Cekelan Penahan Sukma, Bikin Mbah J Hampir Abadi



Siang itu begitu panas. Rimbun pohon jati yang tumbuh berbagi tempat dengan dengan pohon-pohon mangga, rambutan dan jambu mete di halaman tak mampu menghalau mentari yang menghajar bumi tanpa ampun. Sementara udara diam tak bergerak lantaran sang bayu enggan bertiup. Mungkin turut merasa gerah.

Penghuni dusun ini terus berdatangan. Menjejali sebuah rumah joglo berdinding rendah dengan atap yang menjulang. Keadaan di dalamnya pun terasa sumuk. Gerah, pastinya. Namun semuanya tampak maklum dengan kondisi itu.

Para warga duduk bersimpuh di atas hamparan tikar plastik yang disediakan. Beberapa tampak saling bercakap-cakap dengan suara rendah sehingga terdengar seperti gumaman. Sementara yang lain diam saja sembari memandangi peti jenazah yang teronggok persis di tengah-tengah ruangan, melintang di antara dua dari empat soko guru yang menyanggah atap rumah itu.

Aku ada di situ, melakukan tugasku menyalami tetamu yang terus mengalir masuk. Sesekali kuarahkan kameraku untuk menjepret keramaian di rumah itu, mencoba menangkap wajah-wajah duka dari orang-orang yang hadir di situ.

Peti itu berwarna coklat tua. Entah terbuat dari kayu apa. Di dalamnya bersemayam tubuh renta seorang perempuan. Kulit wajahnya keriput dan tampak kelabu, tanda kehidupan di dalamnya telah punah. Sebab sukmanya telah kembali pada Sang Khalik.

BACA JUGA: Njir! Kok Beda Banget Sama yang di Foto?

Perempuan itu, sebut saja Mbah J, meninggal di usia yang sangat tua yakni 116 tahun. Setidaknya itu yang diklaim salah satu anaknya kala membaca kabar lelayu melalui pengeras suara.

Mendiang Mbah J sendiri punya empat orang anak. Yang pertama lebih dahulu berpulang sekitar 4 tahun silam di usia 65 tahun. Sementara yang bicara menggunakan pengeras suara adalah anaknya yang kedua, seorang pensiunan pegawai negeri sipil.

Aku sendiri sebenarnya tak memiliki pertalian darah dengan Mbah J. Namun hubungan perkawinan membuat kami berkerabat. Anak ketiga Mbah J adalah ibu dari seorang perempuan yang telah kuambil sebagai istri.

Siapapun pasti bertanya, mengapa Mbah J bisa mencapai usia setua itu. Terkait hal itu, ada cerita di baliknya. Kisah tentang kedigdayaan manusia-manusia masa lampau yang dekat dengan hal-hal di luar nalar. Salah satunya adalah cekelan, sebuah jimat penahan sukma.

Beberapa hari sebelumnya, Mbah J masih sehat. Tubuhnya prima walau sudah bungkuk dan agak tertatih. Namun Mbah J menderita pikun parah sejak satu dekade silam. Ia nyaris tak mengenali siapapun. Jangankan anakku yang adalah cicitnya, mertuaku yang lahir dari rahimnya saja hanyalah orang asing baginya. Bukan siapa-siapa.

Sesering apapun kami berupaya membantunya mengingat dengan menyebut nama-nama yang dulu pernah akrab di telinganya, namun sepertinya tak ada lagi yang berbekas. Ia memang tersenyum saat ada yang menyapa, atau mengajaknya bicara. Namun senyum itu hambar, kosong, tanpa makna.

Mbah J hidup dalam keterasingan di tengah gegap gempitanya dunia yang terus bergerak maju. Ia menjalani hari-harinya dalam hampa. Bagai mengitari lingkaran sembari mencari ujungnya. Sepi, sendiri.

Mbah J tak pernah sakit. Makannya pun lahap. Kerap terluka, namun sembuh dengan kecepatan yang tak masuk akal. Sekali waktu, ia jatuh begitu saja saat sedang berjalan. Dahinya menghantam lantai ubin dengan keras, sehingga membuatnya menangis seperti bayi. Orang-orang kemudian membopongnya masuk ke dalam kamar.

Anehnya, keesokan harinya ia sudah seperti sediakala. Benjol besar di dahi lenyap tak berbekas. Ia kembali melakukan ritualnya, berjalan menggapai sudut kesukaannya untuk kemudian terpekur selama berjam-jam di situ sambil menggumam tidak jelas. Lalu sesekali mendendangkan tembang Jawa yang asing dan agak menakutkan.

Kata orang, mbah J memegang cekelan. Itu sebabnya ia tampak sedemikian sehat. Anak-anaknya tentu saja tak percaya. Apa lagi aku yang kerap sinis dengan hal-hal yang tak masuk akal.

Namun di hari-hari belakangan ini, tetek bengek cekelan itu kembali mengemuka. Kali ini dari seseorang tamu yang datang dari sebuah desa di perbatasan Jawa Timur.

“Si Mbah itu sebenarnya sudah pergi lama sekali. Namun cekelan itu menahan jiwanya, sekaligus menguasainya. Ia saat ini hanya mayat berjalan, jangan harap bisa mengenali orang-orang lagi,” kata tamu itu dalam bahasa Jawa halus.

Salah seorang anak Mbah J menjadi penasaran karenanya, lalu meminta tamu itu membuktikan ucapannya. Si tamu menyanggupi, namun bukan dirinya yang akan melakukan pembuktian itu. Dia mengaku ilmunya tak seberapa.

“Ada kenalan saya dari Desa X. Kalau jenengan bersedia, akan saya bawa ke sini. Mudah-mudahan bisa mengangkat cekelan itu. Sebab jika masih menempel pada diri Si Mbah, dia akan begini terus selama-lamanya,” katanya.

Sejak pertemuan itu, tanda tanya besar memenuhi kepala. Lalu mulailah istriku mengorek-ngorek cerita dari ibunya.

“Si mbah mu itu dulu adalah pedagang di pasar. Dulu ibu ingat dagangannya selalu laku. Nggak pernah ada yang tersisa. Mungkin lantaran pakai itu,” tutur ibu mertuaku itu dengan lirih.

BACA JUGA: Walau Sudah Tua, Bi Ima Sungguh Terampil! Aku Sampai Lemas

Istriku diam mendengar pengakuan ibunya. Begitu juga dengan diriku yang mendengar obrolan keduanya. Lalu benakku kembali mengingat-ingat beberapa kejadian tak masuk akal yang pernah mampir dalam kehidupan kami. Yang paling segar dalam ingatan tentu saja saat aku secara tidak sengaja merekam sosok aneh dalam acara reuni istriku beberapa tahun lalu.

Aku lalu memecah keheningan, bertanya barangkali mertuaku pernah melihat rupa cekelan itu. Apakah semacam rapalan, atau benda yang bisa diinderai.

Ibu mertuaku menggeleng. Dia tidak tahu.

Tamu itu rupanya tidak membual. Sebab ia menepati janjinya dengan kembali mendapati kami sekeluarga beberapa hari kemudian. Kali ini ia datang bersama orang lain yang diakuinya memiliki kemampuan seperti yang dijanjikan

Sebagai seorang yang memiliki kemampuan lebih, orang yang datang bersama tamu itu terlihat biasa saja. Padahal aku sudah membayangkan akan bertemu seorang berpakaian serba hitam, mengenakan ikat kepala, gelang akar bahar dan sejumlah cincin akik besar di jari. Nyatanya tidak. Ia terlihat biasa saja, bahkan terlalu biasa. Namun, aku segera mengingat sebuah pepatah, jangan menilai sebuah buku dari sampulnya.

Hawa seketika terasa berat saat kedua orang ini masuk rumah. Anakku yang masih bayi menangis tanpa henti sehingga terpaksa diungsikan ke rumah tetangga untuk sementara waktu. Belum berapa lama si tamu dan temannya duduk di kursi tamu, Mbah J berteriak lantang dari dalam kamarnya.

“Sopo kui?!”

Seisi rumah seketika tertegun. Belum pernah dalam berpuluh-puluh tahun Mbah J bersuara lantang seperti itu. Suaranya melengking, terdengar aneh sekaligus menakutkan. Buku kudukku seketika merinding.

“Kulo, mbah,” jawab tamu itu dengan takzim.

“Karepmu opo?” kambali Mbah J bertanya dari balik pintu kamarnya.

“Mboten, Mbah,” jawab si tamu dengan lembut.

Lalu terdengar Mbah J meracau tidak jelas. Suaranya seperti sengatan angin dingin yang bikin ngilu. Kami yang ada di rumah berusaha keras untuk tidak bersuara, sembari menahan takut yang sudah menguasai raga.

“Minta tolong ambil piring, sama gelas yang diisi air,” pintah sang tamu.

Tubuhku kaku lantaran gentar. Lalu istriku beringsut ke dapur mengambil barang -barang dibutuhkan oleh si tamu itu.

Ia lalu berbicara dengan pelan, setengah berbisik, seperti sedang mencegah agar Mbah J tak sampai mendengar.

“Bapak, Ibu, cekelan Mbah J termasuk langka. Tidak dimiliki semua orang. Jika ada yang mau meneruskan untuk memegang, sekarang saatnya,” begitu katanya sambil memandangi kami satu per satu.

“Kekuatannya besar dalam hal pelaris. Bisa bikin sugih. Tapi risikonya ya itu, penggunanya tidak bisa mati kecuali cekelan itu dilepas paksa seperti sekarang,” tambahnya sembari menuangkan air di piring.

Mendengar itu, kami melihat satu sama lain. Jujur, di lubuk hati ada suara entah dari mana yang memintaku untuk memegang cekelan itu. Apalagi kondisi ekonomiku saat ini sedang buruk-buruknya. Sebuah dorongan yang menggelitik dan sedikit memaksa agar aku mengajukan diri. Namun segera saja aku dikuasai akal sehat. Berumur panjang tampak menyenangkan, apa lagi berlimpah harta. Namun jika menjalani hidup dengan kehampaan seperti Mbah J, tidak terima kasih!

Anganku buyar seiring terdengar dentingan kecil benda logam yang beradu dengan permukaan piring. Aku lalu melihat dua buah peniti berwarna kuning kusam di dasar piring itu.

“Ini barangnya,” kata tamu itu.

BACA JUGA: Kisah Sebuah Busi - Bagian Ketiga

Kami segera beringsut ke depan, menundukkan kepala agar lebih dekat pada piring, tempat dua benda aneh itu berada. Rupanya biasa saja, sebagaimana peniti pada umumnya. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang memancar dari benda itu. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan menunggu untuk dimanfaatkan.

Bersamaan dengan munculnya dia benda aneh itu di piring, gumaman Mbah J sudah tak terdengar. Suasana rumah begitu hening sehingga aku bisa mendengat sayup irama napas yang teratur dari dalam kamar itu. Mbah J sepertinya sudah tertidur pulas.

“Benda ini sebaiknya dilarung ke laut, agar hilang selamanya jika memang tak ingin dipakai lagi,” kata tamu itu sembari menawarkan diri untuk membuang jauh-jauh peniti bertuah itu.

Perkara apakah ia akan melarung cekelan yang katanya langka tersebut, atau menggunakannya, kami. sekeluarga tak peduli. Asal benda itu bisa lepas dari Mbah J, sudah cukup bikin kami bernapas lega.

Mbah J masih hidup beberapa hari pascapelepasan cekelan itu. Namun, dirinya tak lagi seperti sebelumnya. Wajahnya tampak begitu letih, renta dan tak berdaya. Alih-alih berjalan menuju di sudut favoritnya, duduk saja Mbah J sudah tak mampu lagi. Hanya dalam hitungan hari, ia tampak lebih tua puluhan tahun dari sebelumnya.

Keramaian di rumah semakin betambah-tambah. Aku yang berdiri di sisi peti ingin melihat wajah Mbah J sekali lagi, sebelum penutup peti dipaku dan jasad itu diarak ke peristirahatan terakhir.

Wajah itu tampak keriput, kelabu, tanda kehidupan sudah punah daripadanya. Namun selintas terlihat kilauan kedamaian dari padanya. Kedamaian setelah penahan sukma itu dicabut dan membuat rohnya bisa kembali pada Sang Khalik.

Selamat jalan Mbah J.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

Proyek "Motang Rua"

The Godfathers