Bodrex dan Masa Depan Blogger

Seperti wartawan bodrex, ada blogger yang mau terima amplop. Bolehkah?

oleh: Blontank Poer

VIVAnews - Menjelang pemilihan pucuk pimpinan organisasi para pengusaha negeri ini beberapa waktu lalu, dunia blogging Indonesia digemparkan dengan adanya kabar mobilisasi blogger untuk mensukseskan kampanye salah satu kandidat. Tak tanggung-tanggung, ada amplop disediakan untuk blogger yang mau hadir di acara itu.

Pro-kontra pun merebak, sehingga postingan Nena kebanjiran tanggapan beragam. Ada yang menyoal perlunya ‘kode etik monetisasi' atau mencari uang di ranah Internet. Ada pula yang mempertanyakan tata krama mengundang/melibatkan blogger (pengelola blog atau aktivis media sosial seperti Twitter, Facebook, dll) dalam sebuah sebuah kegiatan komersial.

Tak kurang pula yang lantas menganalogikan blogger penerima amplop seperti halnya wartawan bodrex dalam dunia jurnalistik, yang lebih mengedepankan sogok (bribery) dibanding hak publik akan kebenaran sebuah informasi. Tepatkah?

Menurut saya, pemberian imbalan untuk blogger dengan cara seperti itu memang hal baru dan bisa jadi merupakan wilayah abu-abu, seperti halnya dalam dunia jurnalisme tradisional. Bahwa dengan kegiatan blogging seseorang punya motivasi mencari tambahan pendapatan, itu sudah biasa. Ada yang menyediakan ruang iklan, baik berupa banner maupun sejenis iklan baris ala Google Adsense. Pada jenis ini, lumrah saja menurut saya.

Yang mencemaskan sebagian kalangan blogger adalah praktek ‘memanipulasi’ pertemanan untuk dipertukarkan dengan imbalan (uang, barang atau fasilitas). Cerita seorang teman di Jakarta berikut bisa jadi ilustrasi adanya praktek ‘monetisasi’ yang disebutnya sebagai ‘makan tulang kawan’.

Dengan dalih melakukan kerja public relations, seseorang menawarkan jumlah ‘follower’ sebagai pembaca (pada koran) atau penonton pada media televisi. Banyaknya follower di akun twitter dan banyaknya pengunjung (traffic) blog miliknya, lantas dikapitalisasi hingga ketemu nilai tertentu untuk disepakati ‘penilaiannya’. Bahwa kuantitas pengikut dan pembaca tak banyak, pun masih bisa dijadikan acuan penilaian sepanjang para pengikut/pengunjung masuk kategori strategis karena daya pengaruhnya di dunia daring.

Bagi sang teman pencerita, tindakan blogger demikian dianggap memanipulasi pertemanan karena dianggap tega menjual mereka yang menyediakan diri sebagai follower atau pembaca setia blog yang dikelolanya. Hingga di sini, saya bisa mengerti dan mengamini. Apalagi, kicauan atau twit berbayar, nilainya sudah mencapai puluhan juta untuk setiap orang yang dianggap berpengaruh atau berklasifikasi influencer, walau ‘kewajibannya’ satu kicauan sehari!

Bagi saya, mencari duit lewat blog sah-sah saja sepanjang cara mendapatkannya masih dalam batas etis atau pantas. Tak ada salahnya pula orang melakukan praktik twit berbayar atau merancang strategi ini-itu, baik untuk klien pemilik produk barang/jasa maupun manusia yang butuh citra baru yang lebih baik.

Saya percaya, tak ada aib yang bisa disembunyikan oleh seseorang. Andai seorang blogger berbohong atau memanipulasi teman/follower, kelak dia akan ‘ditandai’ kualitasnya oleh ‘pasar’. Mereka yang memoles citra seorang koruptor atau politisi busuk (namun belum masuk kategori rahasia umum) menjadi lebih baik, akan ketahuan ‘hasil kerjanya’ ketika si klien juga mengubah perilaku dan memperbaiki moralitasnya, meninggalkan adab buruknya di masa lalu.

Seorang endorser, konsultan pencitraan, desainer strategi public relations atau apapun namanya, yang terbiasa meng-endorse orang-orang bermoral buruk, kelak akan ‘mati’ sendiri, tak akan laku di wilayah yang lebih baik. Bahwa secara ekonomi mereka akan tetap kian mapan, ya tak usah iri. Tak semua orang mau dan siap ikut dicap publik sebagai pembela orang kotor, seperti halnya para pengacara khusus koruptor, pembalak hutan, perusak lingkungan, hingga bandar narkotika.

Hanya ‘orang-orang besar’ nan perkasalah yang berani hidup bermewah-mewah dengan menggadaikan nilai moral kemanusiaannya. Ada batasan atau parameter etik yang tak mudah diuraikan melalui formulasi kalimat, namun sejatinya masih bisa dirasakan pantas-tidaknya. Semua tergantung kepekaan rasa, juga keberpihakan.

Pada pribadi-pribadi yang bereputasi baik, berwajah kalem, dan berkata halus-bijak pun, nyatanya tak sedikit yang mau menyembunyikan kebenaran demi sebuah kepentingan (pribadi maupun kelompok). Di berbagai situs jejaring sosial, mereka eksis luar biasa, namun memperdaya banyak orang dengan sistematisnya.

Jadi, mau seperti apa masa depan blogger dan dunia blogging, kita semua akan turut menentukan arahnya. Mereka yang bersedia menerima amplop seperti pada kasus launching tim sukses salah satu kandidat bos organisasi para saudagar itu, menurut saya, masih ‘lebih baik’ dibanding mereka yang membungkus agenda politik dan kepentingan tersembunyi, dengan kata-kata bijak yang menyihir alam bawah sadar followers-nya.

Tak perlulah kita berhimpun apalagi sampai pusing-pusing membuat strategi menghentikan mereka. Pada saatnya nanti, mereka akan terkena tulah yang diciptakannya sendiri. Mau tetap nge-blog atau ngetwit, nikmati saja sesuka hati. Yang perlu dijaga, kepada sesama kita masih mau peduli, dan berbagi.
* Penulis adalah blogger, tinggal di Surakarta


  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

Proyek "Motang Rua"

The Godfathers