. Pintu dan jendela tertutup rapat, tempat ini berubah menjadi kota mati.

Di sebuah simpang tiga, aku harus mengambil jalan ke kiri untuk bisa tiba di rumah. Namun hal ini juga membuat ketakutanku makin menjadi-jadi. Sebab pada tepi jalan yang aku lewati itu, tumbuh beberapa rumpun bambu yang kata orang adalah tempat angker. 

Aku berhenti sebentar, menghela napas sembari mengumpulkan keberanian yang tercecer entah ke mana. Dari tempat aku berdiri itu, tampak jelas siluet rumpun bambu yang bergerak-gerak lantaran ditiup angin malam. Rupanya seperti raksasa yang siap mencengkram siapa saja yang berani lewat di bawahnya.

Kata salah seorang temanku, rumpun bambu itu adalah tempat tinggal kurcaci-kurcaci kecil yang iseng. Mereka mengenakan topi-topi panjang tempat menyimpan segala sesuatu di dalamnya. 

Selain itu, kawasan itu juga menjadi tempat tinggal mahluk hitam berbulu lebat dengan wajah mengerikan. Sosok terakhir inilah yang membuat ketakutanku makin membuncah.

Aku menimbang-nimbang untuk kembali saja ke rumah kakek, lalu kemudian menyadari sesuatu memperhatikanku dari balik pekatnya malam. Bukan hanya satu, tapi beberapa sosok yang entah apa berdiri kira-kira 30 meter dari tempatku mematung. 

Aku merasa begitu takut hingga tidak bisa bergerak sama sekali. Mulutku juga kelu, tak mampu berkata-kata apa lagi berteriak.

Aku merasa hidupku segera menemui ujungnya ketika melihat sosok-sosok asing itu mendekat. Sejenak di benak terlintas wajah ibu, ayah, dan adik-adikku. Aku kini merasa begitu merindukan mereka, seolah sudah lama tak bertemu. 

Terlebih, aku merasa bersalah karena sudah menyusahkan hati ibu. Seharusnya tak kuturuti egoku untuk mendapatkan lembaran-lembaran uang yang saat ini terasa tidak berarti sama sekali. Apakah ingatan-ingatan itu yang dirasakan orang saat tahu ajalnya sudah dekat? Entahlah.

Saat kesadaranku kembali sosok-sosok pemilik mata yang berkilat dalam gelap itu sudah mengelilingiku dengan formasi yang aneh. Kini aku bisa melihat dengan jelas jika mereka adalah sekawanan anjing yang entah punya siapa. 

Di kota kami ini, para warganya memang punya kebiasaan memelihara anjing. Setiap rumah paling tidak memiliki 3 sampai 5 ekor anjing dan dibiarkan bebas dan beranak pinak. Di rumah kami sendiri ada 11 ekor anjing. Mereka terdiri dari 5 anjing dewasa dan sisanya anak-anak.

Ketakutanku sedikit berkurang saat tahu bahwa sosok-sosok yang ku kira iblis itu ternyata kawanan anjing. Namun yang mengejutkanku adalah, mereka berlaku jinak. Hewan-hewan ini diam saja saat berada di dekatku, seolah aku ini pemilik mereka.

Kawanan anjing ini lalu membuat dirinya sebagai benteng yang mengelilingiku. Rasanya aku ini adalah bangsawan kaya dan mereka para kesatria yang siap mengorbankan nyawa untuk melindungiku. Sebuah pertanyaan pun memenuhi kepala; mereka ini menjagaku dari apa?

Aku kemudian melangkah dengan kikuk. Para anjing ini ikut bergerak dalam formasi mereka. Melihat mereka, aku mendapatkan kekuatan untuk melewati rumpun bambu menakutkan itu. 

Hanya 20 meter dari situ, ada sebuah sebuah jembatan permanen dengan aliran air yang cukup deras di bawahnya. Kata orang, tempat itu juga wingit. 

Sering muncul sosok astral berupa potongan kaki. Meski begitu, langkahku mantap melintasi jembatan itu sebab sekawanan anjing menjadi penjagaku.

Kata orang, anjing adalah hewan yang sensitif. Mereka adalah satu dari segelintir hewan yang bisa menginderai sesuatu yang berasal dari dimensi lain. Jika anjing melolong, berarti mereka merasakan kehadiran mahluk halus.

BACA JUGA: Cintaku pada Wendy Melampaui Waktu

Dari tempat angker itu, rumahku masih sekitar 3 kilometer. Aku mesti melewati beberapa persimpangan lagi.

Langkahku terhenti persis di depan sebuah gedung rumah sakit. Sebab, dari kejauhan aku bisa melihat kawanan anjing lain yang mendekatiku dengan berlari kecil. 

Aku seketika kecut, karena mengira bakal ada tawuran anjing. Sebab biasanya, jika dua kawanan anjing yang tidak saling mengenal bertemu, perkelahian adalah yang selanjutnya terjadi.

Namun, hingga kawanan yang datang itu hanya berjarak beberapa meter saja, aku tidak melihat ada perilaku agresif dari anjing-anjing yang mengitariku. Mereka sama tenangnya seperti saat menemuiku di dekat rumpun bambu tadi.

Aku lalu sadar jika kawanan yang baru datang itu adalah anjing-anjing dari rumah. Ketika tiba, mereka segera menggantikan posisi anjing-anjing yang nenjagaku. 

Tidak ada gonggongan, tidak ada geraman. Proses pertukaran 'shift' itu dilakukan dalam kesunyian. Kawanan sedari tadi mengawalku seketika balik arah, digantikan oleh 'regu' baru yang menemaniku menyelesaikan 500 meter terakhir hingga tiba di pintu rumah.

Wajah ayah tampak begitu bingung saat membuka pintu rumah. Sementara aku melangkah santai dan segera masuk ke kamar agar segera meringkuk di bawah selimut.

"Kamu pulang diantar siapa?" Begitu tanya ayah.

"Diantar sekawanan anjing," Ucapku lalu merasa takjub dengan jawabanku sendiri.

Tiga puluh tahun berselang, ketika memutuskan untuk membagikan cerita ini kepada kalian, aku masih tak bisa memahami peristiwa di luar nalar itu.

Setiap detailnya masih terpatri di benakku, lengkap dengan pertanyaan yang menggantung dan mungkin tidak akan pernah menemukan jawabannya hingga kapanpun; kawanan anjing itu melindungiku dari apa?(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

Proyek "Motang Rua"

The Godfathers