Perang melawan tembakau : Korban pertama adalah kebenaran

sumber: http://www.komunitaskretek.or.id/artikel-12-.html

Oleh Gabriel Mahal (praktisi hukum)

Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont (1998) mengungkapkan hal itu dengan tegas dalam artikel berjudul “Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths.” Perang terhadap tembakau, kata Levi dan Marimont, telah berkembang menjadi monster kebohongan dan kerakusan. Ilmu pengetahuan sampah (junk science) telah menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). Propaganda tampil sebagai fakta-fakta. Yang jadi korban pertama dalam perang melawan tembakau adalah kebenaran.


Hal senada diungkapkan pula oleh Judith Hatton, co-author buku “Murder a Cigarette.” Pernyataan WHO tidak lain daripada propaganda yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistic, estimasi, tidak lebih dari “Lies, Damned Lies.”

Untuk membuktikan propaganda anti merokok yang juga menurut Lauren A. Colby, Litigation lawyer dari Maryland, tidak berdasarkan kebenaran, tidak bertanggungjawab dan liar, Colby menulis buku “In Defense of Smokers.” (2003)

Kebenaran apa yang dikorbankan? Levy, Marimont, Hatton, Colby, dan orang-orang yang kritis dengan propaganda anti merokok ini bukan penyebab dari resiko segala macam penyakit yang disebutkan WHO. Merekapun menunjukkan beberapa hasil penelitian dan kajian ilmiah, diantaranya seperti yang dimuat dalam British Journal of Cancer (2002) yang membuktikan tidak adanya hubungan antara merokok dengan resiko kanker payudara. Hasil studi lain yang dikenal dengan sebutan “Roll Royce of Studies,” menjelaskan tidak adanya hubungan antara merokok dengan sakit jantung (Journal of Critical Epidemology 42, No. 8, 1989).

Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul “Study casts doubt on heart ‘risk factors’” (International News, 25/8/1998), mengungkapkan bahwa studi cardiologi paling besar yang pernah dilakukan telah gagal menemukan hubungan antara serangan jantung dengan faktor-faktor risiko klasik, seperti merokok dan tingkat kolesterol yang tinggi. Monica study, demikian nama studi tersebut yang melakukan kajian di 21 negara selama sepuluh tahun, menimbulkan timbul penyakit jantung menurun sepanjang benua Eropa, Australia, dan Amerika Utara. Tetapi para ilmuwan tidak dapat menemukan koneksi statistik antara reduksi dengan perubahan-perubahan dalam obesitas, merokok, tingkat tekanan darah atau kolesterol.


Perubahan tingkat penyakit jantung koroner dalam populasi yang berbeda-beda tidak menunjukkan hubungan dengan perubahan faktor-faktor risiko standar. “Ini merupakan kejutan besar bagi banyak orang,” ungkap Dr. Caroline Morrison seperti dikutip Irwin. Hasil studi ini diumumkan dalam “the European Congress of Cardiology in Vienna” pada bulan Agustus 1998 itu. Studi yang paling lama dan paling besar di dunia itu menghimpun informasi dari 150.000 serangan jantung, terutama di Eropa Barat, dan di Russia, Iceland, Kanada, Cina dan Australia. Penurunan penyakit jantung paling besar terjadi di Swedia. Yang meningkat terjadi di Lithuania, Polandia, Cina, dan Russia. Hasil studi juga mengungkapkan, bahwa kegelisahan, kemiskinan, perubahan ekonomi dan sosial mempunyai hubungan dengan penyakit jantung. Fakta ini nampak sejak studi ini mulai dilakukan pada tahun 1980-an. Seseorang yang berhenti merokok namun kehilangan rumah tempat tinggal secara umum berada pada risiko terkena penyakit jantung karena faktor stress.

Sekalipun hasil studi Monica yang didanai WHO mengungkapkan tidak adanya hubungan antara penyakit jantung dengan faktor risiko fisik, WHO tetap saja mengatakan bahwa faktor-faktor risiko klasik merupakan kontribusi utama bagi risiko individual.

Terkait dengan angka-angka perkiraan kematian dan rendahnya harapan hidup akibat kematian prematur yang disampaikan WHO, menurut Levy, Marimont, Hatton, Colby, dan orang-orang yang kritis dengan propaganda anti merokok, adalah tidak benar dan semata-mata berdasarkan pada junk science yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sala satu contoh yang bertentangan dengan perkiraan kematian prematur akibat merokok adalah Negara Jepang, Yunani dan Siprus. Negara-negara ini memiliki tingkat merokok yang tinggi di dunia. Tetapi mereka justru memiliki tingkat terkena penyakit kanker paru-paru tergolong rendah dan harapan hidup jauh lebih lama.

Kritik dan fakta-fakta ini tidak menyurutkan kampanye anti merokok. WHO tetap melakukan propaganda anti merokok yang oleh Colby disebut tidak berdasarkan kebenaran, tidak bertanggungjawab dan liar.

Dalam paper “Tobacco & Health in the Developing World” yang dipresentasikan dalam “High Level Ground Table” di Brussels, 3-4 Februari 2003, WHO memperkirakan 4,9 juta kematian pertahun disebabkan oleh tembakau. Tanpa tindakan lebih lanjut, diperkirakan tahun 2020 angka kematian itu jadi dua kali lipat. Rata-rata 70% kematian terjadi di negara-negara berkembang. Bersama dengan HIV/AIDS, penggunaan tembakau merupakan penyebab kematian yang paling cepat dan jadi penyebab utama dari kematian prematur di tahun 2020-an. Tembakau disebut sebagai kontributor utama dari perkembangan begitu besar penyakit-penyakit yang dihadapi negara berkembang. Hal ini meningkatkan ancaman penghancuran pembangunan sosial dan ekonomi negara-negara tersebut. Masalah tembakau merupakan bukan hanya tantangan kesehatan, tetapi juga pembangunan ekonomi dan sosial serta kelestarian lingkungan (environmental sustainability). Karena itu perlu kontrol lebih luas dan harus jadi prioritas pembangunan.


Pernyataan WHO di atas sangat berbau propaganda dan meragukan, bukan? Apa benar besaran angka-angka perkiraan kematian yang oleh Levy dan Marimont disebut “Lies, damned lies” itu? Apa benar ancaman bahaya kematian akibat tembakau itu sama dengan HIV/AIDS? Apa benar jadi kontributor utama berbagai penyakit di negara-negara berkembang? Bukankah gizi buruk, kualitas hidup yang rendah akibat kemiskinan? Apa benar tembakau itu jadi ancaman kehancuran pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup?

Kita telah mengalami kehancuran itu dan bukan karena tembakau atau karena banyaknya perokok, tetapi karena salah satunya, korupsi. Kalau pernyataan WHO itu benar, ini artinya para petani tembakau, perusahaan-perusahaan rokok, besar dan kecil, dengan berjuta karyawannya, tentu bertanggung jawab atas ancaman rusaknya pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup? Kenyataannya, bukankah sebaliknya? Apakah kita di negara-negara berkembang dianggap terlalu bodoj sehingga mudah dibohongi dan menerima propaganda WHO ini sebagai kebenaran fakta? Kenapa pula terkesan WHO sangat concern dengan bahaya risiko merokok/tembakau itu daripada bahaya penyakit yang nyata-nyata dihadapi negara-negara berkembang seperti malaria, HIV/AIDS, busung lapar, dan lain-lain?!

Penjelasan Pierre Lemieux (2001) mungkin dapat menjelaskan pertanyaan terakhir tersebut? Lemieux mengutip kata-kata pencetus ide dan pendiri WHO, Dr. Szeming Sze, “my part in the founding of WHO was 90% diplomatic and only 10% medical. It was politics all the time.” Jadi, jelas. Urusannya selalu politik. Politik papa? Bica macam-macam. Dagang, ekonomi, marketing, dan lain-lain. Jika omong politik, artinya omong kepentingan. Pertanyaannya, adakah kepentingan atau kepentingan apa dan siapa dibalik gencarnya propaganda anti merokok alias perang melawan tembakau ini?!

Menarik untuk mencermati hasil riset investigatif Wanda Hamilton (2002) berjudul “Big Drug’s Nicotine War.” Hamilton menyebut “koneksi yang tidak terbantahkan antara propaganda anti merokok dengan industri farmasi.” Menurut Hamilton propaganda anti merokok dibiayai oleh para konglomerat farmasi. Ini menguntungkan, jadi, industri farmasi mestinya “loves smokers.” Persoalannya tidak dapat dibuktikan secara ilmiah hubungan antara merokok dengan penyakit-penyakit tersebut.


Menurut Hamilton, industri farmasi mencintai perokok sebab “they are its new business horizon” yang didukung oleh kekuatan internasional yang kuat. Gencarnya propaganda anti merokok merupakan bagian strategi marketing industri farmasi. Targetnya, orang berhenti merokok. Untuk berhenti merokok diperlukan terapi atau obat-obat yang dapat membantu atau alternatif lain yang disebut “smoking cessation and treatment services,” produk industri farmasi, seperti: Nicorette, Nicotinell, Zyban (anti smoking pill), Nicotine Replacement Therapy (NRT) gum and patch, GlaxoSmithKline, Nicorette Orange Gum, Clear NicoDerm Patch.

Dalam Annual Report 2001, seperti dikutip Hamilton, penjualan produk-produk ini meningkat secara signifikan. Jangan lupa, produk-produk ini juga mengandung unsur nikotin! Jadi, ini perang dagang nikotin antara industri farmasi lawan industri rokok.

Yang menarik, sebagaimana diungkapkan Al Martonovic, WHO mendesak pemerintah-pemerintah untuk memasukkan “smoking cessation” dan “treatment services” ini sebagai bagian program pengontrolan tembakau yang komprehensif. Terkesan WHO aktif pula mempromosikan produk dan jasa yang ditawarkan industri farmasi.

Tanya, masikah kita berpikir bahwa propaganda anti merokok untuk kepentingan kesehatan masyarakat (public health)?! Masikah kita rela korbankan para petani tembakau, perusahaan-perusahaan tembakau, mulai perusahaan rumah tangga hingga perusahaan besar, dengan begitu banyak tenaga kerjanya, yang jelas-jelas memberikan kontribusi bagi pembangunan dan kemajuan bangsa ini, untuk kepentingan yang mengatasnamakan kesehatan masyarakat?! Saya dan anda tentu akan mendukung kampanye anti merokok dan kebijakan kesehatan publik jika didasarkan pada kebenaran dan kejujuran. Jika mengorbankan kebenaran dan di atas kebohongan argumentasi, katakan : Tidak!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

The Godfathers