Kisah

Karena kita mengukir sejarah kita sendiri....

Saban petang, pintu tol karang tengah adalah neraka bagi kedua kakiku. Ribuan kendaraan yang menyemut itu rasanya mustahil untuk dilewati. 

Namun rasa penat dalam mencari kombinasi pas antara kopling, rem dan gas itu sedikit terobati oleh ritual rutin yang dilakukan Terrence dan Mommy di kursi belakang. Mereka berdua menelpon Uti. 

Suara girang  Uti dengan segera memenuhi kabin kendaraan mungil yang sudah kami anggap sebagai rumah kedua. 

Sapaan Uti yang sepanjang waktu diliputi rindu kepada sang cucu bagai gayung bersambut. Terrence kemudian mulai mengoceh tentang segala sesuatu. 

Aku yakin, Uti menyimak dengan antusias. Meski kerap  kisah itu tak terselami karena perbendaharan kata yang masih terbatas.

Rasanya sangat menyenangkan mendengar dua insan yang terpaut usia setengah abad lebih itu saling berbagi cerita.

Ada kalanya ritual itu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bukan karena telepon genggam Mommy yang dengan ajaibnya memangkas habis rentang jarak 632 kilometer itu tiba-tiba kehabisan daya atau kehilangan sinyal. 

Namun lebih karena Terrence tidak mau diajak ngobrol, entah karena dia sibuk bermain game atau mematung di dekat jendela lantaran terpesona pada setiap mobil berwarna merah. 

Sering juga si kecil itu tidak mau bicara karena merasa bosan atau memang sudah mengantuk.

Beberapa kali Terrence membisu dengan alasan yang tak jelas. Tentu saja Mommy jadi kebingungan campur kesal, lalu mengajak Uti bicara hal-hal lain. 

Namun akan hal itu, kami maklum. Suasana hati seorang balita, dalam hal ini Terrence, dapat berubah sekejap.  Saat ini dia gembira bukan main, saat selanjutnya hanya Tuhan dan dirinya sendiri  yang tahu.

Petang tadi, ritual itu kembali dilakukan. Dari pengeras suara telepon, Uti bercerita bahwa malam lalu Pakdhe Romo Deddy menelpon dari Perancis. 

Selain bertukar kabar, Pakdhe bilang kalau sedang sakit perut. Rupanya sembari menekuni game, Terrence menyimak cerita Uti itu. 

"Kasih obat sama lagu aja," begitu celetuk Terrence. 

"Siapa, Kak?" Mommy memberi umpan.

 "Lomonya," jawab Terrence dengan enteng yang diikuti pecah tawa kami.

Entah asal celetuk, tapi jawaban Terrence itu ada benarnya juga. Obat dan lagu rasanya kombinasi yang baik agar lekas sembuh. 

Obat untuk mengenyahkan sakit, sementara lagu untuk membangkitkan suasana batin. Bukankah sang dokter juga menggunakan metode serupa kala mengobati pasiennya? 

Selain meresepkan obat, dokter juga mengangkat hati sang pasien agar tidak putus asa pada penyakitnya. Ah, mungkin si kecil Terrence punya potensi jadi dokter...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

Proyek "Motang Rua"

The Godfathers