Berkaca di Jendela

For the most part people are not curious except about themself-JohnSteinbeck -


Hal terbaik setelah serangkaian ujian akhir semester yang berhasil melelehkan otak adalah pulang kampung. 

Yepp, saya pun memutuskan untuk meninggalkan Jogja yang terkenal sebagai kota pelajar itu, dan menghabiskan jatah liburan 2 bulan di kampung halaman. 

Di mana lagi kalau bukan di Ruteng, sebuah tempat yang oleh seorang rapper digambarkan sebagai 'kota kecil dengan seribu gereja'. 

Melewati hari-hari libur, saya punya hobi mengasyikan di rumah. Setiap jam 06.30 pagi saya sudah nongkrong di ruang tamu. Buat apa? Sabar, Nanti cerita ini pasti sampai di situ.

Kebetulan jendela depan rumah kami di Ruteng itu ukurannya cukup besar.Tiga lembar kaca gelap utuh dengan tinggi satu meter lebih terpasang di jendela itu. 

Ditambah dengan kaca lain berukuran lebih kecil yang ditempatkan sejajar di bagian atas dan bawah masing-masing kaca besar itu. 

Sebenarnya, tidak ada yang khusus pada jendela itu lantaran banyak rumah dengan jendela-jendela depan berukuran besar di Ruteng. 

Namun karena posisi rumah kami yang agak dekat dengan jalan  tanpa di batasi oleh pagar atau semacamnya, membuat jendela itu layaknya sebuah cermin yang memantulkan dengan jelas bayangan setiap pelintas di depan rumah. 

Saya sering mendapati anak SMA atau SMP – khususnya perempuan – memamerkan sifat narsis skala kecil dengan berkaca sebentar di depan di depan jendela kami itu. 

Tidak kalah dengan mereka yang usianya masih ‘abegeh’ lengkap dengan tingkah alay yang menggelikan, bahkan tanta-tanta PNS juga memanfaatkan jendela kami itu. 

Agaknya mereka tidak puas berkaca di cermin di rumah masing-masing. Seolah-olah dalam perjalanan tadi mereka diacak-acak oleh badai Katrina atau semacamnya, sehingga mereka perlu memelankan langkah sebentar, melihat ke arah kaca jendela besar itu, untuk memastikan dandanan mereka masih sempurna bagai wanita-wanita jaman Victoria. Gosh...

Pada suatu pagi di di awal Agustus yang cerah, sebuah niat iseng muncul begitu saja dalam benak saya.
Orang-orang yang suka narsis di jendela itu tampaknya perlu diberikan sedikit kejutan kecil. 

Bukan untuk apa-apa, hanya untuk membuat suasana pagi itu terasa menyenangkan bagi saya, dan mungkin rasa sedikit rasammalu bagi mereka.

Langkah pertama, tentu saja, adalah menentukan sasaran. Biasanya, siswi SMA (yang punya muka manis mengarah ke cantik melankolis) adalah target yang empuk untuk rencana saya itu. 

Kenapa? Karena mereka adalah remaja. Secara psikologis, remaja pada umumnya sedang masuk masa transisi menuju kedewasaan. 

Stanley Hall, seseorang yang dijuluki Bapak Psikologi Remaja mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (Storm and stress), sebuah masa dimana manusia mengalami krisis identitas sekaligus pecarian identitasnya. 

Gagasan ini kemudian diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh seorang psikolog lain yang saya lupa namanya. Dikatakan, ada empat status identitas diri pada remaja yakni identitydiffusion/confussion, moratorium, foreclsure, dan identity achieved.  

Proses pencarian jati diri itulah yang membuat  mereka cenderung labil, tidak bisa di tebak, dan yang paling penting, dalam kasus ini, memiliki rasa malu lebih yang besar dibandingkan dengan mereka di kelas usia lain. 

Bayangkan bagaimana reaksi  mereka jika dipermalukan? Hahahaha!  Anda pasti membatin, wah jahat betul kau!  Well, begitulah. Pagi itu saya telah bertransformasi menjadi seorang kriminal, dan orang-orang di depan jendela jadi korbannya. No big deal.

Kembali ke cerita. Untuk menemukan sasaran, jam 06.15 pagi  saya sudah ‘parkir’ di depan kiosnya om Lois yang berada di belakang rumah kami namun sisi depannya  menghadap di jalan yang membentang  di samping kanan rumah. 

Oh iya,  sekadar memberikan gambaran, rumah kami itu letaknya di simpang tiga jalan di daerah Nekang. Jadi, kalau Anda kebetulan sedang berada di Rumah Sakit Umum Ruteng, susuri saja jalan yang membentang di depan gedung itu. 

Terus mengarah ke timur sampai jalan itu berujung pada sebuah jalan lain yang mengarah ke utara dan selatan. Jika sudah sampai di situ, lihat ke samping kirimu. Di situlah letak rumah yang saya maksudkan itu.

Sambil  menikmati sebatang Jarum Super yang sudah habis separuh saya memperhatikan setiap orang yang lewat. Ada om-om dan tanta-tanta berseragam PNS dan beberapa orang anak berseragam putih-merah, putih biru dan putih-abu. 

Sebagian dari mereka melempar senyum kepada lantaran mengenali saya. Beberapa  bahkan sempat berhenti sejenak dan berbasa-basi dengan mengeluarkan pertanyaan ‘One pisa cai?’ lantaran tahu saya sedang kuliah di Pulau Jawa. 

Tentu saja saya menjawab  pertanyaan itu. Toh itu jenis pertanyaan yang sangat mudah dijawab tanpa beban, bukan pertanyaan yang dikeluarkan orang tua pacar saat Anda datang ke rumah mereka dengan maksud melamar anak gadis mereka. 

Saya tinggal jawab ‘minggu olo’atau ‘wulang olo‘ atau ‘beheng gah’ dan di bagian belakang  frasa singkat itu tinggal saya tambahkan ‘tanta’atau ‘om’, sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua.

Yang bikin saya geli, orang-orang yang lewat itu pasti juga menggunakan jendela kami untuk berkaca sebentar sebelum melanjutkan perjalanan, atau, minimal menoleh sebentar ke arah kaca untuk menyaksikan pantulan bayangan mereka.

Namun saya tidak peduli, sebab saya sedang dalam misi mencari sasaran yang masuk kriteria poin-poin yang sudah saya rancang sebelumnya; Anak perempuan ABG, cantik dan, oh iya, berjalan seorang diri. Yang terakhir itu penting, biar efek malunya nanti lebih besar. 

Kalau sasaran saya adalah gerombolan ABG, tentu saja itu akan mereka anggap sebagai lelucon. Mereka juga akan ikut menertawakan perbuatan konyol mereka berkaca di jendela rumah orang. 

Meski ada rasa malu, namun malu itu bisa ditanggung bersama, dibagi rata pada masing-masing anggota kelompok, sehingga efeknya tidak akan sampai membuat jera.  

Tidak, sasaran saya itu harus satu orang saja. Sama seperti seorang penodong lebih suka target yang berjalan sendirian ketimbang menghadapi sekelompok pemuda kompleks setengah mabuk yang baru pulang menghabiskan malam dengan berkumpul di pertigaan gedung DPRD Ruteng.

Rencana jahat itu membuat dua tanduk di kepala saya tumbuh semakin besar, sementara seluruh tubuh berubah merah, persis seperti rupa Ron Perlman ketika dirinya memerankan superhero dari neraka bernama Hellboy. 

Bila saja  si Hellboy itu memotong kedua tanduknya, saya membiarkan dua tanduk saya  itu tetap  utuh di kepala, dan mungkin ditambah sedikit api di atasnya.

Dari jauh saya memperhatikan seorang anak perempuan beseragam putih abu-abu berjalan sendirian. 

Mata saya berninar-binar memperhatikannya. Ia memiliki wajah  cukup manis dengan rambut hitam panjang yang dikucir kuda, serta sebentuk poni yang melindungi dahinya. 

Ia mengenakan  baju kemeja putih yang tampak sedikit kekecilan sehingga menonjokan lekuk-lekuk tubuhnya yang baru tumbuh itu. 

Saya duga, seragam putih yang ia kenakan itu milik adiknya yang lebih dahulu telah dilepas lambang SD nya, atau mungkin selembar baju kemeja normal yang sudah dipermak di tukang jahit, entahlah. 

Roknya selutut, dan sepasang kaus kaki berwarna putih  polos menutupi seluruh betisnnya, dipadu dengan sepatu terbuka bersol rendah yang juga berwarna senada. Tas yang dipakainya menyimpan buku-buku  adalah model selempang yang saya tidak ingat lagi warnanya. 

Ada  sebuah buku lain yang ukurannya agak besar didekapnyadi tangan.  Ah, ABG ini pasti korban film Ada Apa Dengan Cinta atau Virgin, atau film-film nasional dan sinetron yang lagi ngetrend tahun 2000-an. 

Lihat saja seragamnya, mirip yang dikenakan Dian Sastro dan Titi Kamal. Untungnya, gaya berpakaian seperti itu sangat pantas untuk badannya yang ramping berisi.  

Dengan gaya trendy seperti itu, saya yakin juga anak ini selalu jadi incaran siswa  - dan mungkin beberapa guru gatal -  di sekolahnya untuk dijadikan timi. Siapakah orang beruntung yang telah diterima salamnya oleh molas Manggarai ini? Whatever, not my business anyway...
.
Sasaran sudah masuk perimeter. Saya bersiap-siap menjalankan aksi, laksana salah seorang dari sepasukan DEA tengah menjebak segerombolan pemuda berwajah Latin anggota kartel Mexico yang hendak menyelundupkan kokain kelas satu mereka melewati perbatasan Amerika Serikat.  

Sebuah garis imajiner saya ciptakan, membentang lurus dari sisi belakang rumah hingga memotong jalan. Ketika si ABG sudah melewati garis tersebut, saya segera masuk rumah, meninggalkan segurat kebingungan di wajah Mama yang kala itu juga tengah bersiap ke kantor.

Saya terus  menghambur ke ruang tamu dan berdiri persis di belakang kaca jendela. Ketika  menunggu si gadis manis berseragam putih abu-abu melintas di depan jendela, di kepala sempat terbersit rasa iba karena membayangkan bagaimana rasa malu yang ia dapat nanti. 

Ah, sudah terlanjur basah, mandi sekalian,batin saya waktu itu. 

Toh, perbuatan ini tidak masuk dalam kategori bulying yang konon terjadi 300 kasus di Indonesia menurut data Komisi perlindungan Anaktahun 2010. 

Saya kemudian mulai menghitung mundur dari angka 20.

Saya masih di hitungan keenam ketika si cantik itu memasuki berada di area jalan yang yang berhadapan langsung dengan jendela ‘cermin’ rumah kami. Benar saja, langkahnya yang sebelumnya terburu-buru, tiba-tiba saja berkurang signifikan kecepatannya. 

Ketika memelankan langkahnya secara tiba-tiba, si anak ABG itu secara tidak sadar tengah menerapkan hukum Newton, sebuah teori tidak masuk akal yang menjadi salah satu bahasan dalam sederetan teori memuakkan lainnya pada pelajaran Fisika di sekolah. 

Sesuai hukum  Newton itu, apabila arah gaya total berlawanan dengan gaya benda, maka gaya tersebut akan mengurangi laju benda. 

Keinginan untuk memperhatikan bayangan diri di jendela besar telah secara spontan membangkitkan sebentuk gaya yang berlawanan dengan laju jalannya. 

Dua gaya itu kemudian saling bertumbukan hingga menimbulkan gesekan kecil pada  sol sepatu putihnya dengan permukaan  aspal, lalu membuat ia jadi melambat. (Apa perlu saya sertakan rumusnya?)

Dengan anggun kepala si gadis menoleh ke arah jendela, memperhatikan bayangan dirinya yang terpantul di sana, dari kepala hingga kaki. 

Saya yang bediri di belakang jendela memperhatikan tingkahnya. Lalu tiba-tiba saja waktu berjalan sangat lambat, bagai tayangan ulang ketika Rooney menjebol gawang Joe Hart pada sebuah sebuah pertandingan derby yang panas di Kamis dini hari. 

Sembari saya menatap dari balik jendela, benak saya membayangkan apa yang tengah dikatakan  anak itu pada dirinya sendiri.

“Ah saya selalu sadar kalau saya cantik,”

“Harusnya ini rok agak naik sedikit,”

“Ini baju bikin saya sedikit seksi. Pasti pak Fidel yang suka berdiri di gebang seklolah itu bakal marah nanti. Aiih fareek dengan dia. Yang penting gaya,”

“Aduu Tuhaann, saya pu muka tidak terlalu jelas terlihat di itu jendela. Padahal saya mau pastikan ini poni sudah bagus belum.”

Tak mau membuang kesempatan, saya segera menepuk-nempuk kaca jendela besar itu hingga mengeluarkan suara yang keras. Tepukan terakhir disertai dengan teriakan lantang dari dalam rumah.

“ENU SUDAH CANTIK! CERMIN DI RUMAH BELUM CUKUP KO? CEPAT SUDAH, AWAS TERLAMBAT MASUK SEKOLAH!!” Lalu diikuti sebuah tawa keras.

"Hahahahahahaha, oleeee Mori, umet tu'ung timi ho pe'ang'e!"

Si gadis kaget bukan kepalang, hampir terjatuh. Buku besar yang ia pegang terlepas dari tangan lalu meluncur bebas menuju aspal. 

Sesaat ia kelagapan lantaran bingung, persis seperti rekaman video prank di Youtube ketika beberapa bule jahil mengerjai temannya  dengan siraman seember air es di pagi buta, saat ia tengah asyik menikmati tidurnya. 

Si gadis itu kemudian membungkuk dengan kikuk untuk memungut bukunya yang jatuh, lalu berjalan setengah berlari dengan (saya sangat yakin 2000 persen –mengikuti gaya SBY) memikul rasa malu sebesar lemari pakaian pada bahunya yang ramping.

Rencana saya berhasil dengan mulus! Setelah puas tertawa, saya berlalu dari jendela itu dan segera menghampiri secangkir kopi panas yang telah disediakan Mama untuk saya. 

Dan mengenai si gadis manis berseragam putih abu-abu itu, Saya yakin akan memilih jalan lain nanti siang, esok dan seterusnya.

Sekian dan terima gaji!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

The Godfathers