Coba tulis novel ah...

Salah satu impian saya adalah menjadi  penulis novel. Yepp! Penulis novel. Waktu-waku luang yang saya punya belakangan ini saya maksimalkan untuk mulai menulis. Satu kalimat, dua kalimat, satu paragraf, dua paragraf. perlahan-lahan menjadi bukit.


Kata seorang kawan, certa yang saya bikin ini masuk kategori entografis. Karena itu saya harus punya usaha ekstra untuk melakukan riset (setidaknya mengumpulkan bahan-bahan yang bertebar di google), serta melakukan rekonstruksi kehidupan yang menjadi background cerita yang saya buat itu. Hadehhh!! ribet yak! Begitulah. Tapi saya senang.

Tulisan cerita itu baru masuk bagian enam. Masih jauh dari kata selesai. Tapi,  mumpung otak masih dan hati masih menggelorakan semangat untuk menulis. Ayoo kebut! Hehehehe. Apakah nanti cerita ini akan diterima penerbit? Apakah mereka anggap layak? Entahlah. Yang penting, tulis dulu. Usaha dulu. Sisanya Tuhan yang atur. Hehehehe.

Oh iya. Judul cerita yang saya buat ini adalah "BARA DI ATAS NUCA LALE" (Dibaca dengan gaya khas suara narator drama radio Tutur Tinular). Mau tau ceritanya? Saya kasih sedikit yak!

Cekidot!

1




Pegunungan Mandosawu[1] berbaris di sepanjang sisi timur hingga ke selatan. Di saat menjelang malam seperti ini, barisan gunung itu tampak bagai sesosok raksasa yang tengah tidur menelungkup. Bayangannya hampir menutupi hamparan lembah maha luas yang membentang di bawahnya.

Lembah itu menurun dengan landai mengarah ke utara hingga bertemu dengan jejeran pegunungan yang lain. Beberapa rekahan bumi terlihat di sana-sini, membentuk ngarai curam yang diselimuti pepohonan dan semak belukar.  Dari ketinggian, daerah tersebut seperti sebuah benteng super masif yang dibentuk alam, dengan pengunungan yang menjulang di segala sisi sebagai dindingnya.

Jauh di salah satu ceruk lembah besar itu, Ranjing berjalan tergesa-gesa. Matanya yang awas memastikan langkahnya tetap pada setapak yang hampir tak terlihat karena tertutup rerumputan liar. Sementara matahari senja semakin kemerahan lantaran sebentar lagi malam tiba. Sinarnya melemah, meredup, lalu kegelapan menguasai jagad raya.

Hembusan angin dingin yang datang dari puncak pegunungan terasa menusuk tulang. Namun Ranjing tak berniat memperlambat langkahnya. Pemuda yang baru saja akil balig itu sedang mengemban tugas yang sangat penting. Kali ini, waktu adalah musuhnya. Langkahnya begitu cepat seolah tidak ingin sang waktu berpacu mendahuluinya.

Ranjing hanya punya waktu dua kali matahari terbit untuk sampai ke tempat tujuan. Sejak dua hari silam, pemuda itu berada di Ruteng untuk suatu alasan yang penting. Ranjing menjalankan tugas sebagai seorang telik sandi. Menyamar sebagai penjual sopi, itu mengunjungi kampung-kampung di lembah Pegunungan Mandosawu untuk mengumpulkan informasi mengenai kabar orang-orang jangkung nggera[2] yang akan mendirikan pemukiman di sebuah daerah bernama Puni[3].

Kabar itu semakin terang benderang tatkala Ranjing mencari informasi ke Ruteng Pu’u[4].  Di kampung yang banyak ditumbuhi pohon berringin yang terletak di sisi barat lembah itu, Ranjing menemukan bahwa desas desus itu bukan lagi kabar burung belaka.

 “Betul, kini orang-orang nggera itu tengah mengerahkan warga dikampung-kampung sekitaruntuk membuka sebuah lahan di Puni,” ujar seorang pria tua yang duduk berjuntai di atas compang[5], sebuah bangunan megalitik yang digunakan warga kampung Ruteng sebagai mezbah persembahan kepada leluhur mereka. Ranjing ada di situ, menyuguhkan dagangan sopi-nya kepada sang pria tua.

Raut muka seorang pria lain yang juga duduk di tempat itu tampak kesal. “Eng ta Ema, kenapa orang-orang kampung mau saja diperintah orang-orang asing itu,” celetuknya.

Si pria tua memandang ke arahnya. “Mereka datang bersama orang-orang dari Todo. Apa yang bisa kita lakukan?”

Pria itu langsung terdiam. Demikian pula Ranjing yang merekam baik-baik informasi itu dalam hatinya.

“Masalahnya, lantaran semua kaum pria dikerahkan untuk membuka lahan itu, mengumpulkan batu ,kayu dan berbagai bahan lainnya, lingko[6] kita menjadi terlantar karena tak ada lagi yang mengerjakannya,” pria itu angkat bicara lagi sebelum seteguk sopi meluncur melewati tenggorokannya.

“Ini hanya sementara. Setelah pemukiman mereka berdiri, kita dapat bekerja kembali di ladang kita lagi seperti biasa,” celetuk si pria tua.

“Mereka, orang-orang nggera itu, memaksa?” Ranjing kini tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.

“Entahlah.Tapi seluruh tetua dari kampung-kampung yang tersebar di wilayah ini telah diminta untuk bertemu dengan utusan orang-orang nggera itu. Setelah pertemuan itu, banyak kaum pria bergabung bersama dengan mereka untuk mendirikan pemukiman orang-orang nggera,” jawab si pria tua.

Ranjing bertanya-tanya dalam hatinya. Apa sebenarnya yang diinginkan orang-orang nggera itu di Nuca Lale[7], tanah leluhurnya itu? Dulu, sewaktu usianya belum genap 8 tahun, ia kerap disuguhi cerita mengenai orang-orang nggera itu dari ema tu’a nya. Sang ema tu’a[8] yang sering melakukan perjalanan ke Reok[9], suatu tempat di pesisir utara Nuca Lale, mendapatkan kisah orang nggera dari para penangkap ikan dari wilayah itu. Orang-orang Reok yang sebagian merupakan keturunan orang-orang Bima bahkan mengaku telah melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagai mana sosok orang-orang berperawakan besar itu.

Sang ema tu’a bercerita, beberapa tahun terakhir orang-orang ngera itu telah berhasil menguasai tanah Bima dan Gowa lantaran punya kesaktian yang luar biasa. Sultan Bima[10] dan Gowa[11] telah dibuat bertekuk lutut tak berdaya setelah perlawanan mereka dipatahkan dalam sejumlah perang. Ketika dua kerajaan itu sudah berada di bawah pegaruh mereka, hanya soal waktu saja mereka akan menjejakkan kaki di Nuca Lale. 

Selain itu, tersebar kabar orang-orang ngera itu juga bahkan telah memiliki bala tentara yang bermarkas di sebuah negeri yang berada di timur Nuca Lale. Negeri yang memiliki tiga danau ajaib.

“Mereka memiliki senjata semacam meriam kecil yang bisa digenggam dengan tangan. Parang maupun tombak yang kita miliki ini tidak ada bandingannya dengan benda mengerikan itu. Senjata tersebut begitu luar biasa sehingga siapa pun yang terkena semburannya akan mati dengan luka menganga pada tubuh,” kisah si ema tu’a terus terngiang di telinganya.

Ketika beranjak remaja, Ranjing menganggap semua kisah itu hanya karangan si ema tu’a. Sebuah dongeng sebelum tidur. Namun kini semuanya menjadi nyata. Orang-orang nggera itu telah berada di sini, di tanah yang sama tempatnya berpijak. Seketika seluruh tubuh Ranjing  bergidik.


---0---


Matahari baru sejengkal di atas sisi timur puncak pegunungan Mandosawu. Udara dingin masih mengigit. Embun pagi yang dengan ringkihnya bergantungan di daun-daun dan menyelimuti rerumputan liar bahkan belum mau menguap ke mega biru. Namun di hari yang masih pagi itu, sejumlah besar orang sudah tampak berdatangan ke areal lapang di Puni. Tumpukan rerumputan dan semak belukar yang disiangi sehari sebelumnya memenuhi udara dengan baunya yang khas.

Kumpulan besar orang-orang itu adalah masyarakat dari kampung-kampung di lembah Pegunungan Mandosawu. Pada masa Nuca Lale dipimpin oleh Kerajaan Todo[12], Raja Todo yang bergelar Kraeng Panga Adak Alo Todo, membagi wilayah kekuasaannya dalam 36 kedaluan[13]. Setiap kedaluan tersebut meliputi suatu kawasan tertentu dan membawahi yang sejumlah gendang atau kampung. Kampung-kampung yang tersebar di lembah pegunungan Mandosawu tergabung dalam Kedaluan Ruteng dengan Ruteng Pu’u sebagai pusat dari kedaluan tersebut.

Di antara kerumunan orang itu, beberapa kaum pria dengan bilah-bilah parang bermata tajam yang terselip di pinggang duduk melingkar dalam sebuah kelompok kecil. Ranjing berada di antara kumpulan orang-orang itu, memperhatikan raut wajah mereka terlihat enggan. Ranjing tahu alasannya. Alih-alih bekerja di tempat itu, mereka sebenarnya lebih memilih menghabiskan waktu di ladang masing-masing untuk mengumpulkan bahan makanan untuk dibawa pulang ke rumah.

“Sampai kapan kita harus bekerja mendirikan rumah bagi orang-orang nggera ini,” terdengar gerutu seseorang. Janggutnya yang tumbuh jarang dan dibiarkannya memanjang, menambah seram wajahnya yang masam itu.

“Kalau saja Tu’a Gendang[14] di kampungku tidak memberi ancaman denda bagi yang tidak mau ikut bekerja, sudah pasti aku tidak akan berada di sini,” keluhnya lagi.

Pria di sampingnya yang duduk memeluk lutut terpingkal seketika. “Tu’a Gendang-mu itu memberlakukan denda apa, Ranta?”

“Dua ekor babi bagi yang tidak mau ikut serta. Kau percaya itu?” ketus pria berjanggut jarang bernama Ranta itu.

“Kenapa tak kau bayar saja denda kalau kau tak mau ikut ke sini. Bukannya babi peliharaanmu cukup banyak,” temannya itu kembali menggodanya.

Wajah Ranta makin masam. “Itu untuk  acara Kelas[15] mertuaku bulan depan!”

Tidak hanya warga Kedaluan Ruteng saja yang bekerja membangun pemukiman untuk orang nggera. Ranjing mendapat informasi bahwa beberapa masyarakat dari kedaluan lain yang juga ikut serta. Mereka bahkan diperintahkan untuk mengantarkan bahan-bahan bangunan seperti balok-balok kayu, batang-batang bambu, serta berikat-ikat ijuk dan alang-alang. Padahal, jarak tempuh antara satu kedaluan dengan kedaluan yang lain tidaklah dekat. Membutuhkan usaha keras untuk menyusuri kontur geografis Nuca Lale yang berbukit-bukit serta penuh ngarai sambil membawa bawaan berat itu. Seseorang yang berasal dari Kuwu mengaku menghabiskan tiga hari untuk sampai ke Puni bersama delapan orang lain untuk mengantarkan ijuk. Ranjing terkesima. Kehadiran orang-orang nggera itu telah benar-benar merepotkan banyak orang.

Menjelang senja, Ranjing bergabung bersama beberapa orang yang tengah mengolah beberapa batang kayu berukuran besar untuk dijadikan balok-balok penyangga rumah. Selain memanfaatkan kapak, parang yang mereka gunakan berbentuk sedikit unik, tidak seberapa panjang namun lebih tebal dan jauh lebih berat dari parang biasa yang cenderung ramping dan memanjang. Itu adalah jenis parang yang digunakan khusus untuk membelah kayu besar menjadi bagian-bagian kecil sebelum diolah lebih lanjut menjadi batang-batang balok. ukurannya yang besar dan berat memberikan tekanan yang lebih baik sehingga pekerjaan membelah terasa lebih mudah.

“Adakah para orang nggera tersebut berada di sini saat ini? Aku penasaran melihat rupa mereka,” tanya Ranjing kepada seseorang yang sibuk bekerja di sebelahnya.

Aeeh, ole ite, sejak beberapa hari bekerja bekerja di sini, belum sekalipun mereka terlihat. Sejujurnya, aku juga penasaran seperti apa rupa mereka. Rupanya mereka hanya datang menemui Dalu dan sekalian tu’a di sini untuk meminta masyarakat membangun pemukiman mereka. Setelah itu mereka kembali ke Todo,” jawab orang itu. Ranjing menebak, usia orang tersebut sedikit lebih muda dari dirinya.

Pembicaraan mereka rupanya disimak oeh oleh seorang pria lain yang berada di situ. “Anak ngaso[16]-ku mengaku melihat orang-orang nggera itu ketika mereka datang untuk memeriksa  lahan ini. Katanya, mereka itu berperawakan sangat tinggi. Kulit mereka putih seperti getah batang daeng. Beberapa dari mereka mengendarai kuda,” ia bercerita.

Ranjing kembali teringat kisah ema tu’a[17]-nya. “Mereka membawa semacam meriam yang digenggam dengan tangan?” tanyanya penasaran.

“Anakku tidak melihat benda yang kau maksud itu. Namun cara berpakaian mereka tidak seperti kita. Mereka tidak tengge towe atau sesek sapu.  Kaki mereka tertutup seluruhnya dengan sesuatu yang entah apa namanya. Tapi tampaknya sesuatu itu melindungi kaki mereka agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah.”

Cukup, aku harus segera kembali ke Beokina[18]. Ranjing berkata dalam hati lalu meninggalkan begitu saja mereka yang terbengong ketika melihatnya begitu saja menghilang di balik rumpun Sensus yang tumbuh tidak jauh dari tempat mereka bekerja.

“Siapa pemuda itu?”

“Entahlah, tampaknya bukan orang dari sekitar sini. Tapi ia sempat memperkenalkan namanya. Ranjing.”

------------


Beokina adalah sebuah kampung kecil yang menjadi bagian dari Kedaluan Rahong. Terletak di punggung salah satu bukit yang tersebar di wilayah itu, tidak mengherankan jika hawa dingin telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat kampung.

Seperti halnya masyarakat lain yang mendiami pedalaman Nuca Lale, orang Beo Kina menggantungkan hidupnya pada ladang-ladang di tanah ulayat kampung mereka. Sepanjang hari mereka menghabiskan waktu mengolah  ladang  yang yang berbentuk unik seperti sarang laba-laba[19] itu.  Pada waktu-waktu tertentu, ketika musim tanam telah lewat, mereka melakukan pekerjaan lain untuk sekadar menambah bekal bahan makanan.

Sementara kaum wanita merawat anak-anak di rumah, para pria menjelajahi hutan sembari berharap menemukan hewan buruan seperti babi hutan, ayam hutan, atau monyet. Atau jika beruntung, mereka bisa menemukan koloni lebah hutan dengan kandungan madu yang berlimpah.

Pante tuak adalah pekerjaan sambilan lain yang dikerjakan masyarakat Beokina jika tidak sedang sibuk di ladang.  Pada hamparan hutan luas di sekitar kampung, tumbuh pohon Enau yang menghasilkan cairan keputih-putihan yang terasa manis sepat. Orang sering mengumpukan cairan putih tersebut untuk dijadikan minuman. Tuak bakok[20], begitu mereka menyebutnya, adalah jenis minuman yang sangat digemari, walau akan memabukkan jika terlalu banyak dikonsumsi.

Beberapa bahkan mengolah lebih lanjut dengan menyuling uap tuak bakok yang dididihkan dalam sebuah wadah besar. Hasil sulingan ini disebut sopi. Rasanya keras bukan main dan sangat memabukkan. Bagi yang tidak biasa, seteguk saja bisa membuat badan terasa melayang-layang, atau muntah habis-habisan dengan isi perut yang terkuras habis. Efek rasa hangat pada tubuh tubuh ketika minum sopi membuat minuman keras ini juga dimanfaatkan sebagai penangkal hawa dingin.

Sopi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat yang mendiami ujung barat Pulau Bunga itu. Saat sebuah kampung kedatangan tamu terhormat, misalnya, ia akan disambut dengan sebuah kepok manuk bakok dan sopi. Disandingkan dengan daging babi bakar, minuman ini juga kerap disuguhkan pada acara-acara adat seperti teing hang, Barong Wae[21] menjelang pelaksanaan Penti[22], acara perkawinan, kelahiran hingga kematian.

---0---

Malam ini seperti malam lainnya. Dunia sunyi senyap di bawah kerlipan jutaan bintang yang menghiasi kelamnya langit.  Serangga malam berbunyi bersahut-sahutan, seakan tengah melantunkan syair-syair kehidupan dengan bahasa yang tak dapat dimengerti. Sesekali anjing melolong di kejauhan. terdengar seperti ratapan ketakutan karena sang kematian bisa hadir kapan saja. Beokina layaknya kota mati karena segenap penghuninya telah larut dalam alam mimpi. Namun tidak semua orang telah terlelap dalam tidur. Ame Numpung masih berdiri di halaman luas di depan kediamannya, memandang ke langit seolah berusaha menghitung jumlah bintang.

Bagi masyarakat kampung Beokina, pria 40-an tahun berperawakan kecil ini bukan orang biasa. Selain menjabat sebagai kepala kampung, Ame Numpung yang selalu mengenakan ikat kepala dari sepotong kain berwarna coklat kelabu ini adalah orang yang dipenuhi misteri.

Ada kisah mistis tentang Ame Numpung yang tersebar di kalangan orang-orang Beo Kina. Menurut cerita orang-orang tua di kampung itu, Ame Numpung adalah anak dari Laki Rae yang merupakan keturunan manusia langit atau Ndewa[23] yang datang dari Golomori[24] ini, sebuah tempat yang berada di batas paling barat dari tanah yang mereka diami ini. Karena keturunan ndewa, Ame Numpung menguasai berbagai kemampuan supranatural. Salah satunya adalah mbeko pepot, sebuah  kemampuan yang membuatnya untuk menghilangkan diri.

Pria itu juga diyakini menyimpan sebuah senjata pusaka yang selalu terselip di balik baju lusuhnya. Senjata itu adalah sebilah cola atau kapak.  Asal muasal kapak pusaka Ame Numpung itu adalah sebuah kisah menarik yang kerap diceritakan orang-orang tua di kampung itu kepada anak-anak mereka. Konon, senjata itu ia dapatkan dalam sebuah perburuan, ketika bertarung habis-habisan dengan seekor babi hutan besar dengan empat taring mengerikan yang mencuat dari mulutnya. Ame Numpung bertarung seperti kesetanan dan berhasil mengalahkan babi hutan itu. Ketika perut babi hutan itu dibelah, tampak sebuah kapak yang menyembul di antara jeroannya. Ame Numpung kemudian mengambil benda itu dan menyelipkannya ke dalam baju. Peristiwa pertarungannya dengan hewan buas itu kemudian membuat Ame Numpung mendapat sebuah julukan yang menandakan keperkasaan - “Motang Rua.

Banyak orang kampung yang penasaran akan kebenaran cerita tersebut. Namun untuk menanyakan langsung kepada Ame Numpung, mereka sungkan. Hingga suatu ketika, karena rasa penasaran, seorang anak kecil memberanikan diri mendekati Ame Numpung yang tengah bergegas menuju ke ladangnya.

“Ema, betulkah ema memiliki kapak sakti yang disembunyikan di balik baju? Kata orang-orang, kapak itu ema dapat dari perut Motang,” anak itu bertanya.

Ame Numpung tersenyum, mengelus kepala anak itu dengan tangannya yang kasar.

“Bagaimana menurutmu?”

Anak itu hanya tersenyum lalu mempersilakan Ame Numpung melanjutkan perjalanannnya.

Tak seorang pun yang pernah melihat wujud senjata cola itu. Bahkan istri dan anak-anak dan segenap keluarga Ame Numpung tak pernah sekalipun mendapati Ame Numpung menimang-nimang atau membersihkan senjata itu layaknya kebanyakan orang lakukan terhadap benda kesayangan mereka. Namun demikian, mereka tetap yakin. Mereka meyakini keberadaan cola tersebut, seperti halnya mereka meyakini keberadaan roh-roh leluhur yang mendiami batu compang di tengah kampung mereka. Ame Numpung dan senjata cola-nya itu adalah harapan sekaligus tumpuan segenap masyarakat Beo Kina yang akan melindungi mereka dari segala ancaman yang datang merongrong kampung kecil mereka itu.

Tidak seperti biasa, malam itu Ame Numpung tak bisa tidur. Meskipun seharian telah menguras tenaga dengan menyiangi rumput-rumput di ladang, serta menebang beberapa batang pohon untuk dijadikan kayu api, raganya yang lelah itu tak mau juga diajak beristirahat. Ia kembali mengunyah serutan-serutan daun tembakau kering yang berada di mulutnya.  Gumpalan mbako cecu[25] itu dipegangnya sebentar, digosokkan ke gigi-giginya, lalu dikunyah lagi.

Berdiri terpaku menantang malam, pikiran Ame Numpung  sama sibuknya dengan mulutnya. Berhari-hari yang lalu ia mengutus Ranjing, salah satu pemuda di kampung itu untuk memantau keadaan Kedaluan Ruteng. Kini ia sangat menantikan kedatangan pemuda itu, sembari berharap ada berita berarti yang datang bersama dirinya. Ame Numpung bukannya tanpa alasan menyuruh pemuda itu melakukan perjalanan berat seorang diri menuju Ruteng. Paci Ame Rami, seorang sahabatnya dari Kedaluan Lelak telah memberinya kabar yang sangat penting mengenai apa yang tengah terjadi di Nuca Lale.

“Orang-orang nggera diketahui telah datang dari negeri danau tiga warna, berlabuh di Mborong dan telah sampai ke Todo untuk menemui Sang Raja, Kraeng Panga Adak Alo Todo,” ucap Paci Ame Rami tanpa basa-basi setelah beristirahat sejenak karena baru saja melakukan perjalanan panjang dari Lelak untuk menemui Ame Numpung.

“Orang-orang nggera? siapa mereka?” Ame Numpung penasaran mendengar kabar dari sahabatnya itu.

“Mereka adalah orang-orang dari ujung bumi. Orang-orang ini luar biasa. Mereka telah menguasai Kerajaan Bima. Bahkan Gowa sekalipun telah tunduk pada mereka. Kini mereka masuk ke tanah kita untuk menguasainya. Mereka meminta Raja Todo untuk mencarikan tempat bagi mereka untuk mendirikan pusat pemerintahan mereka di Nuca Lale, ” jawab Paci Ame Rami tanpa bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.

Ame Numpung menangkap keresahan sahabatnya. Jauh dalam hatinya, Ame Numpung merasa dengan kabar berita yangmeluncur dari mulut Paci Ame Rami itu bukan hal yang baik. tapi ia tak mau gegabah.

“Lantas apa yang Kraeng Panga Adak Alo Todo lakukan terhadap orang-orang Ngera ini. Beliau diam saja? Tapi tunggu dulu, dari mana kau dapat berita ini, sahabatku?” Ame Numpung berhati-hati mencerna informasi Paci Ame Rami. Sebagai orang yang dekat dengan Kerajaan Todo, ia tidak ingin hubungannya dengan pejabat-pejabat kerajaan, terlebih dengan Yang Mulia Kraeng Panga Adak Alo Todo menjadi terganggu akibat hal ini.

“Ini bukan kabar angin, Ame Numpung sahabatku,” tegas Paci Ame Rami. “Kau ingat rencana Kerajaan untuk menggelar Penti Mese setelah musim panen mendatang? Beberapa waktu yang lalu aku menemani Dalu Lelak ke Todo bertemu Kraeng Panga Adak Alo Todo untuk membicarakan persiapan acara ini. Bersama kami juga hadir para utusan dari kedaluan lain, termasuk dari dari Kuwu dan Ruteng. Si saat bersamaan rombongan orang-orang Ngera datang untuk menemui raja dan mengajukan permintaan mereka.”

Ame Numpung penasaran, bagaimana orang-orang Nggera ini mengetahui keberadaan Kerajaan Todo yang menjadi kepala dari segenap Kedaluan di tanah Nuca Lale ini. Namun sebelum sempat bertanya, Paci Ame Rami sudah bicara lagi.

“Penguasa Bima yang mengatakan kepada orang-orang Nggera untuk bertemu Kraeng Panga Adak Alo Todo. Mereka bahkan menunjukkan tempatnya pada orang-orang nggera itu. Menurutmu, datang dengan segel Kesultanan Bima, bagaimana beliau akan memperlakukan orang-orang asing tersebut?”

Ame Numpung diam seribu bahasa. Ruang luas Mbaru Gendang[26] tempat Ame Numpung dan keluarganya tinggal menjadi sunyi tanpa suara.  Istri Ame Numpung telah menyuruh anak-anak untuk masuk ke bilik masing-masing, agar tidak menggangu kedua sahabat lama yang sedang bercengkerama itu. Kebisuan Ame Numpung mendengar kabar Paci Ame Rami semakin menambah sepi rumah itu.

“Lantas apa yang akan kita lakukan?” Paci Ame Rami kembali buka suara.

“Entahlah. Kita menunggu,” jawab Ame Numpung sekenanya. Pikirannya masih bergejolak mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah orang-orang Nggera berada di Nuca Lale. Dengan menyetujui kehendak orang asing itu, berarti Kraeng Panga Adak Alo Todo secara tidak langsung tunduk kepada mereka. Bahkan lebih gawat lagi, orang-orang asing itu mungkin saja telah mengambil alih kekuasaan atas negeri ini. Memikirkan itu membuat gigi Ame Numpung bergemertak menahan amarah.

“Menunggu? Jauh-jauh aku datang untuk menyampaikan kabar ini, dan hanya jawaban ‘menunggu’ yang aku dapat, sahabatku? Kita lawan! Ini tanah kita, Tana Kuni agu Kalo kepunyaan leluhur kita yang diwariskan secara turun temurun. Tanah yang dikaruniakan kepada kita oleh Mori Bate Jari agu Dedek. Kita akan berdosa berat jika kita tak mempertahankan tanah leluhur kita ini dari mereka yang ingin menguasai secara semena-mena.

Tunduk kepada penguasa Bima saja sudah membuat aku jengah. Apalagi harus ‘iyo’ kepada orang-orang yang entah darimana itu,” Tampak jelas aura kemarahan yang meletup-meletup dari wajah Paci Ami Rami yang menegang. Namun didepan sahabatnya itu, ia tetap menjaga perilakunya agar tetap tenang.

Ame Numpung memandangi sahabatnya. “Aku mengerti kerisauanmu, sahabatku Paci Ame Rami. Akupun demikian. Tapi aku tak mau gegabah. Bukankah kau sendiri yang menceritakan, bahkan Gowa dan Bima sekalipun bertekuk lutut di hadapan mereka? Lantas apa artinya kita ini? Baiklah kita melakukan konsolidasi dahulu dengan mengumpulkan semua orang yang berpikiran sama dengan kita. Kita harus berhitung, sahabatku. Berhitung mengenai kekuatan yang kita miliki dan juga kekuatan lawan yang akan kita hadapi. Semangat cinta tanah air itu perlu, tapi tanpa kekuatan yang memadai, perlawanan kita akan sia-sia.”

Paci Ame Rami menyimak perkataan sahabatnya.

“Setelah pembicaraan ini, aku akan mengutus seseorang untuk mengumpulkan informasi di Kedaluan Ruteng, termasuk menilik seberapa besar kekuatan orang-orang nggera ini. Sementara kau, sahabatku, ada baiknya kau juga mendatangi berapa kedaluan lain untuk menyampaikan informasi ini. Lihat reaksi mereka. Jika sepaham dengan kita, ajaklah mereka untuk menjadi bagian dari kekuatan kita. Sembari itu, kita juga harus menimbang segala hal, termasuk yang paling buruk yakni membangun pusat pertahanan kita jika seandainya pecah perang.”

Paci Ame Rami memandang sahabatnya dan mengagumi kebijaksanaanya. “Baiklah Ame Numpung. Soal menghubungi kedaluan lain, sudah kulakukan dengan mengirim beberapa utusan untuk menyampaikan kabar ini. Seminggu dari sekarang, kita bersama orang-orang dari kedaluan lain harus bertemu lagi di sebuah tempat yang telah ditentukan. Dari situ kita akan mengetahui seberapa besar kekuatan yang kita miliki dan membicarakan langkah-langkah selanjutnya.”

Pembicaraan kedua sahabat lama itu terus berlanjut ke hal-hal lain yang tidak serius. Gelak tawa mereka berdua membuat saudara-saudara Ame Numpung  yang juga menghuni Mbaru Gendang itu kemudian bergabung bersama mereka. Sopi terbaik pun disuguhkan, dan mereka kemudian larut dalam gembira sembari ber-nenggo[27] dan melantunkan syair-syair kuno.

Menunggu, hanya itu yang dapat dilakukan Ame Numpung saat ini. Ini malam kelima sejak Ame Numpung mengutus Ranjing untuk memata-matai Kedaluan Ruteng. Meski ia yakin anak itu adalah orang paling bisa dipercaya, serta memiliki ketangkasan yang cukup untuk jenis pekerjaan itu, namun ia masih menyimpan rasa kekhawatirannya. Ranjing terlalu muda dan sayangnya memiliki semangat yang kelewat besar dibandingkan usianya.

Ketika Ame Numpung menggelar rapat di Mbaru Gendang untuk memberitahu masyarakat Beokina mengenai masalah yang sedang berkembang, Ranjing dengan sukarela mengajukan diri untuk memata-matai Ruteng. Awalnya Ame Numpung, dan tentu saja kedua orang tua Ranjing, tidak setuju jika anak itu yang menjalankan tugas sebagai telik sandi. Namun tidak ada gunanya mengekang anak muda dengan gelora membara. Ranjing berkeras, Ame Numpung menyerah. 

Kini Ame Numpung menantikan kehadiran anak itu dengan harap-harap cemas. Sebelum matahari terbit besok, Ame Numpung harus segera menuju ke tempat yang telah ditentukan untuk bertemu Paci Ame Rami dan orang-orang lain. Namun tanpa informasi dari Ranjing, kedatangan Ame Numpung ke tempat itu tidak akan banyak membantu. Meski anak itu belum tampak batang hidungnya, namun Ame Numpung masih menyimpan harapan, sekaligus merasa kesal dan menyalahi diri sendiri lantaran telah mempercayakan sebuah pekerjaan penting pada seorang anak kecil.

Baru saja Ame Numpung hendak masuk rumah untuk mencoba menuntaskan tidur yang tak jua mau hadir itu, derap langkah dari kejauhan menghentikannya. Ame Numpung menoleh, berusaha mengfokuskan pandangannya menembus gelapnya malam. Langkah itu semakin dekat, dalam gelap Ame Numpung menangkap sosok yang bergerak dalam gelap menuju kepadanya.

“Ranjing? Kaukah itu?” Ame Numpung bertanya kepada gelap.

“Ema, aku ho’o,” suara menyahut dari kegelapan malam.

Ame Numpung mengenali suara itu segera menyambut Ranjing yang kuyup oleh peluh. Anak muda itu terlihat lemah, kakinya berdarah oleh luka-luka sobek. Sementara pakaian yang dikenakannya dipenuhi lumpur kering bercampur peluh yang menciptakan bau anyir yang menusuk hidung. Setelah memapah Ranjing masuk ke dalam rumah, Ame Numpung segera menggapai sebuah kendi berisi air. Suara gaduh yang mereka ciptakan membangunkan seisi rumah. Mereka kemudian berkumpul di sekitar Ranjing yang masih terlihat kelelahan.

“Aku berjalan tanpa henti dua hari dua malam,” Ranjing berkata disela-sela dengusan napasnya yang terputus-putus. “Luka-luka ini aku dapatkan karena berkali-kali tergelincir jatuh menembus malam. Aku tak ingin sisa waktu yang kupunyai terbuang percuma karena harus beristirahat,” katanya lagi.

“Istirahatlah dahulu, setelah kau membaik baru kita lanjutkan pembicaraan,” Ame Numpung memotong. Ia terharu dengan keuletan anak itu.

Tanpa diperintah seorang anak perempuan Ame Numpung bergegas menyiapkan sebuah wadah air agar Ranjing bisa membersihkan tubuhnya. Sehelai kain sarung baru juga ia sediakan untuk mengganti pakaian Ranjing yang telah dekil.

“Tidak,” sanggah Ranjing. Matanya yang lelah menghujam Ame Numpung dengan pandangan yang tajam namun menyedihkan. ”Sia-sia aku habis-habisan seperti ini jika harus menunggu pagi.”

Dengan tetap terengah-engah Ranjing meceritakan apa yang dilihatnya di Ruteng. Tentang sebuah lahan yang dibuka di Puni, tentang warga yang dikerahkan untuk membangun pemukiman untuk orang-orang nggera, serta semua informasi lain yang diperolehnya selama menyamar jadi penjual sopi.

Ame Numpung menyimak dengan cermat kisah yang meluncur dari mulut Ranjing. Pikirannya semakin bergejolak. Kabar yang disampaikan sahabatnya Paci Ame Rami ditambahkan kesaksian Ranjing semakin membuat kepalanya pening. Harus segera bergerak, katanya kepada diri sendiri.

“Kau lihat orang-orang nggera itu?” Ame Numpung penasaran.

Sekilas wajah Ranjing tampak menunjukkan penyesalan. “Tidak, mereka telah kembali ke Todo saat aku ikut bergabung bersama masyarakat bekerja di Puni.”

“Jadi kita tidak tahu kekuatan mereka,” Ame Numpung menerawang ke langit-langit rumah.

“Maafkan aku. Tapi, aku bisa ke Todo besok pagi untuk memata-matai orang nggera itu,” jawab Ranjing.

“Tidak perlu. Engkau masih lemah. Jika mereka masih di Todo, kita akan mengetahui jumlah mereka dengan mudah,” Ame Numpung mengetus.


---0---


Willem Van Jaap menselonjorkan kakinya pada batu-batu pipih yang disusun sedemikian rupa membentuk setapak yang memutari sebuah tanah lapang berumput yang dirawat dengan baik. Sejak pagi tadi dia hanya duduk saja di situ, memunggungi bangunan-bangunan besar berbentuk kerucut dengan sebagian besar strukturnya adalah atap dari ijuk dan alang-alang. Sementara pandangannya mengarah ke barisan pegungungan yang berdiri menjulang di kejauhan.

Sebuah buku tulis kecil bersampul keras yang sudah kusam diletakkan begitu saja di pangkuannya. Willem tahu, tak jauh dari tempatnya duduk, anak-anak kecil bertelanjang dada memperhatikannya sambil tertawa cekikian. Beberapa kaum wanita juga mencuri pandang kepadanya di sela-sela aktivitas mereka menganyam tikar re’a[28]. Sesekali ia memandang ke arah mereka, mengulas senyum terbaik yang bisa ia berikan kepada mereka di pagi yang menjemukan itu. Para kaum wanita membalas senyum Willem dengan derai tawa yang khas, menunjukkan baris-baris gigi mereka yang telah berubah merah pekat akibat sering mengunyah cepa[29]

Melihat Willem yang tersenyum seperti bayi, anak-anak semakin mendekat padanya. Ia melihat mulut anak-anak itu menggumamkan kata-kata yang tak dapat ia mengerti. Namun sejak ia menginjakkan kaki di tanah ini, satu frasa yang terus ia dengar dari orang-orang pribumi ini; “ata nggera, ata nggera…

Kom hier,” ujar Willem kepada anak-anak itu. “Kom hier, mijn kleine goede vrienden!”

Anak-anak itu melihat satu sama lain, lalu kembali tertawa sambil menutup mulut. Willem ikut terpingkal, meski sebenarnya tak mengerti apa yang anak-anak itu tertawakan. Ia mengangkat bahu karena kumpulan anak-anak tersebut tak lagi bergerak mendekat meski sudah ia panggil. Pandangannya kembali menerawang ke arah pegunungan. Sejurus kemudian ia mengeluarkan sebatang pensil dari saku bajunya, lalu mulai menulis di atas lembaran-lembaran buku yang sejak tadi menunggu dengan sabar di pangkuannya.


1 Juli 1909,

Minggu ketiga sejak rombongan ekspedisi kami berlayar dari Batavia dan sampai ke tanah antah berantah ini. Sedianya kami harus ke terlebih dahulu berlayar ke Makassar. Namun di hari-hari menjelang keberangkatan, pemerintah Belanda memutuskan agar kalmi langsung menuju Pulau yang oleh orang-orang Portugis dinamakan Tanjung Bunga ini. Perjalanan yang berat. Dua minggu di di dalam kapal rasanya bagai selamanya. Bahkan Frederik, salah satu anggota serdadu KNIL hendak terjun ke laut karena merasa tak kuat lagi setelah menguras seluruh isi perutnya saat kapal kami menghadapi badai sepanjang malam. Kembali menjejak tanah di Pelabuhan Ende bagai mendapat keajaiban dari langit. Padahal penderitaan yang baru kami rasakan selama perjalanan dari Batavia hanya setengahnya saja dari yang harus kami lalui.

Setelah berstirahat dua hari, kami dipaksa kembali naik kapal dan menyusuri pesisir selatan dari pulau ini.

Saat harus berjalan kaki berjam-jam menyusuri pegunungan, lembah, ngarai yang membuat kaki melepuh, aku teringat Amsterdam yang landai, dengan Sungai Amstel-nya yang tenang. Tak ada yang landai di sini, semuanya curam dengan turunan dan tanjakkan yang benar-benar menguras tenaga. Aku heran mengapa ada orang yang mau hidup di daerah dengan topografi mengerikan seperti ini.

Di sini, kami adalah orang asing. Asing dalam pengertian sebenarnya karena tak ada yang bisa disapa.  Aku ingat saat berjalan di sepanjang  kanal Herengracht, Keizergracht dan Prinsengracht, menjelang pergantian tahun. Semua saling bertegur sapa.

Apakah orang-orang di tempat ini merayakan tahun baru? Entahlah. Yang jelas saat ini aku merindukan rumah, rindu duduk menghadap meja kecil di ruang makan yang selalu ditata ibu dengan kain motif kotak-kotaknya. Rindu menyantap habis rebusan Waterzoi[30] yang dihidangkan ibu dalam sebuah piring sajian yang besar - hingga potongannya yang terakhir. Aku rindu suara si kecil Leo yang selalu berteriak riang di setiap ruang rumah kecil kita. Rindu akan hangatnya  suasana hati menghabiskan senja dengan duduk-duduk di Dam Square sambil memberi makan ratusan merpati yang ada di situ.

Tangan Willem tiba-tiba berhenti menulis. Segurat kerinduan menindihnya dengan begitu berat. Keputusan menjadi serdadu Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) telah menghempaskannya ke tanah di ujung bumi ini. Willem merasa menemukan dunianya ketika menempuh wajib militer. Karena itu, ia bertekad melanjutkannya.

Ketika ayahnya telah memintanya memikir ulang keputusannya untuk meniti karir di dunia militer, Willem terlanjur hanyut dengan gelora semangat mudanya. Keinginannya untuk terjun dalam dinas ketentaraan Belanda sebenarnya karena ia ingin menjelajahi dunia, setidaknya mengunjungi Hindia Belanda, sebuah negeri di belahan bumi lain yang menjadi koloni negerinya. Untuk itu, ia harus merelakan masa mudanya terbelenggu dalam dinas ketentaraan, sementara pemuda-pemuda sebayanya menghabiskan malam mengunjungi Der Wallen[31] dengan uang pas-pasan sembari berharap ada wanita yang bisa ‘dicicipi’.

Willem begitu girang ketika menjadi satu segelintir tentara yang diberangkatkan ke Hindia Belanda. Padahal jarang seorang perwira muda Belanda langsung ditempatkan di daerah jajahan. Sebagian besar tentara KNIL yang bertugas di Hindia Belanda sebenarnya adalah tentara bayaran yang berasal dari Perancis, Belgia, Jerman, Swiss, serta hasil rekrutan orang-orang pribumi. Kalau pun ada tentara Belanda di Hindia Belanda, mereka adalah tentara yang kedapatan disertier dan memilih bertugas di tempat itu dengan gaji bulanan yang cukup menjalani hukuman dengan mendekam di penjara.

Namun Willem tidak pernah melanggar satu peraturan pun. Ia adalah orang yang lurus dalam segala hal. Keterpilihan Willem sebagai salah seorang tentara yang bertugas di daerah jajahan dianggapnya sebagai takdir yang harus ia jalani. Namun tidak bagi ayahnya. Lelaki renta itu seperti kehilangan semangat hidup mendapati kenyataan satu-satunya anak laki-laki yang dimiliki memutuskan pergi ke ujung dunia untuk memadamkan pemberontakan yang tengah berkobar di negeri koloni Belanda. Ayahnya memang memiliki Leo, cucu laki-lakinya yang lahir dari kakak perempuan Willem. Namun hal itu tidak cukup.

Melihat suaminya merasa cemas hingga tak mau makan, ibu Willem membujuk anak laki-lakinya itu untuk keluar saja dari militer. Namun Willem berkeras. Demikian pula dengan ayahnya. Hingga hari ketika Willem menaiki kapal yang memberangkatkannya keseberang samudera, ayah anak itu tak bertegur sapa. Setahun di Batavia, Willem menulis surat kepada ayahnya. Ia juga menyelipkan sebuah foto dirinya yang sedang berpose memegang sepucuk karabin dengan latar sungai Ciliwung[32]. Namun ia tak pernah mendapat surat balasan.

“Apa yang sedang kau lamunankan?”

Willem terkejut lantaran Jacob sudah berada di sampingnya.

“Kau menulis diary?” Jacob melihat buku kusam di pangkuan Willem.

“Oh ini,” Willem terbata, “bukan apa-apa. Hanya sebuah tulisan kecil mengenai pengalaman selama berada di sini.”

Jacob, orang Belgia yang sudah empat tahun menjadi tentara KNIL itu mengangkat bahu. “Tuliskan tentang aku dalam diary mu itu. Siapa tahu aku mati di tanah ini. Mungkin kau bisa beritahu ibuku mengapa aku tak kembali ke rumah.”

“Tak ada yang akan mati, Jacob. Kita semua akan baik-baik saja. Setelah pusat pemerintahan sipil militer berdiri, kita hanya akan bertugas selama enam bulan lagi lalu kembali ke Batavia. Kau tahu, Aku bisa kembali ke Belanda secepatnya setelah kedatangan regu serdadu baru yang menggantikan. Demikian pula dengan dirimu. Tidakkah kau ingat tanah kelahiranmu di Belgia?” ujar Willem pada temannya itu.

“Entahlah. Segeralah bersiap. Kita akan kembali ke Ruteng pagi ini. Sial, padahal kakiku belum pulih setelah perjalanan yang melelahkan beberapa hari lalu,” Jacob menggerutu. Rambut pirangnya yang awut-awutan tampak berwarna keemasan ditimpa sinar matahari pagi.

------




[1] Barisan pegunungan ini berada di sisi Selatan Kota Ruteng  yang menjadi ibukota kabupaten Manggarai . Puncaknya yang tertinggi adalah Ranaka, setinggi 2400 meter dari permukaan tanah dan merupakan puncak paling tinggi di Manggarai.

[2] kata bahasa Manggarai yang berarti pirang. Nggera merupakan sebutan orang-orang Manggarai terhadap orang Belanda

[3] Puni adalah sebuah tempat di kota Ruteng yang terletak persis di sebelah barat Gereja Katedral Maria Asumpta Ruteng. Pada masa pemberontakan Ame Numpung, tempat ini digunakan sebagai pusat pemerintahan Administratif Belanda di Manggarai.

[4] Berjarak sekitar 3 km dari pusat kota, Ruteng Pu’u masuk dalam Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Kampung ini merupakan asal-muasal kota Ruteng yang menjadi ibukota kabupaten Manggarai. Beberapa sumber menyebut Ruteng  memiliki arti Beringin.

[5] Mezbah dari tumpukan yang dibangun di tengah kampung. Semua kampung tradisional di Manggarai memiliki compang yang berfungsi sebagai tempat persembahan bagi leluhur.

[6] ladang
[7] sebutan lain untuk tanah Manggarai.

[8] panggilan untuk paman, kakak dari ayah. Ema tu’a bisa juga untuk menyebut kakek.

[9] sangat mungkin adalah kota Reo yang berada di pesisir Selatan Manggarai. Penduduk wilayah ini merupakan bauran dari orang-orang pribumi dan masyarakat keturunan Bima dan Makassar.

[10] Kesultanan di Pulau Sumbawa, NTB.

[11] Kesultanan ini terletak di Sulawesi Selatan. Disebut sebagai kerajaan paling besar dan sukses dengan Sultannya yang paling terkenal, Hassanudin, yang berjuluk Ayam Jantan dari Timur
[12] Terletak di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai. Jejak Kerajaan Todo masih bisa dijumpai hingga saat ini berupa rumah adat serta peninggalan kerajaan.

[13] Semacam kecamatan. Pembagian wilayah Nuca Lale berdasarkan Kedaluan terjadi setelah Manggarai berada dibawah pengaruh Kesultanan Bima
[14] Pemimpin umum dan pemuka adat dalam suatu kampung

[15] Ritual adat kematian masyarakat Manggarai.

[16] sulung

[17]  Sebutan kepada kakak dari ayah. Namun dalam keseharian, sering dimanfaatkan untuk memanggil seseorang yang telah lanjut
[18] Sebuah dusun kecil yang terletak di desa Golo Langkok, Kecamatan Rahong Utara.

[19] Bentuk ladang atau persawahan orang Manggarai akibat sistem pengaturan besaran tanah lingko disebut lodok


[20] Tuak Putih adalah minum khas masyarakat Manggarai yang mengandung kadar alkohol yang rendah.

[21] Upacara yang dilakukan masyarakat Manggarai untuk memanggil roh air agar turut berkumpul di kampung untuk merayakan Penti. Air memiliki tempat yang sangat penting dalam kebudayaan masyarakat Manggarai.

[22] Upacara syukuran setelah panen.

[23] Sisi keperkasaan dan ilmu yang dimiliki oleh Ame Numpung dan kakaknya Lalong Bakok, membuatnya sering dikait-kaitkan dengan Ndewa di Golomori. Diduga ayah dari Ema Numpung berasal dari keturunan Ndewa di Golomori. Ibu dari Motang Rua berasal dari Narang keturunan Todo. Sedangkan, Motang Rua adalah salah satu keturunan dari Todo, keturunan berdasarkan silsilah matrilineal.

[24] Sebutan lain untuk Nirwana atau surga. Selain berasal dari Minankabau dan Gowa, masyarakat Manggarai juga meyakini bahwa nenek moyang orang Asli Manggarai bernama Sanga Ndewa yang langsung turun dari langit.
[25]  Sebagian besar kaum pria Manggarai memiliki kebiasaan menguyah tembakau. Tembakau yang dikunyah itu disebut mbako cecu.
[26] Tempat tinggal para tetua adat dalam satu garis keturunan seperti tua golo, tua teno, tua panga juga sebagai tempat untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan kampung.

[27] senandung
[28] pandan.
[29] sirih pinang.
[30]  Makanan khas Belanda berupa sop ikan laut maupun tawar
[31] Area prostitusi berusia yang sudah ada sejak abad ke 14 di jantung kota Amsterdam.

[32] Sungai besar di Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

Proyek "Motang Rua"

The Godfathers