Coba tulis novel ah...
Salah satu impian saya adalah menjadi penulis novel. Yepp! Penulis novel. Waktu-waku luang yang saya punya belakangan ini saya maksimalkan untuk mulai menulis. Satu kalimat, dua kalimat, satu paragraf, dua paragraf. perlahan-lahan menjadi bukit.
Kata seorang kawan, certa yang saya bikin ini masuk kategori entografis. Karena itu saya harus punya usaha ekstra untuk melakukan riset (setidaknya mengumpulkan bahan-bahan yang bertebar di google), serta melakukan rekonstruksi kehidupan yang menjadi background cerita yang saya buat itu. Hadehhh!! ribet yak! Begitulah. Tapi saya senang.
Tulisan cerita itu baru masuk bagian enam. Masih jauh dari kata selesai. Tapi, mumpung otak masih dan hati masih menggelorakan semangat untuk menulis. Ayoo kebut! Hehehehe. Apakah nanti cerita ini akan diterima penerbit? Apakah mereka anggap layak? Entahlah. Yang penting, tulis dulu. Usaha dulu. Sisanya Tuhan yang atur. Hehehehe.
Oh iya. Judul cerita yang saya buat ini adalah "BARA DI ATAS NUCA LALE" (Dibaca dengan gaya khas suara narator drama radio Tutur Tinular). Mau tau ceritanya? Saya kasih sedikit yak!
Cekidot!
Kata seorang kawan, certa yang saya bikin ini masuk kategori entografis. Karena itu saya harus punya usaha ekstra untuk melakukan riset (setidaknya mengumpulkan bahan-bahan yang bertebar di google), serta melakukan rekonstruksi kehidupan yang menjadi background cerita yang saya buat itu. Hadehhh!! ribet yak! Begitulah. Tapi saya senang.
Tulisan cerita itu baru masuk bagian enam. Masih jauh dari kata selesai. Tapi, mumpung otak masih dan hati masih menggelorakan semangat untuk menulis. Ayoo kebut! Hehehehe. Apakah nanti cerita ini akan diterima penerbit? Apakah mereka anggap layak? Entahlah. Yang penting, tulis dulu. Usaha dulu. Sisanya Tuhan yang atur. Hehehehe.
Oh iya. Judul cerita yang saya buat ini adalah "BARA DI ATAS NUCA LALE" (Dibaca dengan gaya khas suara narator drama radio Tutur Tinular). Mau tau ceritanya? Saya kasih sedikit yak!
Cekidot!
1
Pegunungan
Mandosawu[1] berbaris
di sepanjang sisi timur hingga ke selatan. Di saat menjelang malam seperti ini,
barisan gunung itu tampak bagai sesosok raksasa yang tengah tidur menelungkup.
Bayangannya hampir menutupi hamparan lembah maha luas yang membentang di
bawahnya.
Lembah
itu menurun dengan landai mengarah ke utara hingga bertemu dengan jejeran
pegunungan yang lain. Beberapa rekahan bumi terlihat di sana-sini, membentuk
ngarai curam yang diselimuti pepohonan dan semak belukar. Dari ketinggian, daerah tersebut seperti sebuah
benteng super masif yang dibentuk alam, dengan pengunungan yang menjulang di
segala sisi sebagai dindingnya.
Jauh
di salah satu ceruk lembah besar itu, Ranjing berjalan tergesa-gesa. Matanya
yang awas memastikan langkahnya tetap pada setapak yang hampir tak terlihat
karena tertutup rerumputan liar. Sementara matahari senja semakin kemerahan
lantaran sebentar lagi malam tiba. Sinarnya melemah, meredup, lalu kegelapan
menguasai jagad raya.
Hembusan
angin dingin yang datang dari puncak pegunungan terasa menusuk tulang. Namun
Ranjing tak berniat memperlambat langkahnya. Pemuda yang baru saja akil balig
itu sedang mengemban tugas yang sangat penting. Kali ini, waktu adalah
musuhnya. Langkahnya begitu cepat seolah tidak ingin sang waktu berpacu
mendahuluinya.
Ranjing
hanya punya waktu dua kali matahari terbit untuk sampai ke tempat tujuan. Sejak
dua hari silam, pemuda itu berada di Ruteng untuk suatu alasan yang penting. Ranjing
menjalankan tugas sebagai seorang telik sandi. Menyamar sebagai penjual sopi, itu
mengunjungi kampung-kampung di lembah Pegunungan Mandosawu untuk mengumpulkan
informasi mengenai kabar orang-orang jangkung nggera[2] yang
akan mendirikan pemukiman di sebuah daerah bernama Puni[3].
Kabar
itu semakin terang benderang tatkala Ranjing mencari informasi ke Ruteng Pu’u[4]. Di kampung yang banyak ditumbuhi pohon
berringin yang terletak di sisi barat lembah itu, Ranjing menemukan bahwa desas
desus itu bukan lagi kabar burung belaka.
“Betul, kini orang-orang nggera itu tengah
mengerahkan warga dikampung-kampung sekitaruntuk membuka sebuah lahan di Puni,”
ujar seorang pria tua yang duduk berjuntai di atas compang[5], sebuah
bangunan megalitik yang digunakan warga kampung Ruteng sebagai mezbah
persembahan kepada leluhur mereka. Ranjing ada di situ, menyuguhkan dagangan
sopi-nya kepada sang pria tua.
Raut
muka seorang pria lain yang juga duduk di tempat itu tampak kesal. “Eng ta Ema,
kenapa orang-orang kampung mau saja diperintah orang-orang asing itu,”
celetuknya.
Si
pria tua memandang ke arahnya. “Mereka datang bersama orang-orang dari Todo.
Apa yang bisa kita lakukan?”
Pria
itu langsung terdiam. Demikian pula Ranjing yang merekam baik-baik informasi
itu dalam hatinya.
“Masalahnya,
lantaran semua kaum pria dikerahkan untuk membuka lahan itu, mengumpulkan batu ,kayu
dan berbagai bahan lainnya, lingko[6] kita
menjadi terlantar karena tak ada lagi yang mengerjakannya,” pria itu angkat
bicara lagi sebelum seteguk sopi meluncur melewati tenggorokannya.
“Ini
hanya sementara. Setelah pemukiman mereka berdiri, kita dapat bekerja kembali
di ladang kita lagi seperti biasa,” celetuk si pria tua.
“Mereka,
orang-orang nggera itu, memaksa?” Ranjing kini tak bisa menyembunyikan rasa
ingin tahunya.
“Entahlah.Tapi
seluruh tetua dari kampung-kampung yang tersebar di wilayah ini telah diminta
untuk bertemu dengan utusan orang-orang nggera itu. Setelah pertemuan itu,
banyak kaum pria bergabung bersama dengan mereka untuk mendirikan pemukiman
orang-orang nggera,” jawab si pria tua.
Ranjing
bertanya-tanya dalam hatinya. Apa sebenarnya yang diinginkan orang-orang nggera
itu di Nuca Lale[7],
tanah leluhurnya itu? Dulu, sewaktu usianya belum genap 8 tahun, ia kerap
disuguhi cerita mengenai orang-orang nggera itu dari ema tu’a nya. Sang ema
tu’a[8] yang
sering melakukan perjalanan ke Reok[9], suatu
tempat di pesisir utara Nuca Lale, mendapatkan kisah orang nggera dari para
penangkap ikan dari wilayah itu. Orang-orang Reok yang sebagian merupakan
keturunan orang-orang Bima bahkan mengaku telah melihat dengan mata kepala mereka
sendiri bagai mana sosok orang-orang berperawakan besar itu.
Sang
ema tu’a bercerita, beberapa tahun terakhir orang-orang ngera itu telah
berhasil menguasai tanah Bima dan Gowa lantaran punya kesaktian yang luar
biasa. Sultan Bima[10] dan
Gowa[11] telah dibuat
bertekuk lutut tak berdaya setelah perlawanan mereka dipatahkan dalam sejumlah
perang. Ketika dua kerajaan itu sudah berada di bawah pegaruh mereka, hanya
soal waktu saja mereka akan menjejakkan kaki di Nuca Lale.
Selain
itu, tersebar kabar orang-orang ngera itu juga bahkan telah memiliki bala
tentara yang bermarkas di sebuah negeri yang berada di timur Nuca Lale. Negeri
yang memiliki tiga danau ajaib.
“Mereka
memiliki senjata semacam meriam kecil yang bisa digenggam dengan tangan. Parang
maupun tombak yang kita miliki ini tidak ada bandingannya dengan benda
mengerikan itu. Senjata tersebut begitu luar biasa sehingga siapa pun yang
terkena semburannya akan mati dengan luka menganga pada tubuh,” kisah si ema
tu’a terus terngiang di telinganya.
Ketika
beranjak remaja, Ranjing menganggap semua kisah itu hanya karangan si ema tu’a.
Sebuah dongeng sebelum tidur. Namun kini semuanya menjadi nyata. Orang-orang
nggera itu telah berada di sini, di tanah yang sama tempatnya berpijak. Seketika
seluruh tubuh Ranjing bergidik.
---0---
Matahari
baru sejengkal di atas sisi timur puncak pegunungan Mandosawu. Udara dingin
masih mengigit. Embun pagi yang dengan ringkihnya bergantungan di daun-daun dan
menyelimuti rerumputan liar bahkan belum mau menguap ke mega biru. Namun di
hari yang masih pagi itu, sejumlah besar orang sudah tampak berdatangan ke
areal lapang di Puni. Tumpukan rerumputan dan semak belukar yang disiangi
sehari sebelumnya memenuhi udara dengan baunya yang khas.
Kumpulan
besar orang-orang itu adalah masyarakat dari kampung-kampung di lembah
Pegunungan Mandosawu. Pada masa Nuca Lale dipimpin oleh Kerajaan Todo[12], Raja
Todo yang bergelar Kraeng Panga Adak Alo Todo, membagi wilayah kekuasaannya
dalam 36 kedaluan[13]. Setiap
kedaluan tersebut meliputi suatu kawasan tertentu dan membawahi yang sejumlah
gendang atau kampung. Kampung-kampung yang tersebar di lembah pegunungan
Mandosawu tergabung dalam Kedaluan Ruteng dengan Ruteng Pu’u sebagai pusat dari
kedaluan tersebut.
Di
antara kerumunan orang itu, beberapa kaum pria dengan bilah-bilah parang
bermata tajam yang terselip di pinggang duduk melingkar dalam sebuah kelompok
kecil. Ranjing berada di antara kumpulan orang-orang itu, memperhatikan raut
wajah mereka terlihat enggan. Ranjing tahu alasannya. Alih-alih bekerja di
tempat itu, mereka sebenarnya lebih memilih menghabiskan waktu di ladang
masing-masing untuk mengumpulkan bahan makanan untuk dibawa pulang ke rumah.
“Sampai
kapan kita harus bekerja mendirikan rumah bagi orang-orang nggera ini,”
terdengar gerutu seseorang. Janggutnya yang tumbuh jarang dan dibiarkannya
memanjang, menambah seram wajahnya yang masam itu.
“Kalau
saja Tu’a Gendang[14] di
kampungku tidak memberi ancaman denda bagi yang tidak mau ikut bekerja, sudah
pasti aku tidak akan berada di sini,” keluhnya lagi.
Pria
di sampingnya yang duduk memeluk lutut terpingkal seketika. “Tu’a Gendang-mu
itu memberlakukan denda apa, Ranta?”
“Dua
ekor babi bagi yang tidak mau ikut serta. Kau percaya itu?” ketus pria
berjanggut jarang bernama Ranta itu.
“Kenapa
tak kau bayar saja denda kalau kau tak mau ikut ke sini. Bukannya babi
peliharaanmu cukup banyak,” temannya itu kembali menggodanya.
Wajah
Ranta makin masam. “Itu untuk acara
Kelas[15]
mertuaku bulan depan!”
Tidak
hanya warga Kedaluan Ruteng saja yang bekerja membangun pemukiman untuk orang
nggera. Ranjing mendapat informasi bahwa beberapa masyarakat dari kedaluan lain
yang juga ikut serta. Mereka bahkan diperintahkan untuk mengantarkan
bahan-bahan bangunan seperti balok-balok kayu, batang-batang bambu, serta
berikat-ikat ijuk dan alang-alang. Padahal, jarak tempuh antara satu kedaluan
dengan kedaluan yang lain tidaklah dekat. Membutuhkan usaha keras untuk
menyusuri kontur geografis Nuca Lale yang berbukit-bukit serta penuh ngarai sambil
membawa bawaan berat itu. Seseorang yang berasal dari Kuwu mengaku menghabiskan
tiga hari untuk sampai ke Puni bersama delapan orang lain untuk mengantarkan
ijuk. Ranjing terkesima. Kehadiran orang-orang nggera itu telah benar-benar
merepotkan banyak orang.
Menjelang
senja, Ranjing bergabung bersama beberapa orang yang tengah mengolah beberapa batang
kayu berukuran besar untuk dijadikan balok-balok penyangga rumah. Selain
memanfaatkan kapak, parang yang mereka gunakan berbentuk sedikit unik, tidak
seberapa panjang namun lebih tebal dan jauh lebih berat dari parang biasa yang
cenderung ramping dan memanjang. Itu adalah jenis parang yang digunakan khusus
untuk membelah kayu besar menjadi bagian-bagian kecil sebelum diolah lebih
lanjut menjadi batang-batang balok. ukurannya yang besar dan berat memberikan
tekanan yang lebih baik sehingga pekerjaan membelah terasa lebih mudah.
“Adakah
para orang nggera tersebut berada di sini saat ini? Aku penasaran melihat rupa
mereka,” tanya Ranjing kepada seseorang yang sibuk bekerja di sebelahnya.
“Aeeh, ole ite, sejak beberapa hari
bekerja bekerja di sini, belum sekalipun mereka terlihat. Sejujurnya, aku juga
penasaran seperti apa rupa mereka. Rupanya mereka hanya datang menemui Dalu dan
sekalian tu’a di sini untuk meminta masyarakat membangun pemukiman mereka.
Setelah itu mereka kembali ke Todo,” jawab orang itu. Ranjing menebak, usia
orang tersebut sedikit lebih muda dari dirinya.
Pembicaraan
mereka rupanya disimak oeh oleh seorang pria lain yang berada di situ. “Anak
ngaso[16]-ku
mengaku melihat orang-orang nggera itu ketika mereka datang untuk memeriksa lahan ini. Katanya, mereka itu berperawakan
sangat tinggi. Kulit mereka putih seperti getah batang daeng. Beberapa dari
mereka mengendarai kuda,” ia bercerita.
Ranjing
kembali teringat kisah ema tu’a[17]-nya.
“Mereka membawa semacam meriam yang digenggam dengan tangan?” tanyanya
penasaran.
“Anakku
tidak melihat benda yang kau maksud itu. Namun cara berpakaian mereka tidak
seperti kita. Mereka tidak tengge towe atau sesek sapu. Kaki mereka tertutup seluruhnya dengan
sesuatu yang entah apa namanya. Tapi tampaknya sesuatu itu melindungi kaki
mereka agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah.”
Cukup,
aku harus segera kembali ke Beokina[18].
Ranjing berkata dalam hati lalu meninggalkan begitu saja mereka yang terbengong
ketika melihatnya begitu saja menghilang di balik rumpun Sensus yang tumbuh
tidak jauh dari tempat mereka bekerja.
“Siapa
pemuda itu?”
“Entahlah,
tampaknya bukan orang dari sekitar sini. Tapi ia sempat memperkenalkan namanya.
Ranjing.”
------------
Beokina
adalah sebuah kampung kecil yang menjadi bagian dari Kedaluan Rahong. Terletak
di punggung salah satu bukit yang tersebar di wilayah itu, tidak mengherankan
jika hawa dingin telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat kampung.
Seperti
halnya masyarakat lain yang mendiami pedalaman Nuca Lale, orang Beo Kina
menggantungkan hidupnya pada ladang-ladang di tanah ulayat kampung mereka.
Sepanjang hari mereka menghabiskan waktu mengolah ladang yang yang berbentuk unik seperti sarang
laba-laba[19]
itu. Pada waktu-waktu tertentu, ketika
musim tanam telah lewat, mereka melakukan pekerjaan lain untuk sekadar menambah
bekal bahan makanan.
Sementara
kaum wanita merawat anak-anak di rumah, para pria menjelajahi hutan sembari
berharap menemukan hewan buruan seperti babi hutan, ayam hutan, atau monyet.
Atau jika beruntung, mereka bisa menemukan koloni lebah hutan dengan kandungan
madu yang berlimpah.
Pante
tuak adalah pekerjaan sambilan lain yang dikerjakan masyarakat Beokina jika
tidak sedang sibuk di ladang. Pada
hamparan hutan luas di sekitar kampung, tumbuh pohon Enau yang menghasilkan
cairan keputih-putihan yang terasa manis sepat. Orang sering mengumpukan cairan
putih tersebut untuk dijadikan minuman. Tuak bakok[20], begitu
mereka menyebutnya, adalah jenis minuman yang sangat digemari, walau akan
memabukkan jika terlalu banyak dikonsumsi.
Beberapa
bahkan mengolah lebih lanjut dengan menyuling uap tuak bakok yang dididihkan
dalam sebuah wadah besar. Hasil sulingan ini disebut sopi. Rasanya keras bukan
main dan sangat memabukkan. Bagi yang tidak biasa, seteguk saja bisa membuat
badan terasa melayang-layang, atau muntah habis-habisan dengan isi perut yang
terkuras habis. Efek rasa hangat pada tubuh tubuh ketika minum sopi membuat minuman
keras ini juga dimanfaatkan sebagai penangkal hawa dingin.
Sopi
juga merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat yang mendiami
ujung barat Pulau Bunga itu. Saat sebuah kampung kedatangan tamu terhormat,
misalnya, ia akan disambut dengan sebuah kepok manuk bakok dan sopi.
Disandingkan dengan daging babi bakar, minuman ini juga kerap disuguhkan pada
acara-acara adat seperti teing hang, Barong Wae[21]
menjelang pelaksanaan Penti[22], acara
perkawinan, kelahiran hingga kematian.
---0---
Malam
ini seperti malam lainnya. Dunia sunyi senyap di bawah kerlipan jutaan bintang
yang menghiasi kelamnya langit. Serangga
malam berbunyi bersahut-sahutan, seakan tengah melantunkan syair-syair
kehidupan dengan bahasa yang tak dapat dimengerti. Sesekali anjing melolong di
kejauhan. terdengar seperti ratapan ketakutan karena sang kematian bisa hadir kapan
saja. Beokina layaknya kota mati karena segenap penghuninya telah larut dalam
alam mimpi. Namun tidak semua orang telah terlelap dalam tidur. Ame Numpung
masih berdiri di halaman luas di depan kediamannya, memandang ke langit seolah
berusaha menghitung jumlah bintang.
Bagi
masyarakat kampung Beokina, pria 40-an tahun berperawakan kecil ini bukan orang
biasa. Selain menjabat sebagai kepala kampung, Ame Numpung yang selalu
mengenakan ikat kepala dari sepotong kain berwarna coklat kelabu ini adalah
orang yang dipenuhi misteri.
Ada
kisah mistis tentang Ame Numpung yang tersebar di kalangan orang-orang Beo
Kina. Menurut cerita orang-orang tua di kampung itu, Ame Numpung adalah anak
dari Laki Rae yang merupakan keturunan manusia langit atau Ndewa[23] yang
datang dari Golomori[24] ini,
sebuah tempat yang berada di batas paling barat dari tanah yang mereka diami
ini. Karena keturunan ndewa, Ame Numpung menguasai berbagai kemampuan
supranatural. Salah satunya adalah mbeko pepot, sebuah kemampuan yang membuatnya untuk menghilangkan
diri.
Pria
itu juga diyakini menyimpan sebuah senjata pusaka yang selalu terselip di balik
baju lusuhnya. Senjata itu adalah sebilah cola atau kapak. Asal muasal kapak pusaka Ame Numpung itu
adalah sebuah kisah menarik yang kerap diceritakan orang-orang tua di kampung
itu kepada anak-anak mereka. Konon, senjata itu ia dapatkan dalam sebuah
perburuan, ketika bertarung habis-habisan dengan seekor babi hutan besar dengan
empat taring mengerikan yang mencuat dari mulutnya. Ame Numpung bertarung seperti
kesetanan dan berhasil mengalahkan babi hutan itu. Ketika perut babi hutan itu
dibelah, tampak sebuah kapak yang menyembul di antara jeroannya. Ame Numpung
kemudian mengambil benda itu dan menyelipkannya ke dalam baju. Peristiwa pertarungannya
dengan hewan buas itu kemudian membuat Ame Numpung mendapat sebuah julukan yang
menandakan keperkasaan - “Motang Rua.
Banyak
orang kampung yang penasaran akan kebenaran cerita tersebut. Namun untuk
menanyakan langsung kepada Ame Numpung, mereka sungkan. Hingga suatu ketika,
karena rasa penasaran, seorang anak kecil memberanikan diri mendekati Ame
Numpung yang tengah bergegas menuju ke ladangnya.
“Ema,
betulkah ema memiliki kapak sakti yang disembunyikan di balik baju? Kata
orang-orang, kapak itu ema dapat dari perut Motang,” anak itu bertanya.
Ame
Numpung tersenyum, mengelus kepala anak itu dengan tangannya yang kasar.
“Bagaimana
menurutmu?”
Anak
itu hanya tersenyum lalu mempersilakan Ame Numpung melanjutkan perjalanannnya.
Tak
seorang pun yang pernah melihat wujud senjata cola itu. Bahkan istri dan
anak-anak dan segenap keluarga Ame Numpung tak pernah sekalipun mendapati Ame
Numpung menimang-nimang atau membersihkan senjata itu layaknya kebanyakan orang
lakukan terhadap benda kesayangan mereka. Namun demikian, mereka tetap yakin.
Mereka meyakini keberadaan cola tersebut, seperti halnya mereka meyakini
keberadaan roh-roh leluhur yang mendiami batu compang di tengah kampung mereka.
Ame Numpung dan senjata cola-nya itu adalah harapan sekaligus tumpuan segenap
masyarakat Beo Kina yang akan melindungi mereka dari segala ancaman yang datang
merongrong kampung kecil mereka itu.
Tidak
seperti biasa, malam itu Ame Numpung tak bisa tidur. Meskipun seharian telah
menguras tenaga dengan menyiangi rumput-rumput di ladang, serta menebang
beberapa batang pohon untuk dijadikan kayu api, raganya yang lelah itu tak mau
juga diajak beristirahat. Ia kembali mengunyah serutan-serutan daun tembakau
kering yang berada di mulutnya. Gumpalan
mbako cecu[25]
itu dipegangnya sebentar, digosokkan ke gigi-giginya, lalu dikunyah lagi.
Berdiri
terpaku menantang malam, pikiran Ame Numpung
sama sibuknya dengan mulutnya. Berhari-hari yang lalu ia mengutus
Ranjing, salah satu pemuda di kampung itu untuk memantau keadaan Kedaluan
Ruteng. Kini ia sangat menantikan kedatangan pemuda itu, sembari berharap ada
berita berarti yang datang bersama dirinya. Ame Numpung bukannya tanpa alasan
menyuruh pemuda itu melakukan perjalanan berat seorang diri menuju Ruteng. Paci
Ame Rami, seorang sahabatnya dari Kedaluan Lelak telah memberinya kabar yang
sangat penting mengenai apa yang tengah terjadi di Nuca Lale.
“Orang-orang nggera diketahui telah datang
dari negeri danau tiga warna, berlabuh di Mborong dan telah sampai ke Todo
untuk menemui Sang Raja, Kraeng Panga Adak Alo Todo,” ucap Paci Ame Rami tanpa
basa-basi setelah beristirahat sejenak karena baru saja melakukan perjalanan
panjang dari Lelak untuk menemui Ame Numpung.
“Orang-orang nggera? siapa mereka?” Ame
Numpung penasaran mendengar kabar dari sahabatnya itu.
“Mereka adalah orang-orang dari ujung bumi.
Orang-orang ini luar biasa. Mereka telah menguasai Kerajaan Bima. Bahkan Gowa
sekalipun telah tunduk pada mereka. Kini mereka masuk ke tanah kita untuk
menguasainya. Mereka meminta Raja Todo untuk mencarikan tempat bagi mereka
untuk mendirikan pusat pemerintahan mereka di Nuca Lale, ” jawab Paci Ame Rami
tanpa bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.
Ame Numpung menangkap keresahan sahabatnya.
Jauh dalam hatinya, Ame Numpung merasa dengan kabar berita yangmeluncur dari
mulut Paci Ame Rami itu bukan hal yang baik. tapi ia tak mau gegabah.
“Lantas apa yang Kraeng Panga Adak Alo Todo lakukan
terhadap orang-orang Ngera ini. Beliau diam saja? Tapi tunggu dulu, dari mana
kau dapat berita ini, sahabatku?” Ame Numpung berhati-hati mencerna informasi
Paci Ame Rami. Sebagai orang yang dekat dengan Kerajaan Todo, ia tidak ingin
hubungannya dengan pejabat-pejabat kerajaan, terlebih dengan Yang Mulia Kraeng
Panga Adak Alo Todo menjadi terganggu akibat hal ini.
“Ini bukan kabar angin, Ame Numpung
sahabatku,” tegas Paci Ame Rami. “Kau ingat rencana Kerajaan untuk menggelar
Penti Mese setelah musim panen mendatang? Beberapa waktu yang lalu aku menemani
Dalu Lelak ke Todo bertemu Kraeng Panga Adak Alo Todo untuk membicarakan
persiapan acara ini. Bersama kami juga hadir para utusan dari kedaluan lain,
termasuk dari dari Kuwu dan Ruteng. Si saat bersamaan rombongan orang-orang
Ngera datang untuk menemui raja dan mengajukan permintaan mereka.”
Ame Numpung penasaran, bagaimana orang-orang
Nggera ini mengetahui keberadaan Kerajaan Todo yang menjadi kepala dari segenap
Kedaluan di tanah Nuca Lale ini. Namun sebelum sempat bertanya, Paci Ame Rami
sudah bicara lagi.
“Penguasa Bima yang mengatakan kepada
orang-orang Nggera untuk bertemu Kraeng Panga Adak Alo Todo. Mereka bahkan
menunjukkan tempatnya pada orang-orang nggera itu. Menurutmu, datang dengan
segel Kesultanan Bima, bagaimana beliau akan memperlakukan orang-orang asing
tersebut?”
Ame Numpung diam seribu bahasa. Ruang luas
Mbaru Gendang[26]
tempat Ame Numpung dan keluarganya tinggal menjadi sunyi tanpa suara. Istri Ame Numpung telah menyuruh anak-anak
untuk masuk ke bilik masing-masing, agar tidak menggangu kedua sahabat lama
yang sedang bercengkerama itu. Kebisuan Ame Numpung mendengar kabar Paci Ame
Rami semakin menambah sepi rumah itu.
“Lantas apa yang akan kita lakukan?” Paci Ame
Rami kembali buka suara.
“Entahlah. Kita menunggu,” jawab Ame Numpung
sekenanya. Pikirannya masih bergejolak mengenai kemungkinan-kemungkinan yang
akan terjadi setelah orang-orang Nggera berada di Nuca Lale. Dengan menyetujui
kehendak orang asing itu, berarti Kraeng Panga Adak Alo Todo secara tidak
langsung tunduk kepada mereka. Bahkan lebih gawat lagi, orang-orang asing itu
mungkin saja telah mengambil alih kekuasaan atas negeri ini. Memikirkan itu
membuat gigi Ame Numpung bergemertak menahan amarah.
“Menunggu? Jauh-jauh aku datang untuk
menyampaikan kabar ini, dan hanya jawaban ‘menunggu’ yang aku dapat, sahabatku?
Kita lawan! Ini tanah kita, Tana Kuni agu Kalo kepunyaan leluhur kita yang
diwariskan secara turun temurun. Tanah yang dikaruniakan kepada kita oleh Mori
Bate Jari agu Dedek. Kita akan berdosa berat jika kita tak mempertahankan tanah
leluhur kita ini dari mereka yang ingin menguasai secara semena-mena.
Tunduk kepada penguasa Bima saja sudah
membuat aku jengah. Apalagi harus ‘iyo’ kepada orang-orang yang entah darimana
itu,” Tampak jelas aura kemarahan yang meletup-meletup dari wajah Paci Ami Rami
yang menegang. Namun didepan sahabatnya itu, ia tetap menjaga perilakunya agar
tetap tenang.
Ame Numpung memandangi sahabatnya. “Aku
mengerti kerisauanmu, sahabatku Paci Ame Rami. Akupun demikian. Tapi aku tak
mau gegabah. Bukankah kau sendiri yang menceritakan, bahkan Gowa dan Bima sekalipun
bertekuk lutut di hadapan mereka? Lantas apa artinya kita ini? Baiklah kita
melakukan konsolidasi dahulu dengan mengumpulkan semua orang yang berpikiran
sama dengan kita. Kita harus berhitung, sahabatku. Berhitung mengenai kekuatan
yang kita miliki dan juga kekuatan lawan yang akan kita hadapi. Semangat cinta
tanah air itu perlu, tapi tanpa kekuatan yang memadai, perlawanan kita akan
sia-sia.”
Paci Ame Rami menyimak perkataan sahabatnya.
“Setelah pembicaraan ini, aku akan mengutus
seseorang untuk mengumpulkan informasi di Kedaluan Ruteng, termasuk menilik
seberapa besar kekuatan orang-orang nggera ini. Sementara kau, sahabatku, ada
baiknya kau juga mendatangi berapa kedaluan lain untuk menyampaikan informasi
ini. Lihat reaksi mereka. Jika sepaham dengan kita, ajaklah mereka untuk
menjadi bagian dari kekuatan kita. Sembari itu, kita juga harus menimbang
segala hal, termasuk yang paling buruk yakni membangun pusat pertahanan kita
jika seandainya pecah perang.”
Paci Ame Rami memandang sahabatnya dan
mengagumi kebijaksanaanya. “Baiklah Ame Numpung. Soal menghubungi kedaluan
lain, sudah kulakukan dengan mengirim beberapa utusan untuk menyampaikan kabar
ini. Seminggu dari sekarang, kita bersama orang-orang dari kedaluan lain harus
bertemu lagi di sebuah tempat yang telah ditentukan. Dari situ kita akan
mengetahui seberapa besar kekuatan yang kita miliki dan membicarakan
langkah-langkah selanjutnya.”
Pembicaraan kedua sahabat lama itu terus
berlanjut ke hal-hal lain yang tidak serius. Gelak tawa mereka berdua membuat
saudara-saudara Ame Numpung yang juga
menghuni Mbaru Gendang itu kemudian bergabung bersama mereka. Sopi terbaik pun
disuguhkan, dan mereka kemudian larut dalam gembira sembari ber-nenggo[27]
dan melantunkan syair-syair kuno.
Menunggu,
hanya itu yang dapat dilakukan Ame Numpung saat ini. Ini malam kelima sejak Ame
Numpung mengutus Ranjing untuk memata-matai Kedaluan Ruteng. Meski ia yakin
anak itu adalah orang paling bisa dipercaya, serta memiliki ketangkasan yang
cukup untuk jenis pekerjaan itu, namun ia masih menyimpan rasa kekhawatirannya.
Ranjing terlalu muda dan sayangnya memiliki semangat yang kelewat besar
dibandingkan usianya.
Ketika
Ame Numpung menggelar rapat di Mbaru Gendang untuk memberitahu masyarakat Beokina
mengenai masalah yang sedang berkembang, Ranjing dengan sukarela mengajukan
diri untuk memata-matai Ruteng. Awalnya Ame Numpung, dan tentu saja kedua orang
tua Ranjing, tidak setuju jika anak itu yang menjalankan tugas sebagai telik
sandi. Namun tidak ada gunanya mengekang anak muda dengan gelora membara.
Ranjing berkeras, Ame Numpung menyerah.
Kini
Ame Numpung menantikan kehadiran anak itu dengan harap-harap cemas. Sebelum
matahari terbit besok, Ame Numpung harus segera menuju ke tempat yang telah
ditentukan untuk bertemu Paci Ame Rami dan orang-orang lain. Namun tanpa
informasi dari Ranjing, kedatangan Ame Numpung ke tempat itu tidak akan banyak
membantu. Meski anak itu belum tampak batang hidungnya, namun Ame Numpung masih
menyimpan harapan, sekaligus merasa kesal dan menyalahi diri sendiri lantaran
telah mempercayakan sebuah pekerjaan penting pada seorang anak kecil.
Baru
saja Ame Numpung hendak masuk rumah untuk mencoba menuntaskan tidur yang tak
jua mau hadir itu, derap langkah dari kejauhan menghentikannya. Ame Numpung
menoleh, berusaha mengfokuskan pandangannya menembus gelapnya malam. Langkah
itu semakin dekat, dalam gelap Ame Numpung menangkap sosok yang bergerak dalam
gelap menuju kepadanya.
“Ranjing?
Kaukah itu?” Ame Numpung bertanya kepada gelap.
“Ema,
aku ho’o,” suara menyahut dari kegelapan malam.
Ame
Numpung mengenali suara itu segera menyambut Ranjing yang kuyup oleh peluh.
Anak muda itu terlihat lemah, kakinya berdarah oleh luka-luka sobek. Sementara
pakaian yang dikenakannya dipenuhi lumpur kering bercampur peluh yang
menciptakan bau anyir yang menusuk hidung. Setelah memapah Ranjing masuk ke
dalam rumah, Ame Numpung segera menggapai sebuah kendi berisi air. Suara gaduh
yang mereka ciptakan membangunkan seisi rumah. Mereka kemudian berkumpul di
sekitar Ranjing yang masih terlihat kelelahan.
“Aku
berjalan tanpa henti dua hari dua malam,” Ranjing berkata disela-sela dengusan
napasnya yang terputus-putus. “Luka-luka ini aku dapatkan karena berkali-kali
tergelincir jatuh menembus malam. Aku tak ingin sisa waktu yang kupunyai
terbuang percuma karena harus beristirahat,” katanya lagi.
“Istirahatlah
dahulu, setelah kau membaik baru kita lanjutkan pembicaraan,” Ame Numpung
memotong. Ia terharu dengan keuletan anak itu.
Tanpa
diperintah seorang anak perempuan Ame Numpung bergegas menyiapkan sebuah wadah
air agar Ranjing bisa membersihkan tubuhnya. Sehelai kain sarung baru juga ia
sediakan untuk mengganti pakaian Ranjing yang telah dekil.
“Tidak,”
sanggah Ranjing. Matanya yang lelah menghujam Ame Numpung dengan pandangan yang
tajam namun menyedihkan. ”Sia-sia aku habis-habisan seperti ini jika harus
menunggu pagi.”
Dengan
tetap terengah-engah Ranjing meceritakan apa yang dilihatnya di Ruteng. Tentang
sebuah lahan yang dibuka di Puni, tentang warga yang dikerahkan untuk membangun
pemukiman untuk orang-orang nggera, serta semua informasi lain yang
diperolehnya selama menyamar jadi penjual sopi.
Ame
Numpung menyimak dengan cermat kisah yang meluncur dari mulut Ranjing.
Pikirannya semakin bergejolak. Kabar yang disampaikan sahabatnya Paci Ame Rami
ditambahkan kesaksian Ranjing semakin membuat kepalanya pening. Harus segera
bergerak, katanya kepada diri sendiri.
“Kau
lihat orang-orang nggera itu?” Ame Numpung penasaran.
Sekilas
wajah Ranjing tampak menunjukkan penyesalan. “Tidak, mereka telah kembali ke
Todo saat aku ikut bergabung bersama masyarakat bekerja di Puni.”
“Jadi
kita tidak tahu kekuatan mereka,” Ame Numpung menerawang ke langit-langit
rumah.
“Maafkan
aku. Tapi, aku bisa ke Todo besok pagi untuk memata-matai orang nggera itu,”
jawab Ranjing.
“Tidak
perlu. Engkau masih lemah. Jika mereka masih di Todo, kita akan mengetahui
jumlah mereka dengan mudah,” Ame Numpung mengetus.
---0---
Willem Van Jaap menselonjorkan kakinya pada batu-batu pipih yang
disusun sedemikian rupa membentuk setapak yang memutari sebuah tanah lapang
berumput yang dirawat dengan baik. Sejak pagi tadi dia hanya duduk saja di
situ, memunggungi bangunan-bangunan besar berbentuk kerucut dengan sebagian
besar strukturnya adalah atap dari ijuk dan alang-alang. Sementara pandangannya
mengarah ke barisan pegungungan yang berdiri menjulang di kejauhan.
Sebuah buku tulis kecil bersampul keras yang sudah kusam
diletakkan begitu saja di pangkuannya. Willem tahu, tak jauh dari tempatnya
duduk, anak-anak kecil bertelanjang dada memperhatikannya sambil tertawa
cekikian. Beberapa kaum wanita juga mencuri pandang kepadanya di sela-sela
aktivitas mereka menganyam tikar re’a[28].
Sesekali ia memandang ke arah mereka, mengulas senyum terbaik yang bisa ia
berikan kepada mereka di pagi yang menjemukan itu. Para kaum wanita membalas
senyum Willem dengan derai tawa yang khas, menunjukkan baris-baris gigi mereka
yang telah berubah merah pekat akibat sering mengunyah cepa[29].
Melihat Willem yang tersenyum seperti bayi, anak-anak semakin
mendekat padanya. Ia melihat mulut anak-anak itu menggumamkan kata-kata yang
tak dapat ia mengerti. Namun sejak ia menginjakkan kaki di tanah ini, satu
frasa yang terus ia dengar dari orang-orang pribumi ini; “ata nggera, ata nggera…”
“Kom hier,” ujar
Willem kepada anak-anak itu. “Kom
hier, mijn kleine goede vrienden!”
Anak-anak itu melihat satu sama lain, lalu kembali tertawa
sambil menutup mulut. Willem ikut terpingkal, meski sebenarnya tak mengerti apa
yang anak-anak itu tertawakan. Ia mengangkat bahu karena kumpulan anak-anak
tersebut tak lagi bergerak mendekat meski sudah ia panggil. Pandangannya
kembali menerawang ke arah pegunungan. Sejurus kemudian ia mengeluarkan
sebatang pensil dari saku bajunya, lalu mulai menulis di atas lembaran-lembaran
buku yang sejak tadi menunggu dengan sabar di pangkuannya.
1 Juli 1909,
Minggu ketiga sejak rombongan ekspedisi kami berlayar dari
Batavia dan sampai ke tanah antah berantah ini. Sedianya kami harus ke terlebih
dahulu berlayar ke Makassar. Namun di hari-hari menjelang keberangkatan,
pemerintah Belanda memutuskan agar kalmi langsung menuju Pulau yang oleh
orang-orang Portugis dinamakan Tanjung Bunga ini. Perjalanan yang berat. Dua
minggu di di dalam kapal rasanya bagai selamanya. Bahkan Frederik, salah satu
anggota serdadu KNIL hendak terjun ke laut karena merasa tak kuat lagi setelah
menguras seluruh isi perutnya saat kapal kami menghadapi badai sepanjang malam.
Kembali menjejak tanah di Pelabuhan Ende bagai mendapat keajaiban dari langit.
Padahal penderitaan yang baru kami rasakan selama perjalanan dari Batavia hanya
setengahnya saja dari yang harus kami lalui.
Setelah berstirahat dua hari, kami dipaksa kembali naik kapal
dan menyusuri pesisir selatan dari pulau ini.
Saat harus berjalan kaki berjam-jam menyusuri pegunungan,
lembah, ngarai yang membuat kaki melepuh, aku teringat Amsterdam yang landai,
dengan Sungai Amstel-nya yang tenang. Tak ada yang landai di sini, semuanya
curam dengan turunan dan tanjakkan yang benar-benar menguras tenaga. Aku heran
mengapa ada orang yang mau hidup di daerah dengan topografi mengerikan seperti
ini.
Di sini, kami adalah orang asing. Asing dalam pengertian
sebenarnya karena tak ada yang bisa disapa. Aku ingat saat berjalan di
sepanjang kanal Herengracht, Keizergracht dan Prinsengracht,
menjelang pergantian tahun. Semua saling bertegur sapa.
Apakah orang-orang di tempat ini merayakan tahun baru? Entahlah.
Yang jelas saat ini aku merindukan rumah, rindu duduk menghadap meja kecil di
ruang makan yang selalu ditata ibu dengan kain motif kotak-kotaknya. Rindu
menyantap habis rebusan Waterzoi[30]
yang dihidangkan ibu dalam sebuah piring sajian yang besar - hingga potongannya
yang terakhir. Aku rindu suara si kecil Leo yang selalu berteriak riang di
setiap ruang rumah kecil kita. Rindu akan hangatnya suasana hati menghabiskan senja dengan
duduk-duduk di Dam Square sambil memberi makan ratusan merpati yang ada di
situ.
Tangan Willem tiba-tiba berhenti menulis. Segurat kerinduan
menindihnya dengan begitu berat. Keputusan menjadi serdadu Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL)
telah menghempaskannya ke tanah di ujung bumi ini. Willem merasa menemukan
dunianya ketika menempuh wajib militer. Karena itu, ia bertekad melanjutkannya.
Ketika ayahnya telah memintanya memikir ulang keputusannya untuk
meniti karir di dunia militer, Willem terlanjur hanyut dengan gelora semangat
mudanya. Keinginannya untuk terjun dalam dinas ketentaraan Belanda sebenarnya
karena ia ingin menjelajahi dunia, setidaknya mengunjungi Hindia Belanda,
sebuah negeri di belahan bumi lain yang menjadi koloni negerinya. Untuk itu, ia
harus merelakan masa mudanya terbelenggu dalam dinas ketentaraan, sementara pemuda-pemuda
sebayanya menghabiskan malam mengunjungi Der Wallen[31]
dengan uang pas-pasan sembari berharap ada wanita yang bisa ‘dicicipi’.
Willem begitu girang ketika menjadi satu segelintir tentara yang
diberangkatkan ke Hindia Belanda. Padahal jarang seorang perwira muda Belanda
langsung ditempatkan di daerah jajahan. Sebagian besar tentara KNIL yang
bertugas di Hindia Belanda sebenarnya adalah tentara bayaran yang berasal dari
Perancis, Belgia, Jerman, Swiss, serta hasil rekrutan orang-orang pribumi.
Kalau pun ada tentara Belanda di Hindia Belanda, mereka adalah tentara yang
kedapatan disertier dan memilih bertugas di tempat itu dengan gaji bulanan yang
cukup menjalani hukuman dengan mendekam di penjara.
Namun Willem tidak pernah melanggar satu peraturan pun. Ia
adalah orang yang lurus dalam segala hal. Keterpilihan Willem sebagai salah
seorang tentara yang bertugas di daerah jajahan dianggapnya sebagai takdir yang
harus ia jalani. Namun tidak bagi ayahnya. Lelaki renta itu seperti kehilangan
semangat hidup mendapati kenyataan satu-satunya anak laki-laki yang dimiliki memutuskan
pergi ke ujung dunia untuk memadamkan pemberontakan yang tengah berkobar di
negeri koloni Belanda. Ayahnya memang memiliki Leo, cucu laki-lakinya yang
lahir dari kakak perempuan Willem. Namun hal itu tidak cukup.
Melihat suaminya merasa cemas hingga tak mau makan, ibu Willem
membujuk anak laki-lakinya itu untuk keluar saja dari militer. Namun Willem
berkeras. Demikian pula dengan ayahnya. Hingga hari ketika Willem menaiki kapal
yang memberangkatkannya keseberang samudera, ayah anak itu tak bertegur sapa.
Setahun di Batavia, Willem menulis surat kepada ayahnya. Ia juga menyelipkan
sebuah foto dirinya yang sedang berpose memegang sepucuk karabin dengan latar
sungai Ciliwung[32].
Namun ia tak pernah mendapat surat balasan.
“Apa yang sedang kau lamunankan?”
Willem terkejut lantaran Jacob sudah berada di sampingnya.
“Kau menulis diary?” Jacob melihat buku kusam di pangkuan
Willem.
“Oh ini,” Willem terbata, “bukan apa-apa. Hanya sebuah tulisan
kecil mengenai pengalaman selama berada di sini.”
Jacob, orang Belgia yang sudah empat tahun menjadi tentara KNIL
itu mengangkat bahu. “Tuliskan tentang aku dalam diary mu itu. Siapa tahu aku
mati di tanah ini. Mungkin kau bisa beritahu ibuku mengapa aku tak kembali ke
rumah.”
“Tak ada yang akan mati, Jacob. Kita semua akan baik-baik saja.
Setelah pusat pemerintahan sipil militer berdiri, kita hanya akan bertugas
selama enam bulan lagi lalu kembali ke Batavia. Kau tahu, Aku bisa kembali ke
Belanda secepatnya setelah kedatangan regu serdadu baru yang menggantikan.
Demikian pula dengan dirimu. Tidakkah kau ingat tanah kelahiranmu di Belgia?”
ujar Willem pada temannya itu.
“Entahlah. Segeralah bersiap. Kita akan kembali ke Ruteng pagi
ini. Sial, padahal kakiku belum pulih setelah perjalanan yang melelahkan
beberapa hari lalu,” Jacob menggerutu. Rambut pirangnya yang awut-awutan tampak
berwarna keemasan ditimpa sinar matahari pagi.
------
[1]
Barisan pegunungan ini berada di sisi Selatan Kota Ruteng yang menjadi ibukota kabupaten Manggarai .
Puncaknya yang tertinggi adalah Ranaka, setinggi 2400 meter dari permukaan tanah
dan merupakan puncak paling tinggi di Manggarai.
[2]
kata bahasa Manggarai yang berarti pirang. Nggera merupakan sebutan orang-orang
Manggarai terhadap orang Belanda
[3]
Puni adalah sebuah tempat di kota Ruteng yang terletak persis di sebelah barat
Gereja Katedral Maria Asumpta Ruteng. Pada masa pemberontakan Ame Numpung,
tempat ini digunakan sebagai pusat pemerintahan Administratif Belanda di
Manggarai.
[4]
Berjarak sekitar 3 km dari pusat kota, Ruteng Pu’u masuk dalam Kelurahan Golo
Dukal, Kecamatan langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Kampung ini merupakan
asal-muasal kota Ruteng yang menjadi ibukota kabupaten Manggarai. Beberapa
sumber menyebut Ruteng memiliki arti Beringin.
[5]
Mezbah dari tumpukan yang dibangun di tengah kampung. Semua kampung tradisional
di Manggarai memiliki compang yang berfungsi sebagai tempat persembahan bagi
leluhur.
[6]
ladang
[7]
sebutan lain untuk tanah Manggarai.
[8]
panggilan untuk paman, kakak dari ayah. Ema tu’a bisa juga untuk menyebut
kakek.
[9]
sangat mungkin adalah kota Reo yang berada di pesisir Selatan Manggarai.
Penduduk wilayah ini merupakan bauran dari orang-orang pribumi dan masyarakat
keturunan Bima dan Makassar.
[10]
Kesultanan di Pulau Sumbawa, NTB.
[11]
Kesultanan ini terletak di Sulawesi Selatan. Disebut sebagai kerajaan paling
besar dan sukses dengan Sultannya yang paling terkenal, Hassanudin, yang
berjuluk Ayam Jantan dari Timur
[12]
Terletak di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai. Jejak Kerajaan Todo masih
bisa dijumpai hingga saat ini berupa rumah adat serta peninggalan kerajaan.
[13]
Semacam kecamatan. Pembagian wilayah Nuca Lale berdasarkan Kedaluan terjadi
setelah Manggarai berada dibawah pengaruh Kesultanan Bima
[14]
Pemimpin umum dan pemuka adat dalam suatu kampung
[15]
Ritual adat kematian masyarakat Manggarai.
[16]
sulung
[17] Sebutan kepada kakak dari ayah. Namun dalam
keseharian, sering dimanfaatkan untuk memanggil seseorang yang telah lanjut
[18] Sebuah
dusun kecil yang terletak di desa Golo Langkok, Kecamatan Rahong Utara.
[19] Bentuk
ladang atau persawahan orang Manggarai akibat sistem
pengaturan besaran tanah lingko disebut lodok.
[20]
Tuak Putih adalah minum khas masyarakat Manggarai yang mengandung kadar alkohol
yang rendah.
[21]
Upacara yang dilakukan masyarakat Manggarai untuk memanggil roh air agar turut
berkumpul di kampung untuk merayakan Penti. Air memiliki tempat yang sangat
penting dalam kebudayaan masyarakat Manggarai.
[22]
Upacara syukuran setelah panen.
[23] Sisi keperkasaan dan ilmu yang dimiliki oleh Ame Numpung dan
kakaknya Lalong Bakok, membuatnya sering dikait-kaitkan dengan Ndewa di
Golomori. Diduga ayah dari Ema Numpung berasal dari keturunan Ndewa di
Golomori. Ibu dari Motang Rua berasal dari Narang keturunan Todo. Sedangkan, Motang Rua adalah salah satu keturunan
dari Todo, keturunan berdasarkan silsilah matrilineal.
[24]
Sebutan lain untuk Nirwana atau surga. Selain berasal dari Minankabau dan Gowa,
masyarakat Manggarai juga meyakini bahwa nenek moyang orang Asli Manggarai
bernama Sanga Ndewa yang langsung turun dari langit.
[25] Sebagian besar kaum pria Manggarai memiliki
kebiasaan menguyah tembakau. Tembakau yang dikunyah itu disebut mbako cecu.
[26] Tempat tinggal para tetua adat dalam satu garis keturunan
seperti tua golo, tua teno, tua panga juga sebagai tempat untuk bermusyawarah
dalam menyelesaikan berbagai persoalan kampung.
[27]
senandung
[28]
pandan.
[29]
sirih pinang.
[30] Makanan khas Belanda berupa sop ikan laut
maupun tawar
[31]
Area prostitusi berusia yang sudah ada sejak abad ke 14 di jantung kota
Amsterdam.
[32]
Sungai besar di Jakarta.
Komentar
Posting Komentar