Kisah Sebuah Busi - Bagian Ketiga
Plarrr!!!! Bunyi keras menghentak nadi saat petasan busi yang dilemparkan Kanis beradu dengan aspal jalanan. Telingaku pun sampai berdengung bagai dimasuki lebah akibat bunyi yang begitu keras itu.
Aku yakin, setiap makhluk yang berada pada radius 100 meter akan terkejut bukan main kala mendengar bunyi tersebut. Kanis melihat padaku sambil meringis.
Dia terlihat puas setelah berhasil menciptakan bunyi yang menggoncang jiwa melulukan rasa itu. Sesaat kemudian ia segera berlari menghampiri petasan businya yang mengeluarkan sedikit asap.
“Lempar kau punya, sudah…sapa punya nanti yang lebih keras bunyinya,” seru Kanis sembari memunguti petasan busi miliknya itu.
BACA JUGA: Fedi Mekui... Freddy Mercury
Aku mengangguk sambil tersenyum. Tunggu saja, petasan busiku akan meledak jauh lebih keras.
Dengan cepat aku menjejali sebuk-serbuk korek api ke dalam lubang pada moncong busiku, lalu menyumbat lubang tersebut dengan baut yang sudah tersedia. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku pun segera mengambil ancang-ancang.
Perlahan kuayun-ayunkan petasan busiku, semakin lama semakin cepat, lalu dengan sekuat tenaga mendorongnya melesat ke atas melawan gravitasi.
Dengan seksama kuperhatikan petasan busiku melayang dengan cepat meninggalkan bumi menembus udara yang basah karena gerimis yang masih turun.
Sementara tidak jauh dari situ, Kanis yang turut memperhatikan segera menyumbat kedua telinganya dengan jari.
Memperhatikan petasan busiku yang melesat ke udara membuatku teringat akan salah seorang sepupuku yang kini duduk di bangku sekolah tingkat atas.
Suatu kali, di saat aku sementara asyik menyaksikan tayangan cartoon pukul lima petang di televisi nasional, ia datang menghampiriku dengan menenteng sebuah bola tennis di tangan kanannya dan sebuah buku FISIKA SMA di tangannya yang lain.
BACA JUGA: Kisah sebuah Busi - Bagian Pertama
“Coba tebak, Apet. Jika bola ini kulempar ke atas, apa yang akan terjadi?” katanya sembari duduk di sisiku.
Pertanyaan bodoh, aku membatin.
“Itu bola itu akan jatuh lagi ke tanah,” aku menjawab tanpa menoleh kepadanya.
“Kau tahu kenapa bisa begitu?” Tanya dia. Aku mengangkat bahu tanda tidak tahu.
“Begini,” ia menjelaskan,” peristiwa bola yang dilemparkan ke atas lalu kembali jatuh adalah salah satu dari beberapa jenis gerak lurus berubah beraturan (GLBB). GLBB itu sendiri adalah sebuah gerakan benda dalam lintasan garis lurus dengan percepatan tetap.”
Aku mengangguk-angguk walau sebenarnya tak mengerti sama sekali apa yang dimaksudkannya itu.
“Terus?”
“Bola yang dilemparkan ke atas lalu kembali jatuh disebut gerak vertikal ke atas. Selama bola bergerak vertikal ke atas, gerakan bola melawan gaya gravitasi yang menariknya ke bumi.
Akhirnya bola bergerak diperlambat, dan setelah mencapai ketinggian tertentu yang disebut tinggi maksimum (h max), bola tak dapat naik lagi.
Pada saat ini kecepatan bola nol (Vt = 0). Oleh karena tarikan gaya gravitasi bumi tak pernah berhenti bekerja pada bola, menyebabkan bola bergerak turun. Pada saat ini bola mengalami jatuh bebas.“
Aku makin tidak mengerti.
“Jadi, Apet, itu bola mengalami dua fase gerakan. Saat bergerak ke atas bola bergerak GLBB diperlambat (a = - g) dengan kecepatan awal tertentu lalu setelah mencapai tinggi maksimum bola jatuh bebas yang merupakan GLBB dipercepat dengan kecepatan awal nol,” beber dia.
Petasan busi yang kulemparkan ke atas itu rupanya terikat gerak vertikal ke atas, persis seperti yang saudara sepupuku itu pernah jelaskan.
Sesaat setelah dilemparkan, petasan busi melesat cepat lalu kecepatannya perlahan-lahan berkurang secara konstan.
Setelah mencapai ketinggian maksimum, ditambah dengan pengaruh gravitasi bumi yang bekerja padanya, petasan busi itu pun kembali ke bumi dengan moncong menghadap ke bawah dengan kecepatan semakin besar dari waktu ke waktu.
***********************
Plarrrr!!!!!
Bunyi dashyat kembali terdengar begitu petasan busi milikku bertumbukan dengan aspal. Asap putih yang keluar diiringi bau hangus menandakan telah terjadi pembakaran yang hebat pada celah kecil di dalam busi itu. Aku terkesima sesaat lalu kemudian tersenyum puas.
Apa kubilang, ledakan busi milikku jauh lebih keras dibanding punya Kanis. Senyum di wajahku semakin mengembang Kulihat wajah Kanis berubah cemberut lantaran ledakan busi miliknya telah aku kalahkan.
“Saya punya lebih keras to?” aku berkata sambil menepuk dada laksana seorang kesatria yang baru saja melumpuhkan lawannya dalam sebuah pertarungan yang berdarah-darah.
Kanis hanya tersenyum kecut sembari cepat-cepat meracik serbuk korek dan menjejalkan serbuk itu pada moncong busi miliknya. Rupanya ia sudah tak sabar untuk menciptakan ledakan yang jauh lebih keras.
“Lihat saja nanti, seluruh dunia bisa dengar saya punya busi,” ucapnya tak mau kalah.
Detik-detik berjejer membentuk waktu. Bunyi-bunyi ledakan petasan busi yang bertautan silih berganti, semakin melecut adneralin kami untuk saling mengalahkan satu sama lain.
Pelangi yang menghiasi langit kelabu Ruteng perlahan memudar seiring pendar sinar mentari yang makin lemah karena dilahap senja.
Dari jauh, sang pemilik kios memperhatikan tingkah kami sambil menggeleng-geleng kepala tanpa bisa berbuat banyak.
Mungkin karena punggung tuanya sudah tak lagi mampu menghentikan aku dan Kanis yang berusia puluhan tahun lebih muda darinya.
Mungkin juga dingin yang menusuk di sore itu telah membuat kaku sekujur tubuhnya, hingga ia berdiri mematung saja di pintu kiosnya. Atau, mungkin saja ia sebenarnya menikmati gelegar bunyi petasan busi itu.
Bunyi-bunyian yang sedikit memberi warna senja-senja kelabu menjelang Natal di penghujung tahun itu.(*)
Komentar
Posting Komentar