Ojek, nana?
Memasuki awal millenium, alias tahun 2000, wajah kota Ruteng sedikit berubah. Perubahan tersebut adalah munculnya moda trasportasi baru yang kemudian bertumbuh bak jamur di musim hujan.
TUKANG OJEK atau istilah kerennya, THE OJEKERS
ojekers, http://img113.imageshack.us |
. Sopirnya jadi stress namun tidak bisa bikin apa-apa. Sebagian masyarakat beralih ke ojek yang lebih cepat dan tentunya bisa antar sampe dimanapun seturut kemauan penumpang.
Namun, munculnya ojek melahirkan (menurut saya) masalah baru. Tidak adanya ciri khusus membuat para ojeker terlihat sama saja dengan pengendara motor biasa lainnya. Tidak sampai disitu saja. Waktu itu siapa saja yang punya motor bisa saja serentak menjadi ojek. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk sekedar dapat uang rokok. Bahkan saya juga sempat melihat motor plat merah yang dipakai buat ojek. hahaha.
Saya sendiri pernah mengalami suatu kejadian aneh bin unik terkait ojek-mengojek ini. Waktu itu kira-kira bulan Juli 2003, ketika membatalkan rencana mengambil Semester Pendek Kuliah dan menghabiskan liburan di Ruteng. Suatu siang, karena merasa bosan tinggal di rumah, saya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar. Kebetulan, tetangga saya punya beberapa motor yang dipakai buat ojek, jadi saya pinjam salah satunya untuk jalan-jalan.
"Oe Gebi, toe ngo ojek hau ko? celong laku motor tah.." pinta saya pada tetangga saya itu. Namanya Gebi, anak bungsunya Om Yoseph Tahbis dan Tanta Gina, hehehehhe.
"Toe ye, oh kunci ne," tukas si Gebi yang siang itu sepertinya terlihat malas untuk mengojek.
"Pisa eme pake satu jam 'ee?"
"Sante kaut tah, isi bensin kaut," Saya tersenyum, sifat Manggaraian, pantang terima bayaran dari teman.
ini bukan motor yg saya pakai waktu itu. hanya untuk ilustrasi saja. |
Bermodalkan motor celong, saya pun keliling kota Ruteng. Pakoknya labok taung kaut laku setiap sudut di kota dingin itu. Dari Carep, tembus Motang Rua, ke arah Katedral lama, Kampung Maumere hitu len, terussss, sampai di relay TV.. belok kanan ke Arah Waso... dan akhirnya turun kembali ke kota lewat Cewo Nikit.
Lagi asyik jalan santai di bilangan Cewo Nikit, saya dikagetkan dengan teriakan panggilan dari seorang bapa tua.
"Ojek...!!!"
Saya bingung. Kebetulan siang itu jalanan sangat sepi dan hanya saya saja yang mengendarai motor. Saya berhenti sejenak. Si bapa tua itu mengejar dan langsung naik ke belakang motor.
"Toko Sentosa, nana'e," Saya makin bingung namun tidak bisa berkilah lagi lantaran sang Bapa sudah bertengger di belakang motor. Do I look like an Ojek? bathin saya. Maybe I do, hahahaha. Anyway, sudahlah... tarikkkkk...
"Asi gelang bail ta nana," si Bapa berkata tatkala motor saya pacu agak cepat. "Cenggo sina lawir cekoen tite to'ong. One Lorong Lawir." Saya menurut saja titah sang bapa tua. Bagaimana pun penumpang adalah raja, hehehehehe.
Saya harus menunggu lima belasan menit di depan sebuah rumah di daerah Lorong Lawir itu. awalnya, sempat terpikir untuk kabur saja, namun tidak enak juga. Akhirnya saya putuskan untuk tetap menunggu sampai si bapa tua itu keluar dari rumah. Perkiraan saya, itu salah satu rumah anaknya.
Akhirnya, si bapa tua pun keluar dari rumah. Hati saya lega. Tanpa banyak kata ia langsung naik ke belakang motor. Saya juga tidak mau banyak bicara dan langsung menghidupkan motor. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu...akhirnya sampai juga di destinasi terakhir bapa tua, Tokoh Sentosa. Entah apa yang hendak ia beli di situ. Mungkin saja keperluan untuk kios, soalnya saya sempat melihat sebuah kios kecil di dekat ia berdiri memanggil saya tadi.
"Kembali lima ribu," si bapa tua menyodorkan selembar sepuluh ribuan. Pada waktu itu, tarif ojek untuk jarak jauh adalah dua sampai tiga ribu. Agaknya ia menambah dua ribu lagi karena ia sadar sudah membuat saya menunggu lama di Lorong Lawir tadi.
Saya menolak halus, "Asi, Om."
Bapa tua jadi bingung, namun kemudian paham kalau dia telah salah mengira kalau saya adalah seorang tukang ojek. Wajah tuanya nampak memancarkan rasa malu, namun tidak berani berkata-kata. Saya gantian yang jadi tidak enak hati.
Bapa tua jadi bingung, namun kemudian paham kalau dia telah salah mengira kalau saya adalah seorang tukang ojek. Wajah tuanya nampak memancarkan rasa malu, namun tidak berani berkata-kata. Saya gantian yang jadi tidak enak hati.
"Toe manga co'on Om, neka pikir lite," Saya berusaha membuat dia nyaman.
"Deee nana, elo, neka keta rabo tite ga, maki'd ojek tite laku bao, neka rabo lite.... Co'o tara toe toi lite du benta laku bao?" Saya tersenyum. Sifat Manggaraian, pantang meyusahkan orang lain. Dia terus saja minta maaf, sementara saya pastikan bahwa saya tidak merasa kesusahan dan merasa senang karena bisa membantunya.
hehe..keren..keren..
BalasHapus