Pesawat dan orang Indonesia

"Cepetan pak, " seru saya kepada sopir taxi agar memacu mobilnya lebih cepat. Dengan agak cemas saya lihat layar ponsel butut saya.... sudah jam 6 sore, sebentar lagi pesawat akan take off, dan sialnya,  taxi yang saya tumpangi bahkan belum melewati Plaza Ambarukmo. Entah mengapa, sedari tadi sang supir mengemudi begitu pelan. Dengan santai dia menyusuri jalanan kota Yogya yang sebenarnya tidak terlalu ramai sore itu. Ah, kalau saja dia mengemudi seperti ini di Jakarta, sirene dan makian pasti sudah saling sahut menyahut menyuruhnya agar lebih cepat.



"Pak bisa lebih cepat, ga....?"
"Iya mas,"

Saya tercekat, takut ketinggalan. Bisa gawat kalau saya ketinggalan pesawat ke Jakarta. Mana tiket promo lagi, ente telat, no refund. Kacau.

Akhirnya kelihatan juga gapura Bandara Adisucpto. Setelah Taxi berhenti persis di depan terminal keberangkatan, saya segera keluar sambil menyerahkan selembar lima puluh ribuan.  Tanpa menghiraukan sodoran kembalian dari sang sopir, setengah berlari saya bergegas  masuk terminal keberangkatan untuk check in.

Dari mbak-mbak yang berjaga di pintu keberangkatan saya mengetahui kalau pesawat yang akan saya tumpangi sedikit mengalami keterlambatan. Mungkin karena efek Merapi yang kemarin malam sempat menyemburkan debu, rute pesawat dari dan ke Yogyakartas pun diubah  untuk meminimalisir risiko.

Tibalah kejadian yang aneh sekaligus memalukan. Ya... memalukan. Sesaat setelah ada pemberitahuan bahwa pesawat yang akan saya tumpangi telah mendarat, tiba-tiba saja para penumpang yang sejurusan dengan saya berhamburan ke arah pintu keluar dan berdesak-desakan di situ.  Melihat kejadian itu saya jadi teringat dengan situasi di halte Komdak, Jakarta. Biasanya orang berebutan naik metro mini di situ, terlebih saat jam berangkat atau pulang kerja.

"What are they doing?" seloroh seorang bule kepadaku yang  -tentu saja - tidak ikut berdesak-desakan di depan pintu keluar itu. Saya hanya bisa tersenyum kecut. Malu. Malu melihat tingkah saudara senegriku yang emang malu-maluin.

Ketika pintu dibuka,  gerombolan calon penumpang tersebut belomba-lomba melewati pintu dan segera mencapai tangga menuju pesawat. Sementara mbak penjaga pintu terlihat begitu kewalahan memeriksa tiket  setiap penumpang yang lewat.

"Don't they know that the plane won't leave us behind?" tambah si bule lagi.

Entah apa maksud pertanyaan si bule tadi. Tapi saya yakin 100 persen, dia tengah mencemooh orang yang berdesak-desakan persis sedang berebut sembako itu. Sialan, maki saya dalam hati.

Penerbangan dari Yogyakarta ke Jakarta hanya butuh satu jam. Karena perjalanan ditempuh pada malam hari, tidak ada pemandangan yang bisa saya perhatikan dari jendela pesawat yang berukuran kecil itu. Jadi, saya tidur bisa saja dan tersadar sesaat setelah  guncangan kecil saat roda-roda pesawat menyentuh landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng.

"Permisi, mas," Seorang pria paruh baya meminta saya bergeser sedikit karena dia mau berdiri dari tempat duduknya di samping saya. Sembari bingung saya turuti saja pintahnya. Dalam hati saya meracau. Orang tua ini tolol apa memang tidak tahu? Bayangkan, pesawat masih bergerak dan lampu seat belt belum lagi menyala, pria tersebut bahkan sudah berdiri bersiap mengambil tasnya di bagasi bagian atas. Belum lagi ponsel di pinggangnya sudah bedering begitu kencang.

Rupanya bukan dia saja yang sudah berkemas sebelum waktu yang diperbolehkan. Sebagian besar penumpang bahkan sudah bedesak-desakan memenuhi lorong kecil bagian tengah pesawat. Ingatan saya kembali ke si bule yang bingung melihat desak-desakan yang terjadi di terminal keberangkatan tadi. Pasti saat ini dia sedang tertawa melihat tingkah orang-orang ini.

 Sialannnnnnnnnnnnnnn!!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

Proyek "Motang Rua"

The Godfathers