Sebuah Penantian

Ambar menggerak-gerakkan tubuhku yang masih enggan diajak bangun. Hari masih sangat pagi. Tidak biasanya dia membangunkanku sepagi ini. Aku bangkit lalu duduk dengan linglung lantaran sisa mimpi masih terbayang dalam benakku. 

 “Ada apa,” tanyaku dengan acuh.

“Sayang, positif,” jawabnya sembari menunjukkan sebuah benda kepadaku. Sebatang test preg.

Benda yang digenggam Ambar itu seperti cambuk yang melecut tubuhku. Kesadaranku seketika pulih. Aku meraih benda berwarna putih itu dari tangannya. Kuperhatikan dua garis merah melintang di salah satu ujungnya. Garis merah itu menandakan bahwa Ambar sedang hamil. Aku bingung. Demikian pula dirinya.

“Hamil ya,” kataku perlahan.

Ambar tidak menjawab. Ia hanya mendesah. Ini adalah tahun keempat perkawinan kami. Sepanjang itu Ambar telah tiga kali hamil. Namun mungkin Tuhan menghendaki lain. Ia selalu saja keguguran. Masih teringat di benakku peristiwa empat tahun silam, ketika untuk pertama kalinya Ambar mendapati rahimnya telah tumbuh bakal manusia. Ia girang bukan kepalang. Meski usia kandungannya  masih dini, namun sering kudapati ia tengah mengusap perutnya.  Sepertinya ia coba memberitahu pada mahluk  kecil yang   ada di dalam sana agar tidak cemas, karena ada seseorang bernama Ibunda yang akan merawatnya kelak.

Dengan segenggam asa di di hati, kami berdua pun segera mengunjungi dokter kandungan. Di atas tempat tidur di ruang praktek dokter, Ambar memandang sebuah monitor berlayar hitam dengan lekat. Aku tahu ia sedang berharap-harap cemas. Aku pun demikian. Lalu sang dokter menekankan sebuah alat entah apa namanya di perut Ambar. Sebentuk citra tampil dalam layar gelap itu. Ada sebuah titik kecil yang terlihat di situ.

“Itu janinnya, masih sebesar biji jagung,” ujar dokter sembari jarinya menunjuk pada titik kecil berawarna putih itu. Ambar tersenyum bahagia. Belum pernah kulihat dia sebahagia ini. Tangannya yang kecil itu kugenggam erat-erat.  Ada sebentuk rasa yang ganjil mengalir dalam diriku. Sebuah perasaan yang berbisik bahwa aku akan segera menjadi seorang Ayah.

Sang dokter,  seperti   kebanyakan dokter kandungan lainnya, memberi anjuran-anjuran agar kehamilan Ambar tetap terjaga dengan baik. Ia juga meresepkan beberapa vitamin yang   katanya berguna untuk menambah asupan gizi sang janin. Harga vitamin-vitamin itu mahal. Namun bukankah uang tidak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan yang tengah kami rasakan itu?

Kebahagiaan itu terampas begitu saja tepat pada saat kehamilan memasuki usia tujuh minggu.  Ambar mengatakan dia mengalami flek. Aku bingung karena tidak paham maksudnya. Melalui layar kecil ponsel, kuselancari dunia maya untuk mencari informasi mengenai apa yang dikatakan Ambar itu. Wajahku pucat pasi  saat   menemukan deretan artikel yang mengulas flek pada wanita hamil. Aku memilih salah satu artikel dan kubacakan kepada Ambar. Serta merta wajahnya diliputi kecemasan luar biasa.

“Mungkin karena aku kelelahan,” katanya.

“Maksudmu?”

“Kata teman kantorku, kelelahan pada wanita hamil akan menyebabkan flek. Jika  semakin banyak bisa keguguran,” jawabnya dengan suara lemah.

Duh Gusti, aku membatin. Semoga kejadian buruk itu tidak menimpa kami.

“Kita ke dokter sekarang. Kamu nggak usah masuk kantor dulu,” ujarku yang dijawab oleh Ambar dengan sebuah anggukan lemas.

Kami harus menunggu satu jam lamanya sampai tiba giliran bertemu dokter. Setelah mendengar penjelasan kami, ia segera meminta Ambar agar berbaring di tempat tidur. Melalui layar hitam mesin USG, ia memperhatikan dengan seksama rongga rahim istriku itu. Aku mematung menatap layar itu tanpa bisa mengerti apa yang sedang ditunjukkannya.

“Ibu, Bapak,”  kata Dokter itu sembari terus memperhatikan layar. “Ini ada myom. Ukurannya cukup besar. Keberadaaan myom ini membahayakan janin karena asupan makanan untuk janin akan dimakan oleh myom itu. Coba lihat, ukuran janin itu tidak berubah, padahal sudah memasuki usia 7 minggu. Sementara myom ini semakin besar saja.”

“Jadi gimana, Dok,” tanyaku dengan cemas.  Kulirik wajah Ambar yang muram. Lenyap sudah kebahagiaan yang selama beberapa waktu belakangan memberi warna pada wajahnya.

“Janinnya nggak akan berkembang,” jawab Sang Dokter. Ia kemudian menatap Ambar yang telah kehilangan semangatnya. “Ibu nggak boleh sedih, yah. Kita akan coba mempertahankannya.                Saya akan meresepkan beberapa obat penguat,”

Ambar mengangguk perlahan. “Baik, Dok.”

-------

Hey, kenapa diam saja,” ucap Ambar yang melihatku termangu seperti patung.

Aku menatap wajahnya yang teduh.   Dalam   kedua matanya yang sebening danau itu aku bisa menangkap seberkas harapan yang tersirat.  Asa yang dimiliki setiap wanita di dunia ini ketika mengetahui rahimnya telah menjadi persemaian sebentuk kehidupan yang baru. Aku cemas, sungguh. Aku tak ingin asa itu   tercerabut lagi dari dalam dirinya. Aku tak ingin melihat kedua mata itu sembab karena tangis sepanjang malam. Aku tak ingin ia melalui hari dengan penuh penyesalan karena belum mampu menjadi seorang ibu.

“Kita ke dokter?” Aku bertanya dengan hati-hati. Dalam hati aku berdoa agar keajaiban yang tengah terjadi dalam rongga tubuhnya itu terus bertahan.

“Entahlah.  Sebaiknya   menunggu     saja,” desahnya.

“Baiklah. Tapi minggu depan kita harus bertemu dokter.”

Sejenak wajah Ambar diliputi kecemasan.“Bagaimana jika terjadi lagi seperti yang sudah-sudah?”

Dengan lembut aku membelai rambutnya yang sebahu itu. “Percaya saja, Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kita.”

“Tapi ini adalah kehamilanku keempat. Aku capek jika harus keguguran lagi, kuret lagi, keguguran lagi, kuret lagi.”

Aku bisa memaklumi kecemasan kekasih hatiku itu. Di kali kedua dan ketiga kegugurannya, Ambar terpaksa harus menjalani prosedur kuret.  Sebuah batang besi dingin menggapai rahimnya untuk meluluhkan bakal bayi yang tidak berkembang itu.  Hatinya hancur, sehancur tubuhnya lantaran mengalami sakit yang amat besar ketika benda asing itu mengeruk-ngeruk dinding  rahimnya. Sakit itu bahkan meninggalkan trauma dalam jiwanya.

“Mungkin ini waktunya, sayang. Mungkin saat ini Tuhan sudah menganggap kita berdua layak untuk menerima titipan berharganya. Aku percaya itu. kamu juga harus yakin,” kataku  untuk menguatkannya.

Ia mengangguk lemah. Saat itu juga kudekap erat tubuhnya dengan erat. Dalam hati aku memohon kepada Sang Empunya kehidupan agar asa yang mulai tumbuh dalam hati  kami  tidak lagi layu. Agar benih kehidupan dalam rahimnya itu tidak pergi lagi.  Agar buah cinta kami itu mampu bertahan dan ketika saatnya tiba kelak, akan hadir dan mewarnai kehidupan keluarga kecil kami.

----------

Bulir-bulir untaian Rosario bergerak perlahan diantara jemari kedua orang tua Ambar yang duduk di tepi selasar ruang operasi sebuah rumah sakit.  Dari mulutnya yang berkomat-kamit,  aku bisa menebak mereka sedang merapal doa Salam Maria yang terus berulang tanpa putus. Hari sudah larut. Tak  ada lagi orang yang belalu lalang di lorong panjang Rumah sakit itu.                                             

Alih-alih mengikuti mereka berdoa, aku lebih memilih diam mematung sembari memandang lekat pada pintu kaca ruangan operasi.  Sesekali aku berdiri dari tempat dudukku, lalu berjalan sepanjang  lorong untuk sekedar menghalau rasa cemas yang sedang berkecamuk dalam hati.                                                                                      Namun percuma, rasa itu tak jua pergi.  Aku kembali duduk, lalu diam mematung bagai prasasti Budha yang memenuhi pelataran puncak Borobudur.

Sentuhan lembut tangan di punggung membuatku terkejut. “Berdoalah,” kata pemilik tangan itu.

Aku tersenyum kecut. Sesungguhnya aku mau saja menuruti perkataannya. Namun otakku ini sedang tidak bisa diajak berkonsentrasi, apalagi harus merapal doa. Bagaimana tidak, istriku saat ini sedang mempertaruhkan hidupnya di atas meja operasi. Sementara bayi yang tengah dikandungnya belum waktunya untuk  mencecap dunia. Mahluk mungil itu seharusnya terus berada dalam rahim hangat ibunya hingga satu bulan ke depan. Namun aku terpaksa menganggukan kepala setelah mendengar kondisi yang dialami Ambar serta bayi kecil kami itu.

“Terpaksa harus tindakan Sectio Caesaria.  Air ketuban dalam kandungan telah berkurang akibat merembes pada siang tadi. Selain itu terjadi pengapuran pada air ketuban sehingga menjadi keruh. Akan berbahaya bagi bayi yang sedang dikandung,” jelas dokter    spesialis    kandungan yang kami temui beberapa jam lalu.

Penjelasan itu tentu membuat aku dan kedua orang tua Ambar cemas bukan kepalang. Demikian pula dengan Ambar. Naluri keibuannya membuat dirinya akan melakukan apa saja agar tidak terjadi hal buruk pada bayi yang sedang dikandungnya itu. Setelah berembug sesaat, kamipun menyetujui anjuran dokter itu. Ia pergi sebentar lalu kembali dengan sejumlah dokumen untuk aku tandatangani.

--------

Sebuah jerit memecah kesunyian malam. Jantungku berdetak tidak karuan mendengar suara itu. Suara jerit tangis bayi.

“Sudah lahir,” seruku.

Kedua orang tua Ambar menghentikan doanya lalu memandangku dengan wajah memendam tanya.

“Mana? Kok Ibu nggak denger?”

“Baru saja, hanya sesaat suara tangis itu. Tapi aku yakin itu suara bayi,” sergahku karena yakin dengan apa yang baru saja kudengar.

“Ya, Bapak juga kok nggak denger ya?”

Aku terdiam. Mungkin jerit bayi itu hanya dalam angan-anganku.  Sejak perut Ambar semakin membuncit, yang selalu ada dalam benakku adalah medekap seorang bayi. Aku dan Ambar mulai   menyusun rencana-rencana untuk buah hati kami itu. Bukan hal-hal besar, namun bentuk-bentuk kebahagiaan kecil seperti berjalan-jalan di taman atau bermain air bersama-sama.

Tak jarang aku melihat sinar mata Ambar memancarkan kebahagiaan yang amat sangat.                           Saat ia tengah mengusap-ngusap perutnya yang kian membesar, atau ketika kami menenggelamkan diri di antara rak-rak penuh baju-baju berukuran mungil di sebuah toko perlengkapan bayi. Aku juga tak mau kalah. Di setiap kesempatan, aku mengumpulkan banyak lagu berirama lembut  dan kuputar saban pagi. Harapanku, jauh di dalam kehangatan rumah kecilnya bernama rahim itu, bayi kecil kami boleh merasakan    indahnya dunia melalui nada-nada yang mrngalun lembut itu. Dengan mendengar lagu-lagu itu, kuharap dia tahu ada orang-orang  yang begitu menantikan kehadirannya. Dan, saat itu telah tiba. Kini melalui pisau-pisau bedah, para dokter sedang membuka sebuah jalan keluar untuknya.

Aku tersentak saat pintu ruang operasi itu terbuka. Dari dalam muncul seorang wanita berpakaian perawat yang mendekap sesuatu dalam pelukannya. Wanita melihat ke arahku, lalu dengan sebuah anggukan kepala ia memintaku untuk mendekatinya. Aku segera berjalan ke arahnya. Orang Tua Ambar menyusulku tak lama kemudian.

“Selamet Mas.  Jaler nggih, Mas,” kata wanita itu sembari menyingkap kain yang menutupi sesuatu yang didekapnya itu.

Pemandangan di depanku membuat aku terpana sembari menahan nafas. Seorang bayi mungil laki-laki berwarna merah pucat menggeliat-geliat. Pipinya kusentuh dengan lembut. Dalam hati aku menjerit kegirangan. Ini wajah kecil yang telah kami nantikan selama bertahun-tahun lamanya.                   Sebelumnya aku hanya mereka-reka bagaimana rupanya.  Kini mataku mampu menginderainya;   daging dari dagingku, tulang dari tulang ku, darah dari darahku.

Wanita itu kembali membawa bayi kecil masuk. Sementara aku terus mematung di depan pintu, lantaran masih terpukau dengan keajaiban kehidupan di depan mataku. Kedua orang tua Ambar menangis terharu lantaran cucu yang mereka nantikan kini hadir ke dunia.

Tak lama kemudian, wanita itu kembali keluar dari ruang operasi dengan membawa bayi kami. Ia kemudian menyusuri lorong dan  masuk ke sebuah ruangan lain di rumah sakit itu.  Bayi kami kemudian diletakkan dalam sebuah kotak kaca agar tetap hangat sembari menunggu ibundanya siuman.

Satu atau dua jam setelah operasi dilaksanakan, Ambar tersadar dari pengaruh obat yang telah membiusnya. Ia kemudian dipindahkan ke sebuah bangsal tempat bayi kecil kami berada.                  Alih-alih mengerang kesakitan akibat luka yang melintang di perutnya, ia malah menangis gembira sambil menatap bayi kecil itu.

“Lihat wajah kecil itu. Manis sekali, ya?” ucapnya di sela isak tangis dan derai air mata bahagia.

Aku membelai rambutnya dengan lembut.   Aku dapat melihat dengan jelas kedua matanya memandang bayi itu dengan tatapan seorang ibu.

“Buah hati kita,” jawabku

Sementara Sang Bagaskara masih larut dalam  mimpinya lantaran hari masih dini. Gelap masih pekat di luar sana.  Namun hati kami    terang-benderang oleh matahari kecil yang menggeliat-geliat di dalam kotak penghangat itu. ­  Penantian kami usai sudah. Saatnya mengerahkan segala kemampuan yang kami miliki untuk merawat titipan Tuhan yang paling berharga ini. Memenuhi hari-harinya dengan cinta, sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang mampu menghadapi kehidupan yang keras ini.

               



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koes Hendratmo pake Jas Songke....

Proyek "Motang Rua"

The Godfathers