Misi berimbas Dosa (Sebuah kisah masa kecil)
KETAPEL. (http://omtatok.wordpress.com) |
"Oleee.. gelang koe ta!" Kanis mulai tidak sabar. Kedua saku celana saki warna merah-nya sudah menggembung penuh kerikil.
"Gereeeng eee... !!!" Andi Mangkus dan Luis "jae" serentak menjawab. Muka mereka terlihat kesal karena tingkah Kanis yang sudah tidak sabar. Saya dan Kukun terus memunguti kerikil. Sementara Yos "Cobra" sudah siap dari tadi. Kini ia sibuk mengetes keakuratan ketapelnya dengan menembaki batang-batang bambu yang tumbuh di sepanjang sisi setapak itu
Hari ini, Jumat, 28 Juli 1995, pukul 14.05 WITA, satu diantara tiga puluhan hari libur setelah ujian cawu III, kami akan menjalankan misi. Sebuah misi khusus rahasia yang berimbas dosa. hehehehehe..
Amunisi sudah terisi semuanya. Luis, yang paling tua dalam kelompok ini, memastikan perlengkapan untuk secret operation kali ini telah tersedia semuanya.
"Apet, ba le hau ci'e to?" tanyanya kepada saya. Saya mengangguk sambil menunjukkan kantung plastik hitam kecil yang berisi garam dapur.
"Kope?" Luis kembali bertanya, kali ini ia menoleh ke arah Yos yang sibuk menembaki bambu. Ia tampak lega setelah melihat di pinggang Yos terselip sebilah parang.
"laku ata cau'n korek api.."Kata Kanis girang karena sebentar lagi akan berangkat.
"laku ata cau'n korek api.."Kata Kanis girang karena sebentar lagi akan berangkat.
Semua sudah lengkap..... Lako'd ga!!
"Asi de.." Yos memotong, Kanis kembali merengut.
"Nia hi Van agu Eman Pelek?"
"Aeeee, biar saja mereka tah...am ogo sise, ite kaut ga" Kanis rupanya sudah tidak tahan lagi.
"Eng damang ga," Pak ketua Luis angkat bicara, "lako tite ga,"
"Asi de.." Yos memotong, Kanis kembali merengut.
"Nia hi Van agu Eman Pelek?"
"Aeeee, biar saja mereka tah...am ogo sise, ite kaut ga" Kanis rupanya sudah tidak tahan lagi.
"Eng damang ga," Pak ketua Luis angkat bicara, "lako tite ga,"
Setelah menyusuri setapak penuh kerikil, kami belok kanan dan memilih jalur tengah menuju ke Wae Teku Tenda. Itu adalah nama sebuah sungai yang mengalir di sepanjang kaki Poco Likang. Mata air sungai ini berada Waso, sebuah kampung yang berada di sebelah barat gunung itu. Dinamakan Wae teku Tenda karena sungai ini dimanfaatkan oleh warga Tenda yang berada di sisi timur Poco Likang untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Kata ema Polus , salah seorang kakek saya dari Waso, dulu ada perjanjian antara kampung Waso dan kampung Tenda menyangkut air tersebut.
Perjalanan kami warnai dengan penuh canda. Dorong-dorongan, kejar-kejaran, layaknya anak usia 11-12 tahun. Sesekali kami menembaki cik (burung pipit) yang terlihat hinggap di ranting-ranting pepohonan, atau masuk ke semak-semak untk mencari conco kaba (strawberry hutan) yang mungkin tumbuh. Saya asyik sendiri berjalan sambil sesekali menegok ke belakang. Posisi kami yang berada di kaki gunung, sangat memungkinkan untuk melihat pemandangan kota Ruteng yang indah. Dari kejauhan terlihat jelas lapangan Motang Rua lengkap dengan pohon beringin di sampingnya.
Kukun, anak terkecil dalam kelompok kami, sibuk bercerita tentang film Superboy yang ditontonnya di TVRI sehari sebelumnya. Saking semangatnya, setiap adegan film ia tiru. Mulai dari Clark Kent membuka baju depannya saat hendak berubah jadi Superboy, hingga saat Superboy memukul kalah salah satu musuhnya bernama Bizzaro. Semangat sekali dia.
Kukun, anak terkecil dalam kelompok kami, sibuk bercerita tentang film Superboy yang ditontonnya di TVRI sehari sebelumnya. Saking semangatnya, setiap adegan film ia tiru. Mulai dari Clark Kent membuka baju depannya saat hendak berubah jadi Superboy, hingga saat Superboy memukul kalah salah satu musuhnya bernama Bizzaro. Semangat sekali dia.
"Cala porong taung tite one meseng felem hitu ta?" kata Kanis memotong cerita Kukun.
"Porong nia hau KB?"sergah Kukun tak percaya. Mereka berdua memang dari dulu kurang akur, hehehehe.
"Porong sina ise Apet..! Rei hi Apet hau ga..."
Kukun menoleh, saya pun mengangguk tanda setuju. Kanis puas. Sementara Luis, Andi dan Yos tertawa saja melihat ulah kedua anak itu
Saat Kukun hendak melanjutkan ceritanya, Luis mendesis...ssssttttttttt, hema! neka ngaok...lelo hio sina....
Semua lantas diam sambil melihat ke arah yang ditunjuk Luis. Di balik rumpun saung sensus, ada sesuatu yang bergerak-gerak. Yos "Cobra" mengendap perlahan mengitari rumpun sensus itu. Dengan gaya layaknya squad dentasemen 008, ia memberi isyarat tangan pada kami semua untuk mengepung target dari segala arah. Tanpa banyak kata, kami segera menuruti perintahnya. Formasi pun dibentuk dengan spontan. Luis menjaga dari depan, saya dan Kanis mengepung dari arah kiri, sementara Kukun dan Andi mencegah target kabur ke arah kanan. Tangan kami sudah siap dengan ketapel masing-masing.
Dari jauh, saya melihat Luis merunduk perlahan. Matanya awas memastikan target yang membaur diantara rumpun sensus. setelah betul-betul yakin, ketapelnya pun diarahkan, karet ketapel ditarik sejauh mungkin, dan sssstttttttttt.....!! Sebuah batu kerikil sebesar kelereng melesat sangat cepat. Sedetik kemudian, sebuah teriakan tertahan pun terdengar...rupanya tembakan Luis tepat sasaran. Yos yang juga memperhatikan kejadian itu lantas ikut menembak. Begitu juga kami yang lain. Peluru-peluru senjata 'ketapel' kami melesat tak terbendung. Tak lama kemudian Yos berlari cepat ke arah target. Secepat kilat ia menerjang ke depan. Laksana harimau, target yang tengah sekarat itu ia terkam dengan ganas. Dengan cekatan leher sang target diraihnya. Parang pun dihunuskan, dan seketika, target pun meregang nyawa.
"eros'n ko?" Tanya Kanis setengah berbisik. Luis mengangguk.. ukurannya cukup buat dibagi berlima.
"Diong peng ngaran'e?" Kanis bertanya lagi. Kali ini tak ada yang berani menjawab. Hanya tangan-tangan kami yang sibuk mencabuti bulu dari tubuh ayam betina itu.
Tangkapan besar hari ini..... Misi berimbas dosa....
Komentar
Posting Komentar