Kisah dari Perancis
Malakoff
commerce de nantes tak juga berhenti dengan deru dan lalulalang. mereka tergesa datang dan pergi demi mengkilah air yang menabur dari langit, terus membasuh atap lojiloji berabad dan tugutugu peringatan yang tak enggan bicara sedetikpun di tiap persimpangan… gelak anakanak dewasa menjelang, berlari-lari kecil dan berjingkatan seperti laron awal musim di negriku…bergumamgumam dalam katakata swasyoiuftvvueeooiieezz….terdengar seperti pepohonan pinus ditimbus. menari rok mini dengan sepatusepatu lengan panjang di atas batubatu maron…
commerce de nantes tak juga berhenti dengan deru dan lalulalang. mereka tergesa datang dan pergi demi mengkilah air yang menabur dari langit, terus membasuh atap lojiloji berabad dan tugutugu peringatan yang tak enggan bicara sedetikpun di tiap persimpangan… gelak anakanak dewasa menjelang, berlari-lari kecil dan berjingkatan seperti laron awal musim di negriku…bergumamgumam dalam katakata swasyoiuftvvueeooiieezz….terdengar seperti pepohonan pinus ditimbus. menari rok mini dengan sepatusepatu lengan panjang di atas batubatu maron…
semua yang bernafas jadi lembab bersama tramtram yang mendentangdentang, bergerak seperti ular yang muntah dan melahapi mereka kembali. sebab oleh musim tak ada yang bisa dilakukan, orang cuma bisa pasrah sepanjang sejarah dengan kisarannya…di bawah matahari semua telah usang: mesin, mode, pantat, gincu, sarkozy, peranti-peranti elektrik, dan jejaring globalisasi tak mungkin membunuh mati air dari langit barang sekejap. bahkan untuk sekedar menahan tetes dari ketek usai seharian tertawa dan kerja… seorang pria kulit hitam mencoba bernyayi dalam suaranya yang parau dan giginya yang berkilat…
sementara kubiarkan diriku lencu dan pias dalam kotak tawar yang melaju sendat dan tertahantahan. mendayung lelah di kaki sopir wanita yang mulai bosan dan ngilu dalam hujan seharian. mungkin juga tengah gundah tentang anjingnya yang panas dan butuh diantar ke l'animal médecin… genit gadis-gadis tanggung memandangi diri di pantul kaca, membetulkan dandanan yang bagai manekin dengan bulu mata dan eyeliner. mengapa tak juga aku jenak dengan bebauan blonde? campuran biskuit, sari buah dan daging basah, terselip anyir ludah di dada yang bedah…
aku melingkar dalam basah bagai kodok…pening dalam angan yang kian bunting. sampai waktu tiba di malakoff… au revoir !
: air dan angin, kini hajarlah ragaku dideraimu…
Nantes, 05.10.10-19.34
L’étranger
Apakah aku mulai mencintai kota ini? Mungkin masih jauh. Bahkan untuk sekadar akrab pun kurasa belum. Aku seperti orang yang duduk di bis yang mulai mencoba bertanya kawan di sampingku, “Anda mau kemana? Mmm gitu ya…” lantas terdiam dan memikirkan pertanyaan apa selanjutnya. Kalau tak ditemukan juga ungkapan baru, maka lebih baik aku tidur atau mencari pemandangan yang mampu bikin jenak menunggu. Perasaanku sebagai orang asing masih terus membuntutiku ke mana pun. Memang aku sudah jauh merasa aman dan tenang berpergian sendiri. Meski kutahu lafal Perancisku masih lemah. Aku sudah menguasai beberapa kata, orang berceloteh di jalan aku bisa paham dan beberapa tempat dan wilayah juga aku mengerti, karena suka jalan kaki. Cukup sering aku bicara dengan orang Perancis, biar akhirnya cumaterlontar kata, “oui, non, samad’accord”doang. Lalu mengerutu sesudahnya, “Ah, mestinya kan tadi bisa disambung ini dan itu biar nampak mengesankan, uuft!”
Seperti siang ini kurasa. Aku kembali mencoba berjalan dan bertualang. Sesudah sekolah bahasa, aku punya waktu 40-an menit untuk menuntaskan jam tiket bisku. Kalau lekas pulang kansayang, 2€ masa cuma sejam naik bis. Terlalu boros buat kantong Asia, monsieur!
Voila, aku berputar-putar di Commerce untuk melihat-lihat. Kawasan ini sangat luas dan besar. Ada di tengah kota Nantes. Bangunannya tua dan banyak toko dan galeri. Di jalan berbatu kuno, aku berjalan dengan riang. Seolah aku sudah biasa ada di sini, menghirupi awal musim gugur yang terik, dan udaranya mulai tajam mendingin ini. Huh, kadang kepalaku jadi pening dibuatnya. Ah, kalau ada toko buku, pasti aku akan mampir dan mencermati apa yang
ada. Baru aku ingat, waktu kuliah dulu aku pernah berangan ingin membaca buku-buku para pengarang terkenal Perancis dalam bahasa aslinya. Sekarang aku sedang belajar bahasanya, bahkan sedang ada di tanah ini. Jadi, pourquoi, pas ? Aha, kalau ingat kata ini aku pingin ketawa. Itulah frasa yang kupakai untuk menskak-mat guru Perancisku. Ia suruh aku bikin kalimat tanya, dan dengan enteng kujawab :
pourquoi, pas? Nah loh, jadi kekilah dia.
Setelah berkeliling 20 menitan toko yang kuharap menampakkan sosoknya. Seperti kucing yang membaui sesuatu, aku mulai mengendus-endus buku yang semuanya berbahasa negri ini. Ups, ternyata kok penjaga tokonya seperti pencinta buku bener. Rambut gondrong tapi keliatan low profile banget, dan mengenali isi tokonya. Maka aku mulai iseng tanya sana-sini. Dan kau segera tahu kalau tak semua penjelasannya mampu kumengerti, haha... Alors, bukan kebetulan kurasa kalau buku pertama akhirnya kubeli di toko ini adalah “l’étanger”. Yap, orang asing. Karya jurnalis eksentris Albert Camus. Jurnalis itu mengenal benar kultur Perancis. Ia menjadi wartawan di jurnal di media berbahasa Perancis, tapi sangat cinta tanah kelahirannya, Algeria (Aljazair). Camus menemukan dunia di sekitarnyasebagai sesuatu yang asing.Malahan, ia ingin tetap
terus merasa asing dengan dunianya. Sebab hanya si orang asing yang sungguh berada (ber-eksistens) dan punya keberanian sebagai manusia. Olala, aku bahagia sekali menemukan buku ini. Sudah lama aku gandrung dengan eksistensialisme. Meski tak kupahami jalan ceritanya, sudah kubaca buku ini dalam bahasa Indonesia, kala di seminari. Kini sudah kubaca pulakalimat pembukaan dari buku ini, dan
jangan tanya apakah aku mengerti…
Attention, s’il vous plait! Lonceng dan penanda bis yang ingin memulangkanku mendentang-dentang di kejauhan. Aku perlu berlari untuk segera mendapatkannya. Menghentakkan kaki dengan cepat seperti itu bikin aku lebih bersemangat. Ah, di sini pun aku ingin tetap menjadi orang asing, l’étanger, gitan, atau bohemian sekalipun sudahlah… bukan mustahil bila dunia ini lebih bisa dimengerti tetap merasa asing dan tidak peduli… C’est vrai on dit, monsieur Camus ?
20.09.10.
Le Riz Frit du Moi “Olalaa…”
Sore ini aku yakin akan membuat sesuatu yang signifikan bagi perutku, setelah membiarkannya terlunta-lunta sejak kutinggalkan Indonesia. Aku akan makan lebih enak dari biasanya. Huu..baru beberapa hari saja sudah rindu. Pengenbanget makanan nan eksotik dari negriku sendiri, menikmati yang bagiku adalah surga di bumi, makananku dan minumanku… Ah, mengapa sulit sekali meningalkan kebiasaanku untuk 1-4 tahun saja…? Uff, peduli amat! Mumpung ada kesempatan lebih baik bertindak dan membuat sesuatu.
Yap, sore ini aku bebas… C’est le temps de la liberté! Kami serumah dah sepakat masak sendiri-sendiri dan makan makanan yang ia suka. Maka, segera terbayang enaknya panganan yang akan kubuat: nasi goreng! Kalau 20 hari kemarin nasi tidak pernah menjadi menu penting. Sekarang aku akan mengembalikan martabat dan kehormatan nasi dalam hidupku… Ku kepalkan tangan dan kan kupekikkan dalam hati:
Hiduuupp NAAASSSSIIII !!!!
Mengapa nasih goreng? Jelas itu makanan favoritku. Waktu kecil, perayaan ulang tahun pun tak pernah terlewatkan tanpa nasi yang satu ini. Di manapun aku pernah tinggal, di Batu, Rajabasa, Jakarta, Talang, Jogja dsb…makanan ini selalu memuaskan aku. Memang sih aku masih ingat tahu dan sengsu, tapi hmmm apa boleh bautt?! Sadar monsieur, kamu di mana..?? Dan yang pasti sore ini aku menemukan bahan nasi goreng di sini. Di sini bookkk, jauh dari pasar Baturetno, Dinoyo, Mergan bahkan pasar besar Malang…Nah, aku berhasil menemukan, beras, bumbu instan, telur dan garam. Wow, dan lihat, apa yang kudapat di gudang garasi: 3 siung bawang merah dan 2 siung bawang putih… bayangkan!! Mungkin ini sisa benih yang ditanam beberapa bulan lalu di kebun… Coooccookk..banget… Wa, sayang memang ndak ada cabe sedikitpun, saus ga ada, kecap juga tidak… Tapi aku yakin akan buat sesuatu yang menghanyutkan selera
makanku malam ini… tunggu saja…
Maka, secepat kilat aku menanak nasi… Menanak? Ya seperti menanak. Nyatanya alat untuk itu tidak ada yang ada cuma semacam rantang yang kuberi air untuk menggodok air dengan beras. Atau beras dengan air. Entahlah! Aku aduk-aduk menjadi semacam nasi… untung berasnya keras, jadi tidak sampai mbubur. Kuberi sedikit garam biar terasa gurih. Ups, apa ini? Aku menemukan semacam kacang panjang. Tapi kok lunak banget ya? Ya udah nanti kupakai lalapan. Sambil menunggu nasi jadi. Aku menyiapkan bumbu. Aneka bawang aku kupas, merica instan aku campurkan… Uh, diulek pakai apa ya? Cobek? Haha… Emangnya dirumahmu apa? Yap, aku segera mendapat cara. Kutemukan pemukul daging…hahaha…kuhajar deh bumbu-bumbu ini. Thuusss, mapus looo… Nah, setelah nasi tanakan ala kadarnya itu jadi, sepenuh hatiaku urus minyak dan bumbu-bumbunya. Setelah itu kucampurkan dengan nasi, telur, kacang, sedikit wortel. Semuanya itu aku lakukan dengan cara yang sudah kuhafal lama. Aku mengolahnya dengan keriangan dan sedikit bersiul untuk menyabarkan diri tak segera mencicipinya…
Trois, quatre, cinq minutes…Ehm…kok belum kuhirup aroma apa-apa ya? Ah, nanti toh habis juga…kuaduk-aduk kuratakan… daaannn, taaarrraaaa… siap deh!! Supaya agak istimewa, aku mandi dulu sebelum makan (:hehe.. gaya, biasanya juga nggak mandi, kan di sini banyak teman yang biasa gak mandi…) Setelah segar dan bersih, dengan liar dan garangnya aku meletakkan nasi ke piring, mengambil sendok (mmm..orang sinigak pernah makan pakai sendok, pakai garpu dan pisau melulu…huh!), menata gelas dan duduk makan.
À toute vitesse, Hajaarrrr…sendokan pertama sekelebat menghunjam di mulutku…ouw..lho? Aku sedikit ragu. Kenapa ya, kok seperti aneh? Oo, mungkin aku menguyah terlalu cepat. Sendokan kedua, haaappp…. Ellhhooo… kok aanneehh… sendokan ke tiga, hmmmmm makiiinn aneehh… nasi goreng kok rasanya lain banget…. Bumbu seperti bercampur tak berujung pangkal, nasinya hambar, telurnya tak menambah rasa apa-apa… “Aku masak opooo iki?”begitu aku terus membatin dengan berjuang menghabiskan “riz frit” di hadapanku, di negeri Galliaini, Pays de la Loireini, tempat segala imaji, mimpi dan romantisme manusia tak terbatas, tanah Napoleon, Victor Hugo, Rousseau, Sartre, Piaf,…sampai Nasri… Kukunyah dan kutelan perlahan…sekuat tenaga, dengan rasa yang entahlah…dengan pikiran yang segera terbang jauh…ke kepulauan tropis yang kurindui dan kukenang itu …
“Avoir le mal du pays”
6.09.10.
Komentar
Posting Komentar