Perang Salib
Latar Belakang
Untuk mengerti Perang Salib
kita perlu menilai peristiwa yang menyebabkannya. Sejak legalisasi Kristianitas
di awal tahun 300, Kristen Eropa mulai melakukan ziarah ke Palestina untuk
mengunjungi situs kudus yang berhubungan dengan hidup Tuhan kita. Ziarah ini
adalah bentuk kesalehan yang besar karena pada jaman tersebut perjalanan ke
Tanah Suci adalah sulit, memakan waktu lama, mahal dan berbahaya. Beberapa
ziarah membutuhkan bertahun-tahun untuk selesai.
Jemaat Kristen juga pergi ke
Syria, Palestina dan Mesir untuk hidup seperti pertapa. Ini adalah jaman dimana
kehidupan membiara berbuah banyak, dan banyak jemaat Kristen yang ingin pergi
ke Tanah Kudus untuk hidup sebagai pertapa. Mereka juga mengalami kesulitan-kesulitan
dalam perjalanan mereka. Bagi para peziarah dan mereka yang ingin menjadi
pertapa ada satu faktor yang membikin mudah perjalanan: Jalan menuju Palestina
membentang melalui wilayah Kristen.
Pada tahun 612, Muhammad SAW
orang Arab, anak dari Abdallah, dilaporkan menerima panggilan kenabian dari
Allah melalui malaikat Gabriel. Pada awalnya dia mendapatkan beberapa pengikut.
Namun, setelah diusir dari tempat kelahirannya, yaitu Mekah, dia berlindung di
Kota Medina dimana saat itu pengikutnya bertambah. Mengibarkan kampanye
militer, Muhammad SAW menaklukkan beberapa suku kafir, Yahudi dan Kristen dan
dia juga berhasil mengambil alih tempat kelahirannya, Mekkah, dan juga Arabia.
Dia meninggal pada tahun 632.
Seiring dengan meninggal-nya
Nabi Muhammad SAW, penerus Muhammad, para kalifah, meneruskan kampanye ekspansi
yang agresif. Kurang dari satu abad mereka telah mengambil alih, antara lain,
Siria, Palestina dan Afrika Utara. Meskipun sekarang kita menganggap daerah
tersebut adalah daerah Muslim, pada waktu itu daerah daerah tersebut adalah
Kristen. Dikatakan bahwa kerajaan Muslim yang berekspansi telah mencaplok
setengah dari peradaban Kristen. Bahkan Eropa sendiri terancam. Muslem
mengambil alih Spanyol Selatan, meng-invasi Prancis dan bahkan mengancam untuk
meng-invasi Roma. Namun ekspansi mereka ditaklukkan oleh Charles Mantel pada
pertempuran Poiters di 732.
Saat itu adalah masa-masa
sulit
Setelah ekspansi Muslim di
Eropa Barat telah tertahan untuk beberapa saat, perhatian mereka teralih ke tempat
lain, dan dalam dua abad selanjutnya mereka menaklukkan Persia (Iran),
Afghanistan, Pakistan dan sebagian India. Mereka lalu maju melawan negara
Kristen dan menaklukkan Kekaisaran Byzantine pada 1453 dan berekspansi sampai
Vienna, Austria pada 1683.
Perang Salib terjadi di
pertengahan peperangan ini. Persiapan secepatnya dilakukan pada abad 11 dengan
meningkatnya ketegangan antara Kristen dan Muslim di Tanah Kudus.
Palestina telah berada dalam
kendali Muslim selama beberapa waktu, meskipun itu didapat dengan persetujuan
(walaupun enggan) oleh pihak Kristen yang hidup di Palestina. Namun, pada 1009,
Kalifah Fatimite dari Mesir memerintahkan penghancuran Kuburan Kristus di
Yerusalem, yang merupakan tujuan utama peziarah Kristen. Kubur ini kemudian dibangun
kembali.
Meningkatnya bahaya bagi
jemaat Kristen dalam melakukan ziarah ke Tanah Kudus hanya menambah antusiasme
untuk melakukan perjalanan tersebut, karena sekarang ziarah menjadi tindakan
kesalehan yang lebih besar. Selama abad ke 11, ribuan jemaat Kristen mengarungi
dengan berani, sering dikawal oleh pengawal-pengawal Kristen yang kadang kadang
mengawal dua belas ribu peziarah dalam waktu yang sama.
Bangsa Turki Seljug yang
telah menganut Islam pada abad ke 10, mulai menaklukkan bagian-bagian dunia
Muslim> Dan ini membuat ziarah semakin berbahaya, kalaupun tidak mungkin.
Kaum Seljug mengambil alih Yerusalem pada 1070 dan mulai mengancam Kekaisaran
Byzantine. Kaisar Byzantine, Romanus IV Diogenes ditangkap oleh kaum Seljuq
pada perang Manzikert di 1071. Penerusnya, Michael VII Ducas, meminta bantuan
Paus Gregory VII, yang juga berpikiran untuk memimpin ekspedisi militer untuk
memukul balik bangsa Turki tersebut. memperbaiki Kuburan Kristus, dan
mengembalikan keutuhan Kristen setelah perpecahan de facto Kristen Timur pada
1054. Namun "Konflik Pengangkatan" (ini ceritanya panjang dan akan
diceritakan lain kali) menambah beban untuk pelaksanaan rencana ini.
Kaum Seljug terus
berekspansi, pada 1084 menaklukkan kota Antioka dan pada 1092 kota Nicea,
dimana dua konsili ekumenis diadakan berabad-abad sebelumnya. Pada 1090, Tahta
Gembala metropolitan historis di Asia sudah berada di tangan Muslim, yang pada
saat itu sudah sangat dekat dengan ibukota Byzantine di Konstantinopel. Sang
Kaisar, Alexius I Comnenus, meminta Paus Urban II bantuan.
Perang Salib pertama
(1095-1101)
Tidak seperti Gregory VII,
Paus Urban II berada dalam posisi untuk menjawab permintaan Timur. Pada
November 1095, dia memanggil Konsili Clermont di Prancis Selatan dimana dia
meminta dengan sangat pada hadirin -yang terdiri dari bukan hanya Uskup dan
Kepala Biara, tapi juga kaum bangsawan, ksatria dan rakyat sipil- untuk
memberikan bantuan kepada Kekristenan Timur.
Telah terjadi banyak
peperangan antar sesama Bangsa Eropa dan pada pertemuan yang diadakan di tempat
terbuka tersebut, Paus mendorong mereka untuk berdamai satu sama lain dan
memusatkan kekuatan militer mereka untuk tujuan yang konstruktif -membela
Kekristenan dari aggresi Muslim, membantu Kristen Timur, dan mengambil alih
kembali Kubur Kristus. Dia juga menekankan perlunya pertobatan dan motif
spiritual dalam melakukan kampanye ini, menawarkan indulgensi total bagi mereka
yang berkaul untuk melakukan tugas ini. Jawaban dari para hadirin sangat
antusias, para hadirin berteriak "Deus Vult!" (Tuhan menghendakinya!)
Dalam Kosnili Clermont juga
ditetapkan bahwa mereka yang pergi untuk melaksanakan tugas akan memakai Salib
Merah (Latin:Crux). yang kemudian membuat kampanye ini disebut Perang Salib.
Persiapan dimulai di seluruh
Eropa. Kebanyakan tidak terorganisasi ataupun tidak mempunyai semangat seperti
yang didengungkan Paus. Beberapa prajurit begitu kurang persiapan sehingga
mereka menjarah untuk memenuhi kebutuhan. Beberapa orang German membantai orang
Yahudi. Beberapa tidak pernah sampai di Konstantinopel. Beberapa anggota dari
"People's crusade" yang tidak terorganisasi dan begitu tidak disiplin
dan dikirim oleh Kaisar pada Agustus 1096 menuju ke Bosphorus, lebih dulu dari
pasukan utama Perang Salib, mereka dibantai oleh tentara Turki.
Prajurit Salib utama terdiri
dari empat pasukan yang berasal dari Perancis, German dan Normandia, dibawah
pimpinan Godfrey dari Boullion, Bohemond dan Tancred (keduanya orang
Normandia), Raymond dari Saint-Giles, dan Robert dari Flanders. Namun, Kaisar
Byzantin Alexius tidak ingin tentara yang begitu banyak berada di
Konstantinopel dan kemudian dikirimnya mereka ke Asia Minor sesuai dengan
urutan kedatangan mereka. Sang Kaisar juga mensyaratkan agar kepala Pasukan
bersumpah bahwa mereka akan mengembalikan tanah yang mereka rebut dari pihak
Muslim yang dulunya adalah daerah Byzantine.
Pada Juni 1097, Nicea
diambil alih oleh Byzantine dan para Prajurit Salib. Bulan berikutnya Prajurit
Salib dan Byzantine mendapatkan kemenangan besar melawan Turki ketika mereka
diserang di Dorylaeum. Kemajuan lebih lanjut cukup sulit dan nampaknya beberapa
orang menjadi putus semangat. Salah satunya adalah Alexius, yang berjanji untuk
membantu kota Antioka yang terkepung. Ketika sang Kaisar berhenti untuk
berusaha, para Prajurit Salib merasa bahwa kewajiban untuk menyerahkan
Dorylaeum kembali ke Kaisar, telah hilang karena sang Kaisar sendiri tidak
mampu mempertahankannya (Alexus telah hilang semangat). Karena itu, saat
Dorylaeum diambil alih pada Juni 1099, kota tersebut jatuh ke tangan orang
Normandia.
Bulan berikutnya Fatimid
Muslim dari Mesir mengambil alih kembali Yerusalem dari kaum Seljug Turky, jadi
para Prajurit Salib melakukan serangan bukan kepada bangsa Turky. Ini terjadi
pada 1099. Selama sebulan para Prajurit Salib, yang telah berkurang separuh
dari kekuatan awal, mendirikan kemah disekeliling Yerusalem sementara Gubernur
Fatimid menunggu bantuan tentara dari Mesir. Disisi lain Prajurit Salib
mendapatkan persediaan makanan dan kebutuhan dari pelabuhan Jaffa dan memulai
gerkan mereka.
Pada 8 Juli Prajurit Salib
berpuasa dan berjalan dengan telanjang kaki mengelilingi kota menuju ke Gunung
Zaitun (tempat Yesus mengalami Sakral Maut), dan pada tanggal 13, mereka
mengepung tembok kota. Pada tanggal 15, beberapa prajurit berhasil melewati
tembok dan membuka salah satu gerbang kota yang membuat pasukan utama mampu
menyerbu kedalam. Di Menara Daud, Gubernur Fatimid menyerah dan diantar keluar
dari kota. Dari dalam Mesjid Al-Agsa dekat Bukit Kuil (Temple Mount), Tacred,
salah satu pimpinan Prajurit Salib, menjanjikan perlindungan bagi warga Muslim
dan Yahudi di kota tersebut. Sayangnya, meskipun ada upaya tersebut,
pembantaian tetap terjadi.
Bulan selanjutnya Prajurit
Salib mengejutkan dan memukul balik pasukan bantuan dari Mesir yang
dinanti-nanti Gubernur Fatimid. Prajurit Salib mengkokohkan kendali warga
Kristen di Yerusalem, meskipun banyak kota pelabuhan masih berada dalam kendali
Muslim. Kebanyakan Prajurit Salib kemudian pergi kembali ke rumah setelah
merasa bahwa tujuan dan kaul mereka telah tercapai.
Sebagai hasil dari Perang
Salib pertama, telah terbentuk empat negara bagian Kristen dari wilayah yang
telah direbut Prajurit Salib: Kerajaan Jerusalem terdahulu, Principality
Antioka (Prinsipality = daerah yang dikuasai pangeran/prince), Countship Edessa
(Countship = daerah dalam kekuasaan Count. Count = semacam bangsawan) dan
Countship Tripoli. Negara-negara bagian ini, yang menggunakan sistem feodal
dalam konteks yang terlepas dari permusuhan lokal seperti yang terjadi di
Eropa, telah disebut-sebut sebagai model administrasi Medieval. Namun, hubungan
antara negara bagian, kekaisaran Byzantine dan daerah Muslim disekitarnya
sering rumit.
Untuk mempertahankan
negara-negara bagian baru ini, sebuah pasukan baru terbentuk –ordo-ordo
Ksatria, seperti Hospitaleer oleh St John dari Yerusalem dan Templars. Ini
adalah kelompok ksatria yang berkaul religius dan melakukan aturan-aturan
religious.
Untuk suatu saat
negara-negara bagian akibat Perang Salib berkembang. Seiring dengan waktu,
negara-negara bagian tersebut membesar meliputi kota-kota pelabuhan yang
ditinggal dan tidak diakui oleh siapapun sebagai daerah kekuasaan. Meskipun
begitu, negara-negara bagian tersebut masih lemah. Pada 1144 negara bagian
utara Edessa ditawan oleh Pasukan Muslim.
Perang Salib Kedua
(1146-1148)
Sebagai respon, Paus Eugenus
III memanggil Perang Salib baru, yang diserukan di Prancis dan Jerman oleh St.
Bernard dari Clairvux. Raja Perancis, Louis VIII, dan istrinya, Eleanor dari
Aquitaine, segera merespon, meskipun Kaisar Jerman, Conrad III, harus dibujuk.
Kaisar Byzantine saat itu, Manuel Comnenus, juga mendukung Perang Salib,
meskipun dia tidak menyumbangkan pasukannya.
Meskipun pada suatu waktu
Perang Salib ini melibatkan pasukan terbesar, Perang Salib kedua ini tidak
diikuti oleh antusiasme seperti antusiasme pada Perang Salib yang pertama,
karena pada saat itu Yerusalem masih dikuasai Kristen. Jalannya kampanye kedua
ini juga dipenuhi kepentengan-kepentingan dari pihak yang terlibat, yang
kesemuanya menghambat kemajuan. Kesulitan perjalananjuga semakin menambah
kesulitan. Ketika tidak mampu untuk sampai ke Edessa, para Prajurit Salib
berkonsentrasi untuk mengambil alih Damaskus. Tapi konlik intern membuat mereka
mengundurkan diri.
Kegagalan dari Perang Salib
kedua begitu mematahkan semangat, dan banyak di Eropa merasa bahwa Kekaisaran
Byzantine merupakan halangan dalam mencapai kesuksesan. Kegagalan ini juga
merupakan tiupan moral yang kuat bagi Pasukan Muslim yang telah berhasil secara
sebagian mengurangi kekalahan mereka di Perang Salib pertama
Posisi dari negara bagian
para Prajurit Salib saat itu lemah, dan di tahun tahun selanjutnya mereka
dikelilingi oleh kekuatan Muslim yang telah berkonsolidasi yang diikuti oleh
hancurnya Kalifah Fatimid di Mesir.
Meskipun saat itu ada
gencatan senjata dengan Komandan Muslim, Saladin, gencatan tersebut pecah pada
1887. Pada saat krisis suksesi di kerajaan Yerusalem, sebuah karavan Muslim
diserang, dan Saladin me-respon dengan menyatakan Jihad.
Pasukan Latin mengalami
kekalahan yang memalukan pada Tanduk Hattin (Sebuah formasi geologis yang
menyerupai dua tanduk di perbukitan), dan Saladin kemudian meneruskan dan
mengambil alih Tiberias dan kota pelabuhan Acre sebelum menyerang Yerusalem,
yang jatuh pada 2 Oktober. Pada 1189, hanya ada beberapa negara bagian yang
masih dikuasai kaum Kristen.
Perang Salib Ketiga
(1188-92)
Seiring dengan jatuhnya
Yerusalem, Paus Gregory VIII menyerukan Perang Salib ketiga. Sayang waktunya
bersamaan dengan matinya raja-raja yang pertama kali menjawab panggilan.
Raja pertama yang menjawab
seruan tersebut adalah William II dari Sisilia. Dia mengirimkan armada ke Timur
tapi kemudian mati pada 1189. Henry II dari Inggris setuju untuk
berpartisipasi, tapi juga mati di tahun yang sama. Kaisar Jerman, Frederick
Barbarossa, yang telah ber-rekonsiliasi dengan Gereja (setelah sebelumnya
sempat di ekskomunikasi), berpartisipasi dengan memimpin tentara yang besar
yang mengalahkan Pasukan Seljug pada 1190. Tapi bulan berikutnya, Kaisar yang
sudah lanjut ini mati tenggelam saat dia berusaha berenang untuk mengintai.
Dua raja yang akhirnya
memimpin Perang Salib ini adalah Richard I ("Si Hati Singa, Lion-Hearted)
yang gagah tapi falmboyan, keturunan Henry II dan penerusnya. Dan RajaPhilip II
Agustus dari Prancis.
Dalam perjalanan ke Tanah
Kudus, Richard I berhenti di Cyprus dan saat itu dia diserang oleh Pangeran
Byzantine Isaac Comnenus. Ricahrd I kemudian mengalahkan sang Pangeran dan
mengambil alih pulau tersebut sebelum berlayar ke kota pelabuhan Acre yang
diserang oleh Prajurit Salib.
Denagn datangnya bala
bantuan, kota pelabuhan Acre akhirnya bisa direbut dan pasukan Muslim akhirnya
menyerah. Philip II kemudian merasa kaul Perang Salibnya terpenuhi dan kembali
ke Prancis
Saladin kemudian setuju
untuk menukarkan tawanan dengan relikui dari Salib yang asli. Persetujuan ini
kemudian pecah ketika Richard memasalahkan pemilihan tawanan yang akan
dikembalikan dan kemudian memerintahkan untuk menghukum mati tawanan Muslim dan
keluarganya.
Richard berkehendak untuk
menekan ke Yerusalem dan berhasil mendapatkan beberapa kota, termasuk Jaffa,
tapi pada akhirnya tidak mampu mencapai Kota Suci. Hubungannya dengan Saladin
akrab. Keduanya sepertinya saling menghormati. Pada akhir 1192 keduanya
menandatangani perjanjian damai 5 tahun yang mengijinkan Umat Kristen memiliki
akses ke temapt kudus. Daerah kekuasaan Kristen di Tanah Kudus saat itu telah
berkurang menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang terdiri dari kota pelabuhan
besar.Sumber
Komentar
Posting Komentar