TUHAN?
Is God willing to prevent able but not able?
Then He is not omnipotent
Is He able but not willing?
Then He is malevolent
Is he both able and willing?
Then whence cometh evil?
Is He neither able nor willing?
Then why call Him God
Epicurus
Pagi yang cerah, salah satu ruangan kelas di sebuah universitas ternama hampir penuh dengan para mahasiswa. Riuh canda para mahasiswa yang bicara satu sma lain itu surut perlahan, digantikan keheningan tatkala sang dosen melangkah masuk ke ruang kelas. Sang dosen itu adalah seorang professor filsafat, pria enam puluhan tahun yang juga menjabat guru besar di perguruan tinggi itu.
Untuk ukuran pria berumur enam puluhan tahun, professor tersebut terlihat sangat sehat. Badannya yang tinggi tegap dan bahunya yang lebar membuat setelan jas yang ia kenakan pagi itu terlihat sempurna. Kebiasaan olahraga yang sering sang profesor lakukan membuatnya tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Tidak seperti kebanyakan orang tua yang biasanya mengalami kebotakan karena sering berpikir, rambut sang profesor yang berwarna perak itu tumbuh lebat. Di beberapa bagian terlihat sedikit uban, namun itu justru menambah kharismanya sebagai orang yang memiliki isi otak yang tidak bisa dianggap remeh.
Untuk
sesaat mata sang professor menyapu seisi kelas. Sedikit guratan senyum menghiasi wajah tuanya ketika memandangi para mahasiswanya yang sibuk
membolak-balik buku masing-masing tanpa keinginan untuk mengetahui isinya.
Anak-anak sekarang.... batin Sang professor.
Anak-anak sekarang.... batin Sang professor.
“Pagi
ini kita akan bicara tentang Tuhan.. Soal Ketuhanan selalu jadi topik yang
menarik bukan?” Sang professor memecah keheningan. Para hadirin serentak
tunjukkan wajah bosan, beberapa terdengar sedikit mengeluh dan tak berminat.
Bahasan
yang berat di pagi yang cerah.
“Jadi, kau percaya pada Tuhan?” Pandangan
professor tertuju salah seorang pada mahasiswanya.
“Tentu
Pak,” sang mahasiswa menjawab sambil mengangguk.
“Apakah
Tuhan baik?”
Sang
mahasiswa kembali mengangguk sambil menggerutu dalam hatinya. Ada apa dengan professor ini, tentu saja Tuhan itu baik
“Tuhan
itu Maha Kuat?” Profesor kembali bertanya.
“Ya
Pak. Tuhan itu Maha Kuat.”
“Salah
seorang saudaraku..” mata professor sedikit menerawang, melihat ke luar
jendela. “Ia meninggal karena kanker meskipun ia berdoa siang malam pada Tuhan
agar disembuhkan. Kami sekeluarga juga berusaha keras agar saudaraku itu dapat
seperti sedia kala. Tapi Tuhan tidak melakukan apa-apa. Bagaimana kalian dapat
berpikir Tuhan itu baik?”
Mata
sang professor kembali menyapu seluruh kelas, yang laksana tombak mengancam para mahasiswanya yang
diam mematung.
“Kalian
tidak bisa jawab, kan? Ayo kita mulai lagi. Sekarang jawab pertanyaan saya,
apakah Tuhan itu baik?”
Tak
ada yang menjawab, kecuali anggukan seorang mahasiswa yang duduk di sudut balakang ruangan.
“Apakah
setan itu baik?” professor kembali menantang.
“Tidak!”
Sang
professor mencari asal suara, dan tersenyum sumringah tatkala menemukan sesosok wajah serius di sudut belakang ruangan. Anak muda yang polos,
pikirnya.
"Siapa namamu, anak muda?"
"Purwo, Prof?" jawab sang mahasiswa itu.
"Nama yang unik, engkau orang Asia?"
"Benar, Prof. Indonesia,"
"Siapa namamu, anak muda?"
"Purwo, Prof?" jawab sang mahasiswa itu.
"Nama yang unik, engkau orang Asia?"
"Benar, Prof. Indonesia,"
“Oh, negara yang indah... Ok, Purwo, engkau bisa jelaskan dari
mana Setan berasal?” Pandangannya kini menatap lurus pada sang mahasiswa.
“Uhmmm, dari…..Tuhan?,”
“Kau
benar,” suara professor terdengar teduh, mungkin karena melihat Purwo sedikit bingung.
“Sekarang beritahu saya, apakah ada yang namanya kejahatan di dunia ini?”
“Sekarang beritahu saya, apakah ada yang namanya kejahatan di dunia ini?”
“Ya,” suara Purwo sedikit tertahan. Kini hawa ruangan mulai menghangat seiring perhatian seisi kelas yang kini tertuju pada sang profesor dan mahasiswa yang menempati bangku paling belakang di ruangan yang besar itu.
Seorang mahasiswa yang mengenakan kacamata berbingkai gading berbisik pada teman yang duduk di sampingnya, "Profesor ini, dan kebanyakan mahasiswa yang mengikuti kuliahnya bukan jenis orang yang percaya pada Tuhan, apalagi untuk berdoa tiap hari. Lantas kenapa bahasannya pagi ini tentang Tuhan?"
"Entahlah," seloroh temannya itu tanpa menoleh, "kita lihat saja nanti."
Seorang mahasiswa yang mengenakan kacamata berbingkai gading berbisik pada teman yang duduk di sampingnya, "Profesor ini, dan kebanyakan mahasiswa yang mengikuti kuliahnya bukan jenis orang yang percaya pada Tuhan, apalagi untuk berdoa tiap hari. Lantas kenapa bahasannya pagi ini tentang Tuhan?"
"Entahlah," seloroh temannya itu tanpa menoleh, "kita lihat saja nanti."
****
Keheningan
kembali melanda kelas. Bahkan pena yang
diketuk-ketukan ke meja pun terdengar sangat nyaring, laksana gong yang ditabuh
keras-keras. Namun dalam keheningan tersebut, jauh di dalam alam pikir para mahasiswa yang mulutnya terkatup rapat di hadapan sang profesor, sebuah tanda tanya mulai
menyeruak menggelitik imaji mereka. Benarkah Tuhan itu ada? Lantas, apa itu Tuhan? Ataukah itu hanya
repsentasi dari keterbatasan pengetahuan manusia di masa lalu ketika menyadari
eksistensinya di satu sisi dan di sisi lain berhadapan dengan kompleksnya dunia
dan segala isinya? Entahlah...
Di sudut ruangan kelas yang didisain seperti balkon itu, Purwo termenung sesaat meski perhatiannya masih pada tertuju pada sang profesor yang baru saja menyerangnya dengan gencar. Wajahnya yang khas asia dan kulitnya yang agak coklat membuat ia begitu tampak berbeda dari semua orang yang hadir di ruangan tersebut yang kebanyakan adalah orang-orang Eropa. Purwo sebenarnya adalah seorang pastur Yesuit yang ditugaskan ordonya untuk mengambil gelar doktor sesaat setelah ia ditahbiskan menjadi seorang imam. Meski ia lebih tertarik untuk menjadi misionaris dan berharap ditugaskan di negara-negara Afrika atau Asia, namun keputusan Ordo untuk menjadikannya seorang dosen filsafat telah mengantarnya ke ruangan dimana ia duduk sekarang.
Pertanyaan-pertanyaan sang profesor tentang Tuhan kembali membawa ingatannya ketika masih mengikuti pendidikan di Seminari Tinggi. Dalam suatu kesempatan, Dosen filsafat Purwo pernah menerangkan bahwa kesadaran manusia akan eksistensinya itu menggiringnya untuk melihat bahwa eksistensinya dipengaruhi oleh tiga sifat; faktisitas, transendensi dan kebutuhan untuk mengerti. Faktisitas berarti, bahwa eksistentsi selalu nampak di depan kesadaran manusia sebagai sesuatu yang sudah ada. Sedangkan transendensi pada eksistensi manusia merupakan sifat yang nampak secara langsung dalam kesadaran manusia bahwa ia manusia, bukan hanya sekedar tubuh yang nampak dalam ruang dan waktu bersama “ada” yang lain, namun manusia adalah makhluk yang dapat melampaui dirinya melebihi dari batas ruang dan waktu dalam kesadarannya. Keberadaan kebutuhan untuk mengerti merupakan modus yang paling jelas dari transendensi kesadaran manusia. Termasuk dalam kesadaran ini adalah bahwa manusia selalu terdorong untuk selalu mempertanyakan hakikat dirinya dan dunianya. Karena hal inilah kemudian menimbulkan suatu pertanyaan mengenai dari mana ia dan dunianya berasal.
Pertanyaan-pertanyaan sang profesor tentang Tuhan kembali membawa ingatannya ketika masih mengikuti pendidikan di Seminari Tinggi. Dalam suatu kesempatan, Dosen filsafat Purwo pernah menerangkan bahwa kesadaran manusia akan eksistensinya itu menggiringnya untuk melihat bahwa eksistensinya dipengaruhi oleh tiga sifat; faktisitas, transendensi dan kebutuhan untuk mengerti. Faktisitas berarti, bahwa eksistentsi selalu nampak di depan kesadaran manusia sebagai sesuatu yang sudah ada. Sedangkan transendensi pada eksistensi manusia merupakan sifat yang nampak secara langsung dalam kesadaran manusia bahwa ia manusia, bukan hanya sekedar tubuh yang nampak dalam ruang dan waktu bersama “ada” yang lain, namun manusia adalah makhluk yang dapat melampaui dirinya melebihi dari batas ruang dan waktu dalam kesadarannya. Keberadaan kebutuhan untuk mengerti merupakan modus yang paling jelas dari transendensi kesadaran manusia. Termasuk dalam kesadaran ini adalah bahwa manusia selalu terdorong untuk selalu mempertanyakan hakikat dirinya dan dunianya. Karena hal inilah kemudian menimbulkan suatu pertanyaan mengenai dari mana ia dan dunianya berasal.
"Dalam filsafat ketuhanan, pertanyaan ini akan
bermuara pada wilayah mengenai eksistensi Tuhan. Persoalan mengenai eksistensi
Tuhan, walau kadang suka melingkar pada pengulangan kata “ada dan tiada”, namun
dapat diterangkan dengan beberapa argumentasi, yakni: argumentasi ontology,
teologi dan kosmologi. Pendekatan ontology lebih bersifat apriori, yang
mencakup tentang pengetahuan mistik dan kesadaran manusia, sedangkan
argumentasi teologi dan kosmologi merupakan argumentasi yang bersifat aposteriori," jelas dosen filsafat yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Purwo dan para frater lainnya.
Setiap
yang “ada” memiliki eksistensinya, dan yang bereksistensi pasti memiliki sebab
keberadaannya dalam mengada untuk sebuah “ada” dari eksistensinya. Oleh karena
hal itu, alam semestapun memiliki sebab dari bermulanya. Pengejaran sebab atau
alasan inilah yang menjadi kajian hangat dalam argumentasi sebuah penciptaan,
baik dari kalangan filsafat ataupun saintis.
*****
Keheningan yang aneh masih menyelimuti kelas. Sepatu sang profesor yang beradu dengan lantai kala ia melangkah mengitari kelas menghasilkan bunyi yang mengancam tiap hati di ruangan itu. Sang professor kembali menatap Purwo yang mematung di sudut ruangan kelas.
“Kejahatan
di mana-mana. Dan… Tuhan menciptakan segala sesuatu, kan? Beritahu saya sekarang,
siapa yang menciptakan kejahatan?”
“Apakah ada penyakit? Keburukan? Kemarahan? Singkatnya semua hal buruk
yang ada di dunia?”
“Ya
Pak,” beberapa mahasiswa terdengar menjawab.
“Jadi,
siapakah yang menciptakan itu semua?”
Professor
tersenyum lebar, merasa di atas angin sekaligus tertawa di dalam hati melihat
seluruh mahasiswanya membatu dalam kebingungan. “Ilmu
pengetahuan berkata, saya dan kalian semua yang ada di kelas ini memiliki lima
indera untuk mengidentifikasi segala hal sesuatu yang ada di dunia ini.
Beritahu saya, adakah salah satu dari kalian yang pernah melihat Tuhan?”
“Apakah
kalian pernah mendengar Tuhanmu?”
“Apakah
kalian pernah merasakan, mencoba, mencium Tuhan? Apakah kalian pernah merasakan
sensor persepsi kepada Tuhan untuk setiap masalahyang kalian yang kalian alami?”
“Tidak
Pak, saya rasa saya belum pernah,” seorang mahasiswa lain menjawab pertanyaan
professor.
“Jadi
kalian masih percaya padaNYA?” tatapan professor menohok langsung kepada Purwo.
“Ya,”
“Menurut
ilmu pengetahuan yang berbasis rumus empiris TUHAN tidak ada. Bagaimana menurut
kalian?” Professor terus menyerang.
Purwo tersenyum. “Tidak Pak. Saya hanya punya kepercayaan.”
“Ya,
percaya…” raut muka professor menampakkan keputusasaan, “ini adalah masalah
dalam dunia sains.”
Paham tentang
Ketuhanan, baik Theisme maupun Deisme sama-sama meyakini bahwa Tuhan-lah yang
menciptakan dunia ini. Meskipun secara prinsip antara Theisme dan Deisme sangat berbeda.
Teisme beranggapan bahwa Tuhan adalah transenden sekaligus immanen, sedangkan
Deisme berpandangan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam ini kemudian
membiarkannya secara mekanis berjalan sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan lagi.
W Leibniz adalah salah satu tokoh yang berperan penting
dalam perjalanan sejarah mengenai filsafat ketuhanan ini. Pria bernama lengkap Gottfried Wilhem von Leibniz ini lahir pada 1 Juli 1646 di kota Leipzig, Sachsen.
Ayahnya bernama Friedrich Leibniz menjabat sebagai professor filsafat moral di
Universitas Leipzig. Ibunya, Catharina Scmuck, adalah ahli hukum. Meski Ayah Leibniz meninggal pada saat ia berusia
6 tahun, namun kepintaran sang ayah diturunkan kepadanya. Leibniz pun masuk Universitas Leipzig sebagai mahasiswa hukum. Pada tahun
1663 ia telah menyelesaikan program sarjananya, dan tiga tahun brselang, ia
memperoleh gelar doktornya.
Dalam teorinya tentang Eksistensi Allah dalam Argumentasi
Kosmologis, Leibnez melihat Eksistensi Alam Semesta sebagai “Ada” yang kontingen menerima adanya penyebab mundur yang tidak terbatas. Ia tidak
tergantung pada permis penolakan suatu sebab mundur yang tak terbatas. Selain
itu, baginya dunia atau alam semesta adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari
pengada-pengada yang bersifat kontingen. Rangkaian dari pengada-pengada
terhubung dengan kejadian-kejadian. Karena itu, dunia sebagai suatu
keseluruhanpun bersifat kontingen.
Bagi Leibniz, adanya suatu eksistensi pengada selalu membutuhkan penjelasan
dari eksistensinya. Dalam suatu rangkaian terjalin relasi kausalitas langsung
antara pengada yang lebih awal dan pengada yang seterusnya. Leibniz juga
memberikan batasan bagi pengada-pengada dalam suatu rangkaian untuk sampai pada
penjelasan penuh atas keberadaanya.
Lalu bagaimana menjelaskan adanya suatu pengada yang menyebabkan
seluruh pengada-pengada dapat ada, jika segala yang ada adalah kontingen?.
Jalan keluar yang diambil Leibniz adalah bahwa pengada itu haruslah berada di
luar rangkaian, karena setiap rangkaian tidak dapat memberikan penjelasan pada
dirinya sendiri. Adanya eksistensi ini harus dijelaskan dalam suatu aktivitas
kausal dari pengada di luar rangkaian tersebut. Karena itu haruslah ada suatu
pengada yang niscaya, yang oleh Leibniz disebut sufficient reason. Setiap
pengada harus memiliki prinsip ini sebagai jaminan eksistensinya.
Sayang,
sang profesor bukanlah termasuk golongan mereka yang menyakini keberadaaan
Tuhan. Itu sebabnya ia menganggap teori Leibniz ataupun tokoh tokoh filsafat
ketuhanan lainnya tidak lebih dari sebuah bualan belaka. Sebagai seorang Atheis, ia lebih cenderung meyakini pendapat para filsuf
Pra-Sokratik dan Kaum Sofis yang menganggap Tuhan atau para dewa tidak lebih rekaan pihak penguasa untuk menakut-nakuti para penjahat dan pelanggar
ketertiban.
Sang profesor juga menganggap dirinya adalah seorang
Naturalis. Petualangannya dalam mendalami ilmu pengetahuan selama puluhan tahun telah mengantar ia pada satu
kesimpulan bahwa apa yang dialami
manusia bukan karena kekuatan-kekuatan gaib melainkan pada kekuatan diri
sendiri yang membuktikan diri dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Sebagaimana Karl Max yang menciptakan paham komunisme, ia`menganggap
agama tidak lebih dari candu yang telah membuat manusia ‘terlena' dalam
kemalasan yang fatal selama berabad-abad. ISang profesormenganggap agama harus digantikan
dengan ilmu pengetahuan.
Aguste Comte yang hidup antara 1798 hingga 1857 adalah salah satu
idola sang profesor. Bapak aliran positivisme ini memandang bahwa manusia berkembang melalui hukum tiga tahap dalam kesempurnaannya. Tahap pertama
adalah tahap teologis, tahap kedua adalah metafisik dan tahap ketiga adalah menjadi manusia positiv yang rasional. Pada tahap
ketiga ini, manusia dipandang tidak perlu lagi membutuhkan Tuhan.
****
Sang
professor masih membiarkan
para mahasiswanya berpikir. Ia pun kembali ke mejanya setelah hilir mudik
berjalan di antara hadirin sembari melontarkan pertanyaan-pertanyaan skeptic
tentang Tuhan. Tangan tuanya kembali membolak-balik buku. Serangan pamungkas, pikirnya dalam hati.
“Prof?”
suara Purwo menggema memecahkan kesunyian “boleh saya bertanya?”
“Tentu
saja, anak muda. Apapun, asal jangan soal cucu perempuanku,” sang professor
berusaha melucu namun tak ada yang
berusaha tertawa.
“Apakah
ada yang di sebut sebagai ‘panas’?”
“Tentu
saja,”
“Lalu
apakah ada yang namanya ‘dingin’?”
“Ya..”
Sang professor mengereyitkan kening. Pertanyaan
macam apa itu?
Mahasiswa
itu bangun dari tempat duduknya. “Tidak Pak. Tidak ada yang namanya dingin.”
“Lanjutkan nak,”
sang professor penasaran apa yang akan dilontarkan Purwo. Walau sepintas, ia bisa
melihat sepercik cahaya di kedua mata mahasiswanya. Entah apa itu, namun hal tersebut telah membuatnya penasaran sejak menit pertama kelas dimulai. Kini anak
muda itu mulai berbicara, dan untuk pertama kalinya sang professor merasa
sangat antusias.
“Pak, kau bisa
mempunyai banyak panas, lebih banyak lagi, super panas, mega panas, sedikit
panas, atau tidak ada panas sama sekali, tapi kita tidak punya apa yang disebut
dingin. Kita bisa menyentuh 458 derajat di bawah 0
yang artinya tidak ada panas, tapi kita tidak bisa melebihinya setelah itu.
Tidak ada yang namanya dingin. Dingin adalah kata kata yang kita ucapkan untuk
mendeskripsikan ketiadaan panas. Kita tidak bisa mengukur dingin.Panas adalah energi, dan dingin bukanlah kebalikan dari
panas, Prof. Hanya ketiadaan panas,”
Sang professor
mengerenyitkan kening.
“Lantas bagaimana
dengan gelap Professor? Apakah ada yang disebut dengan gelap?” Purwo kembali bertanya.
“Tentu saja.
Bagaimana kau mendeskripsikan gelap bila tidak ada gelap?”
“Maaf Prof, tapi
cara berpikir Anda salah. Gelap adalah absennya sesuatu. Anda bisa mendapatkan sedikit cahaya, atau cahaya
normal yang membuat mata Anda melihat dengan baik, atau
cahaya terang yang membuat
silau. Tapi bila anda tidak punya terang, kau akan
menamakan itu gelap. Intinya, tidak ada yang namanya kegelapan.
Bila ada yang dinamakan gelap, bukankah kita akan
bisa membuat gelap menjadi lebih gelap?”
“Jadi,
apa maksudmu anak muda,” kini sang professor merasa
ditantang. Siapa anak muda Asia bernama aneh ini sehingga menganggap professor telah salah
berpikir. Si anak muda itu pasti akan tercengang jika mengetahui berapa ratus buku
yang telah dilahap professor, berapa kali ia telah diundang sebagai pembicara
dalam konferensi-konferesi besar di seluruh dunia, atau berapa jurnal atau
bahkan buku yang telah ditulus profesor itu
“Prof,
maksudku adalah alasanmu cacat...”
Kini sang
professor benar-benar tersinggung mendengar seorang anak ingusan menanggap
argumentasinya cacat. “Cacat?
Bisakah kau menjelaskannya?”
“Maaf sebelumnya
Prof, namun seperti inilah yang Anda
lakukan,” Purwo itu melanjutkan. “Kau berargumentasi bahwa ada kehidupan
dan kematian, Tuhan yang baik dan yang jahat. Kau melihat bahwa Tuhan mempunyai
batasan, yakni sesuatu
yang bisa kita ukur. Ingat, Prof, bahkan ilmu pengetahuan
pun bahkan
tidak bisa menjelaskan apa itu “perasaan”. Meskipun sains berusaha
menjelaskan bahwa perasaan itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan
elektrisitas dan magnetic, tapi hal itu tetap saja
tidak pernah terlihat, dimengerti oleh setiap orang. Demikian pula, melihat
kematian sebagai lawan dari kehidupan adalah suatu bentuk ketidak pedulian terhadap kenyataan bahwa kematian tidak dapat
eksis sebagai hal yang substantif. Kematian bukanlah lawan dari kehidupan:
hanya ketiadaan dari itu.Sekarang, ceritakan padaku professor. Apakah kau
mengajar muridmu yang berevolusi dari monyet?”
“Jika
maksudmu adalah proses teori evolusi, ya, tentu
saja” professor terdengar asal biacara agar tak
terlihat seperti didikete oleh mahasiswanya.
“Apakah
kau pernah mengobservasi evolusi dengan matamu sendiri, pak?” pertanyaan Purwo kini terdengar seperti tombak
yang siap menghujam. Sementara itu sang professor mengangkat bahu dengan senyum
tersungging di mulutnya, dan mulai menyadari kemana argumen ini bergerak.
“Karena
belum ada yang mengobservasi proses evolusi dan tidak ada yang dapat
membuktikannya, tidakkah kau mengajarkan opinimu sendir, Prof? Kalau begitu kau bukanlah ilmuwan
tapi seorang pendeta,”
Kelas kini gempar. Suara gumam dari siswa yang melihat satu sama lain memenuhi udara. Tidak jelas
apa yang mereka bicarakan, namun sebagian besar terlihat mengangguk-angguk kepala sebagai tanda mengamini pernyataan kawan kelas mereka yang
kini berdiri di garis depan berhadapan dengan sang profesor.
“Apakah
di kelas ini ada yang pernah melihat otak professor?” Suara mahasiswa kini menggelegar bagai guntur.
Kelas-tiba-tiba menjadi senyap sesaat, lalu menjadi riuh lantaran pecah suara
tawa karena pertanyaan yang baru saja terlontar terdengar begitu menggelikan.
Sang professor
merasa tubuhnya menciut di atas podium. Ia begitu gentar hingga para siswa yang
duduk dihadapannya terlihat bagai sekumpulan raksasa yang tertawa menggelegar
sembari menunjuk ke arahnya. Apa ini? Semua yang dibangunnya selama
bertahun-tahun, semua pengetahuan yang iabaca dari berbagai buku yang telah
mengantarnya pada penolakan akan Tuhan, seolah runtuh oleh ocehan seorang anak
ingusan. Dan ocehan tersebut kini terdengar seperti suara seorang maha guru
yang tengah membagi pengetahun sucinya.
“Apakah
ada yang pernah mendengar, merasakan, menyentuh atau mencium otak professor?
Karena kelihatannya belum ada, jadi menurut rumus empiris, stabilitas, pembuktian
protocol, sains mengatakan bahwa kau tidak mempunyai otak, Pak. Dengan segala hormat Pak, bagaimana cara kami mempercayai
ajaranmu?"
Ruangan kembali
senyap. Semua terdiam. Gelak tawa kini berganti dengan kesadaran.
Sang professor melihat
kepada muridnya
“Ya… saya pikir
saya percaya akan bahwa saya punya otak,
nak...”
“Itulah maksudku Pak… cara menghubungkan manusia dan Tuhan
adalah dengan cara PERCAYA. Itulah yang membuat semua ini
tetap bergerak dan hidup,”
*********
PS: sebuah cerita lama dengan sedikit tambahan dari googling
Komentar
Posting Komentar