Sebuah Scene

"Setannnnnnnnnnn!!" Lucy berteriak sejadi-jadinya. Mukanya pucat pasi sementara tatapannya berapi-api menyorotkan kebencian yang amat sangat. Martin hanya duduk terpaku, diam tak menyangka istrinya sudah berdiri diambang pintu kamar mereka.
"Ini bukan seperti yang kau pikir, sayang," Martin tergagap sambil mencoba berdiri. Wanita di sebelahnya juga ikut bangkit dari tempat tidur lalu memunguti satu persatu pakaiannya yang tercecer di lantai.


Pandangan Lucy kini beralih kepada wanita di samping suaminya. Bibirnya bergetar, memaki wanita yang terus tertunduk sambil mencari-cari pakaiannya.
"Apa yang kau lakukan dengan suamiku, perempuan jalang..." rasa jijik seketika menyeruak dari perut Lucy melihat tubuh telanjang perempuan itu.


Lucy tetap terpaku di pintu kamar, seolah tak ingin membiarkan dua sosok yang berada di hadapannya melarikan diri. Sesungguhnya hatinya remuk redam. Martin, pria yang ia nikahi selama 5 tahun lalu itu ternyata menghianatinya. Perempuan telanjang itu buktinya. Keduanya berdua di kamar tidur tanpa sehelai benang menutupi tubuh mereka. Apalagi yang mereka lakukan kalau bukan saling menindih, bergulat satu sama lain untuk mendapatkan kepuasan. Hati Lucy makin teriris membayangkan hal itu. Kedua kakinya bagai hilang daya, tak kuat menopang tubuh. Kepalanya berputar. Sebuah godam tengah memukul-mukul tubuhnya, meremukkan dadanya, menghancurkan kepalanya hingga ia hilang bentuk.


"Sejak kapan... Martin, katakan... sejak kapan kalian berdua.." Suara Lucy yang parau memecah keheningan di ruangan berlapis wallpaper cream itu. Ruangan kamar yang sudah 5 tahun jadi saksi bisu pernikahan Lucy dan Martin. Kamar yang cukup luas itu adalah tempat favorit Lucy dari semua ruangan lain di rumah besar mereka. Di kamar itu Lucy merasa bisa menjadi dirinya sendiri, menunjukkan dirinya apa adanya kepada Martin. Ia menjadi penggoda, jadi manja, kekanak-kanakan, dan tanpa malu-malu mengitari seisi kamar dengan bertelanjang bebas. Ia tahu suaminya sering memperhatikannya kala tak sehelai benangpun menenmpel di tubuhnya. Semuanya lantas diakhiri dengan persetubuhan yang hangat. Lucy bahagia, Martin pun selalu terlihat bahagia di kamar mereka itu. Namun tidak hingga hari ini, saat sosok telanjang lain mencemari peraduan mereka.


Martin masih membisu. Ia tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Lucy. Matanya nanar mengiba, bagai anak kucing yang minta sepotong daging. Mulutnya terkatup rapat. Pikirannya yang bagai benang kusut  itu mencari-cari alasan yang tepat. Namun ia tahu sudah terlambat. Lucy sudah melihat semuanya, perselingkuhannya dengan perempuan lain.
"Biar aku jelaskan Lucy, aku.." Martin tercekat.
"Jawab saja Martin, sejak kapan?" Lucy berusaha terlihat tenang walau hatinya luluh lantak. Martin lalu bangkit, menggunakan selimut untuk menutup bagian bawah tubuhnya sambil mencoba mendekati Lucy. 
"Lucy, tolonglah tenang..."
"Bagaimana kau menyuruhku tenang setelah semua ini terjadi, Martin... bagaimana..."  Tangis Lucy pun pecah. Amarah dan kesedihan bercampur jadi satu.  Tubuhnya beguncang hebat hampir jatuh. Secepat kilat Martin menjangkau Lucy yang kelimpungan. Tangannya yang besar memeluk Lucy dengan erat agar tak sampai jatuh.


Dalam dekapan suaminya itu, Lucy meraung sejadi-jadinya. Pikirannya begitu kacau. Kenangan-kenangan manis bersama Martin datang dan pergi di pikirannya. Namun sebuah perselingkuhan telah mencabut habis kebahagiannya itu sampai ke akar-akarnya. Pikiran-pikiran itu saling bertabrakan.  


"Tak menarik lagi kah aku di matamu,  hingga kau berpaling?  Martin, aku mencintaimu.. lalu kenapa kau lakukan itu?" ungkap Lucy diantara derai tangisnya. 


Dalam dekapan Martin, Lucy terus menangis. Lalu entah dari mana, sebuah kekuatan mengalir di tangannya yang sudah lemas tak bertenaga . Lucy ingat sesuatu, lantas merogoh kedalam tas jinjing yang menempel di pinggangnya. Sesaat seudahnya, sebuah kelebat sinar mengiringi ayunan tangan Lucy. Wanita telanjang selingkuhan Martin berteriak histeris melihat sebuah pisau yang mengarah ke leher Martin...


"and CUT!!" sebuah teriakan menghentikan aksi Lucy
"well done.. well done" suara membahana diiringi derai tepuk tangan. "Aksi yang bagus Diana.. bagus sekali" Ungkap pria paruh baya bertopi yang sedari tadi duduk di kursi sutradara sembari menyaksikan adegan itu. "Sudah kaurekam semuannya?"  Pria di sampingnya mengangguk, "Kamera bekerja dengan baik, pak, "


"Oke sampai disini, break satu jam sebelum adegan selanjutnya," kata sang stradara sambil bangkit berdiri dari kursi kebesarannya. " Dan kau, cantik," serunya kepada Diana, "kau boleh pulang malam ini, take untukmu akan diambil dua hari dari sekarang," 


Diana tak memperhatikan. Ia terus larut dalam dekap peluk lelaki yang entah bernama Martin itu.


"Aktingmu sungguh memukau, Diana, aku bangga padamu," sang lelaki berbicara sambil berbisik. Diana tersenyum manja, memberikan kecupan kecil di kening sang lelaki dan kemudian membalas bisikannya.


"Ayo ke ruangan belakang,"


Lampu temaram di ruang keluarga  pada sebuah rumah belum juga padam. Harry kembali melongok sebuah jam kecil di samping sofa tempat ia duduk. "Sudah pukul 3 lewat, Diana belum pulang.." Ia bergumam sendiri. Matanya lalu tertuju pada sosok kecil yang tengah tertidur pulas di pangkuannya. "Ayo kita ke kamarmu nak, tampaknya rencana piknik kita besok gagal," ungkap Harry sambil membopong tubuh putrinya itu menuju tangga.
(joak sore hari...)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

Proyek "Motang Rua"

The Godfathers