Our Daily Life...

tiiiiiittt...tiiiiiiitttttttt...tiittttttttttt
Weker berteriak kencang saat jam menunjukkan tepat pukul 07.00 pagi. Tidur nyenyak di pagi itu terpaksa harus disudahi. Sebuah hari baru menyongsong. Actually, it's just like another ordinary day.
Evi rupanya sudah bangun dari tadi. Sudah mandi juga. Sekarang dia lagi asyik sendiri depan cermin menyapu wajahnya dengan sedikit bedak, sedikit gincu, sedikit eye shadow, dan tetek bengek wanita yang lain...

"Sayang, bangun.." katanya sambil menggoyang-goyangkan saya yang masih bermalas-malas di tempat tidur.
"Lima menit lagi.." saya menguap.. masih mengantuk... semoga lima menit ini memberi saya kekuatan seperti setelah tidur lima jam... I wish hahahahaha.
"Bangunnnnn 'ntar telat," kali ini goyangan semakin kuat.
Saya bangun, dengan enggan tentunya. Masuk ke kamar mandi, dan...... byar byur byar byur.... tiga menit kemudian, selesai.

Sedikit intermezo tentang kami, hehehehe...
Saya dan Evi adalah pasangan suami-istri muda. Hingga saat ini, usia perkawinan kami adalah 79 hari, 18 jam, 34 menit, dan 56 detik. (Perhitungan ini berdasarkan waktu  saat saya mengetik huruf terakhir di kata'detik'). Karena sama-sama bekerja di Jakarta kami pun tinggal di Jakarta. (ya eyaa laah, mana mungkin tinggal di Makassar!) Sebagai pasangan muda, kami masih belajar, mencari ritme dan irama yang tepat dalam mengarungi kehidupan sembari perlahan-lahan membangun fondasi keluarga (toe fondasi watu' eee,). Karena masih berdua saja (belum bertiga apalagi berempat), kami memutuskan tetap nge-kost walau sudah berkeluarga. Kenapa kost? kenapa tidak cari kontrakan? Jawabannya, kost lebih mudah, murah dan ga ribet. Contoh: jika ngontrak rumah, selain bayar sewa, Anda bakal disibukkan dengan bayar listrik, bayar sampah, bayar uang keamanan, lapor di RT, sosialisasi dgn tetangga biar tidak bilang sombong, de el el. Sorry pal, I don't have time for those kind of shit. Makanya untuk saat ini, nge-kost aja, tinggal bayar uang sewa... dan jalanin hidup

Sampe dimana tadi? hihihi
Setelah saya mandi dan siap seluruhnya, sempatkan diri do'a sebentar. Biasanya, untuk do'a pagi, ibu Evi yang pimpin. Giliran saya do'a malam, hehehehe. Doanya yang gampang saja, tinggal buka buku Puji Syukur dan baca dari situ. hehehehhe
Tibalah saat yang paling menjengkelkan, mengarungi buasnya jalanan ibu kota mencapai tempat kerja. Biasanya di jalan saya serentak berubah jadi preman, hehehehe, Reseh, Bantai!!! Musuh saya biasanya sopir-sopir mikrolet M11 atau 09 yang hobi ngetem (berhenti) sembarangan. Udah tau macet, sempet-sempetnya nyalip. ckckckckckc, dasar cacad!! makian a la Manggarai pun keluar dari mulut saya yang gemes lihat sopir angkot berlagak pembalab.

"P**i M*i!!! minggirrrrrr!!!!" teriak saya sambil berusaha cari celah untuk melaju ke depan.
"Heh... ga boleh!!! Malu tauu!!" Evi yang sedari tadi di belakang saya jadi marah sambil tangannya mencubit pinggang saya. Paling benci dia mendengar saya berteriak. Sebaliknya di jalan saya hobi berteriak, hehehehehe, kacaw...

Tiap pagi rutenya sama. Dari arah Palmerah melewati perempatan Slipi, tembus ke daerah petamburan hingga depan Stasiun Tanah Abang yang setiap pagi ramainya mirip pasar malam....lanjut terus melewati flyover Jatibaru terussssss...terussss lagi,  belok kanan... eh kiri... masuk jalan Abdul Muis ke kantornya Evi. Dari situ, sendirian saya melaju lewat pusat grosir Tanah Abang...terus sampai Pejompongan dari belakang hingga samapi ke Benhil.

kerja..kerja... skip...skip...

Waktu pulang kerja, saya melewati jalan Sudirman ke arah Tahmrin. Biasanya jalan itu agak sepi, sementara arah sebaliknya pasti padat merayap saat jam pulang kantor.

Ada kebiasaan yang sering saya lakukan ketika masuk jalan Tahmrin. Di jam-jam tertentu, lampu lalulintas di perempatan Sarinah, perempatan Kebon sirih, dan putaran air mancur belakang BI bisa jadi hijau secara bersamaan. Biasanya, saat memasuki Tahmrin, motor saya pacu pelan-pelan, menunggu kejadian langkah itu muncul. And then.... hijau semua!!!! ndreeeeeeeeeeeeeeennnn motor melaju 80km/jam melewati dua perempatan tanpa henti dan kemudian berbelok tajam di air mancur bealakang BI menuju Budi Kemuliaan, ketemu pertigaan, lanjut ke Abdul Muis. Jemput sang istri terkasih... hehehehehe

Perjalanan pulang adalah hal paling menjengkelkan, melelahkan sekaligus asyik juga. Menjengkelkan karena pasti (80 persen) macet..cet! Melelahkan? Bayangkan saja bagaimana mengendarai motor kopling manual di tengah kemacetan. Kalau Anda tidak merasa capek, Selamat, Anda adalah manusia super. Segera saja daftar ke League of Extraordinary Gentlemen...hehehehhe.

Lantas, kenapa mengasyikan? Karena saya dan evi sering terlibat obrolan di momen kemacetan itu, walau tidak jarang masing-masing dari kami tidak bisa mendengar satu sama lain dengan jelas karena suara kami tenggelam dalam deru kendaraan sekitar yang meraung-raung tanpa henti. Banyak hal yang biasa kami bicarakan saat itu. Rencana masa depan, pengalaman di tempat kerja, tentang kehidupan, dan banyak lagi.. asyik to? hehehehe

Sebelum sampai kost, singgah warung sebentar, beli makan malam...Kalau Evi sedang berbaik hati, dia masak. Sambil makan, menikmati telenovela kesayangan (Evi), Sinha Mocca. Apa itu Sinha Mocca? Coba ingat.... awal 90-an di TVRI.... hari minggu...jam 12-an... ada Kolonel Fereira Baron penguasa Araruna yang kejam, Ny Kandida, Nn. Missy, Rodolfo Fontes, sang pahlawan bertopeng beserta adikya yang gila Ricardo.... Anna gadis bercadar.... Pendeta Jose...budak belian... perkampungan budak... perserikatan persaudaraan.... Gusto, Bastio, Fulgensio, Ruth, Virginia, Adelith ... anak haram Raphael aka Dimas yang terus saja diharapkan cintanya oleh Yuliana.... Sudah ingat? yeep telenovela itu. Tapi versi baru.

sudah'ee cape ketik...
Foto? tirada foto ini tulisan..hehehehehe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

Proyek "Motang Rua"

The Godfathers